Mohon tunggu...
Rachmawan Deddy
Rachmawan Deddy Mohon Tunggu... Jurnalis - Profesional

Sarjana Pertanian yang berladang kata-kata. Penulis buku Jejak PKI di Tanah Jambi dan Jejak Sejarah Lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sugesti Sebuah Buku

19 Desember 2011   15:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:03 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku apa pun jenisnya, siapa pun penulisnya, pasti di dalamnya berisikan ide, pesan atau wacana yang hendak disampaikan penulisnya. Suatu keniscayaan. Saya ingin menyebut apa yang ingin disampaikan penulis itu sebagai ideologi.

Maka jadilah buku sebagai sarana yang cukup efektif untuk mengampanyekan sebuah ideologi. Lihatlah sejarah, bagaimana buku telah mampu menyemaikan benih-benih ideologinya untuk hidup menjadi tanaman yang tumbuh dan berkembang dalam ladang bernama sejarah. Di sana akan kita dapati bagaimana buku mampu menggerakkan pembacanya untuk berpikir dan bertindak sebagaimana ideologi yang dikandung buku tersebut.

Ambil contoh Karl Marx dengan Manifesto Komunis dan Das Kapital-nya atau lihatlah Frederick Engels yang mengembangkan ideologi Karl Marx, dengannya terlahirlah gerakan kaum proletar, bergerak menghancurkan masyarakat kapitalis. Pada kurun waktu berbeda, di Jerman Adolf Hitler telah berhasil menjadikan karyanya Mein Kampf (Perjuanganku) sebagai “kitab suci” kaum Nazi yang dengannya terjadi pembantaian masal terhadap kaum Yahudi.

Sejarah Islam kontemporer mencatat nama Sayyid Qutb dengan karya fenomenalnya Fi Zhilail Qur’an, juga bukunya Ma’rakatul Islam wa Ra’samiliyah (Perang antara Islam dan Kaptalisme). Sayyid Qutb sebagai salah satu ideolog Ikhwanul Muslimin dengan karyanya berhasil membakar ghirah anak muda Muslim, khususnya di Mesir sebagai rahim harakah ini. Walau harus membayar mahal, Sayid Qutb menjemput maut di tiang gantungan. Maka teringatlah kita ketika rezim Orde Baru melarang terbit buku-buku yang ideologinya berseberangan dengan ideologi tunggal Pancasila.

Lain Karl Marx, Hitler, dan Sayyid Qutb, lain pula Kiyosaki. Pebisnis mana yang tidak mengenal nama ini. Jika tiga nama yang pertama dengan buku-bukunya menggerakkan pembacanya melawan tirani, maka Kiyosaki menggerakkan pembaca di area bernama bisnis. Dengan bukunya Rich Dad Poor Dad tentunya dengan slogan “jangan bekerja untuk uang, tetapi jadikan uang bekerja untuk Anda”, Kiyosaki dengan gemilang mendoktrin pebisnis, termasuk kalangan multi level marketing. Seketika Kiyosaki didapuk menjadi maha guru bisnis.

Tentu masih banyak nama-nama besar lainnya sebesar karya yang mereka lahirkan. Karya yang usianya lebih panjang dari usia penulisnya. Karya yang menjadi inspirasi lintas generasi. Tentu akan ada nama seperti Einstein, Copernicus dengan Bulga de Revolutionibus Orbium Coelestium, Thomas Hobbes dengan Leviathan, Darwin dengan The Origins of Species.

Seperti embusan angin, kita hanya bisa merasakan hadirnya tanpa bisa melihatnya. Aksiomatis. Demikianlah sebuah buku bekerja. Rangkaian teks sarat ideologi, di dalamnya –perlahan namun pasti– akan berpenetrasi melalui mata pembacanya mengalir menuju otak. Sugestilah yang akhirnya terlahir sebagai buah persetubuhan antara ideologi dan kontempelasi pembacanya.

Syahdan, tatkala beberapa waktu lalu seorang sahabat memberikan saya sebuah buku -sahabat saya ternyata paham betul hobi saya- tentang tulis menulis. Maka seketika ideologi buku itu menghadirkan sugesti dalam diri saya, mengubah paradigma saya selama ini tentang menulis. Apa yang telah menggerakkan kaum proletar setelah mengkaji Manifesto Komunis saya turut merasakannya. Begitu pun semangat anak muda Mesir ketika membaca buku-buku Sayyid Qutb, hawanya pun turut bersemayam dalam jiwa saya. Maka terciptalah tulisan ini. Kalau sebelumnya tulisan yang saya buat sebatas konsumsi pribadi, maka paradigma itu kini telah berubah.

Saya sadar betul sebagai seorang pemula, menulis tidaklah mudah. Namun ketika saya membaca buku hadiah teman dan tidak hanya sampai pada sebatas membaca teks, tapi lebih dari itu, saya telah tersugesti karenanya dan menulislah saya akhirnya. Lalu Anda?

Malang, awal 2005
*hihihi tulisan lama ketikan baru2 belajar menulis, setelah dicari2 ketemu juga arsipnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun