“Lesung pipitmu sungguh indah. Keduanya seperti bulan dan matahari yang saling melengkapi,” sanjungan itu terngiang-ngiang keluar dari ceruk yang telah menghisapnya. Sekejap semua raib. Bagai tanpa bekas, ceruk di pipi tak lagi terlihat. Di bidang putih namun kusam itu tak ada lagi perempuan berkepala plontos.
Di taman dan cermin yang sama kembali ia dapati pandangan kosong sang pemilik wajah ayu itu. Ia tersenyum. Ia mendapati kepala itu mulai ditumbuhi rambut. Kembali ia merajut senyumnya. Kanvas kosong itu terisi dengan warna senyumanya. Bulan sabit yang menggantung di wajahnya telah menyapukan kuas yang lagi-lagi menyematkan warna berupa dua ceruk indah.
Perempuan kepala plontos itu mengusik satu ruang di alam bawah sadarnya. Selalu ada bersamanya. Ditemukan dibayangannya bahkan dalam mimpinya sekalipun. Namun tak jua ditemui sesuatu yang ia cari. Semua seakan hilang, rontok bagai rambut di wajah siperempuan berkepala plontos. Hilang seiring berhentinya kepakan sayap burung yang lelah.
Untuk sekian kalinya ia seakan berhenti bernapas. Tangan-tangan raksasa itu keluar dari cermin yang dipegangnya. Memeluk erat tubuh rapuhnya. Mengkerucutkan memorinya. Sebuah kerucut runcing yang tajam dirasa menusuk genggaman tangannya.
Praaak…
Cermin jatuh dan terpecah. Menangis ia, sang perempuan bekepala plontos sirna. Hilang terpencar bersama serpihan cermin yang tak lagi utuh.
Disebelah lemari disamping tempat tidur mewah tergantung cermin yang sama tinggi dengan empunya. Sama bersihnya dengan kulit gadis yang sedari tadi asik mematut diri. Rambut lurus panjang sebahu. Pujian yang didapat karena indah rambutnya, mungkin sama banyaknya dengan jumlah helai rambut yang bertengger di kepalanya. Belum lagi pujian untuk tahi lalat, lesung pipit, hidung mancung dan segala penampakan fisiknya.
Ia lebih memilih menikmati sanjungan itu dari pada harus mengikuti petuah yang dirasanya sangat-sangat menggurui. Telinganya masih belum rela kehilangan suara-suara mengenai kelebihan dirinya. “Yang penting hati,” begitu jawabnya saat sang ibu menasehati agar ia tidak memperlihatkan apa yang tidak seharusnya ia perlihatkan kepada sembarang orang.
Malam ikut membisu bersama kegelapan yang menutupi dosa-dosa dari mata-mata manusia. Seperti malam itu, malam kelam bagi sosok anak manusia. Malam yang ternoda oleh keganasan menggila yang menakutkan dari tiga pemuda atas seorang gadis. Perempuan dengan wajah peranakan Jawa-Arab dengan tahi lalat manis di pipi kiri yang kini terluka teramat dalam. Perih, tidak saja jasadnya tetapi jauh didalam jiwanya. Gerimis jatuh dari langit seiring dengan gerimis di matanya yang menghangat. Ia melara, merana. Apa dayanya ia menghadapi tiga lelaki yang merenggut miliknya yang paling berharga, berteriak pun ia tak punya kuasa. Gundah, duka lara, kegamangan dan segala kelemahan mengakrabinya. Tergeletak dengan pakaian seadanya, tubuh ringkih itu tak lagi ditumbuhi rambut di kepala. Meski malam tak lagi menyapa, namun luka tak hendak beranjak. Malam yang mewariskan air mata telah melarung masa lalunya.***
--sebuah cerpen luama saya---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H