Mohon tunggu...
Rachmawan Deddy
Rachmawan Deddy Mohon Tunggu... Jurnalis - Profesional

Sarjana Pertanian yang berladang kata-kata. Penulis buku Jejak PKI di Tanah Jambi dan Jejak Sejarah Lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Surat dari Penulis Buku Ini Budi

3 Januari 2011   08:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:00 1559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_81445" align="alignleft" width="300" caption="surat dari nenk Siti, foto dokumen pribadi"][/caption] Inilah salah satu buah yang saya petik dari Kompasiana. Sejak bergabung pada Juni 2009 lalu. Tentunya, setiap kompasianer punya kesan dan pengalaman tersendiri bukan? Adalah Siti Rahmani Rauf. Saya yakin nama itu tak setenar buku karangannya yang amat terkenal itu. Tapi, bila disebutkan tokoh hasil karangannya, utamanya mereka yang mengenyam pendidikan dasar pada 80-an akan kenal. Ingat buku Panduan Bahasa Indonesia yang memuat tokoh Budi dan keluarganya? Itulah karya nenek Siti. “Ini Budi, ini ibu Budi,” begitu dulu kita mengejanya. Saya tak ingat, kapan terakhir menerima surat. Dan, surat yang saya terima beberapa hari lalu cukup menggugah emosi saya. Amplop polos warna putih itu bertuliskan nama saya dan nama pengirimnya, Ny Siti Rahmani Rauf. Sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya dengan segera membuka amplop itu. Ups, tulisan nenek (saya panggil nenek karena usia beliau akan menginjak 92 tahun) Siti cukup ‘mengganggu’ mata saya. Ia menulisnya dengan tulisan sambung, yang saya sebut dengan tulisan halus kasar. Jujur, awalnya saya sedikit kesulitan membaca tulisan itu. Seorang teman yang ikut membaca mengalami hal sama. Belakangan, saya baca lagi perlahan, dan saya dapat membaca surat Nenek Siti. Dalam suratnya yang ditulis tangan di satu halaman kertas folio bergaris itu, Nenek Siti menyampaikan apresiasinya atas tulisan saya. Tulisan itu telah terbit di Tribun Jambi, media tempat saya bekerja. Tulisan itu juga saya posting di kompasiana. Membaca tulisan itu, saya kagum dengan wanita yang sedari muda mengabdikan dirinya sebagai guru itu. Meski telah melahirkan buku yang melegenda, tapi nenek Siti mengatakan bahwa dirinya bukanlah pakar ilmu pendidikan. Nenek Siti adalah seorang lulusan sekolah pada zaman Belanda di Padang Panjang, pada 1936 silam. Begitu lulus, ia langsung diangkat sebagai guru di sekolah belanda (nenek Siti menuliskan nama sekolah, tapi oleh saya tidak terbaca) di Padang kota. Masih menurut beliau, ternyata ia sosok yang hobi menulis termasuk cerpen dan sajak. Tulisannya itu ia kirimkan ke surat kabar dan majalah. Salah satu cerpennya, pernah dimuat di Femina. Tapi pengakuan nenek Siti, kini aktifitasnya itu terhalang oleh kemampuannya menggunakan teknologi komputer. “Penerbit-penerbit selalu meminta naskah-naskah yang dicetak dengan mesin tulis. Sedangkan saya sebagai orang zaman dulu tidak bisa mengetik dan tidak punya mesin ketik. Banyak ide-ide saya hanya terkumpul dalam otak,” tulis nenek Siti dalam suratnya. Jadi, terbayang, Ah andai saja ada penulis atau penerbit yang bisa mengumpulkan ide nenek Siti. Atau mungkin menuliskan biografinya, bukankah peran nenek Siti cukup besar terhadap pendidikan kita di masa lalu. Kompasianer ada yang berminat?

1294041720840176667
1294041720840176667
12940420581672913695
12940420581672913695

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun