Kepada masyarakat sebangsa, setanah air. Terkhusus mereka yang tinggal di Ibukota. Peristiwa mengenai warga yang terganggun kerena iring-iringan saya sebagai Presiden, bukan kali ini saya dengar. Tapi, mungkin apa yang disampaikan saudara saya, warga Negara saya, Hendra NS melalui media, merupakan klimaksnya.
Sebagai pribadi, saya tentu tidak menghendaki itu terjadi. Sangat-sangat tidak ingin. Saya juga tidak ingin dengan melintasnya iring-iringan kepresidenan jalanan Jakarta yang sudah macet kain bertambah macet. Terlebih, adanya anggota Patwal yang bertindak di luar kewajaran. Meskipun saya paham, beliau sedang mejalankan tugasnya.
Terdengar klise memang. Bahwa apa yang saya sampaikan ini bukanlah untuk mencari simpati atau pembelaan. Tidak! Sama sekali tidak. Iring-iringan itu, adalah sesuatu yang harus saya terima sebagai seorang kepala Negara. Ini pulalah yang diterima untuk sejumlah pejabtat lainnya.
Bahwa saya sadar, jikalah Jakarta penuh kemacetan. Kemacetan di ibukota ini merupakan masalah serius bagi kita semua. Kami memahami kemacetan bukan berasal, atau bukan disebabkan adanya rangkaian VVIP. Sebelum rangkaian lewat pun, telah terjadi kemacetan.
Saya bersimpati dan memperhatikan secara bersungguh-sungguh masukan dari masyarakat jika ternyata, pada prakteknya ada hal-hal yang terjadi yang tidak seharusnya.
Kita akan melakukan introspeksi terhadap ini. Mudah-mudahan, masa yang akan datang, tidak terjadi lagi kesalahan-kesalahan prosedur.*
***
Saya sadar tindakan saya yang temperamental salah. Tidak seharusnya saya memarahi pengendara yang sudah mencoba memberi jalan bagi iring-iringan.
Kepada saudara Hendra NS saya meminta maaf. Saya hanya ingin menjalankan tugas Negara ini sebaik mungkin. Dalam pekerjaan ini saya memiliki atasan yang kepadanya saya harus bertanggung jawab.
Tapi, terlepas dari itu semua. Sungguh saya sedang ada masalah. Tekanan masalah membuat pikiran normal saya lepas sesaat. Anak saya sedang sakit keras. Sementara pendapatan saya sudah habis untuk uang masuk anak saya yang sekolah dan berkuliah. Pendapatan saya yang murni dari gaji tidak mencukupi. Maaf.
***
Maaf, Bapak Presiden. Maaf teramat sangat jika surat saya menjadi perbicangan dan harus menyita perhatian bapak sebagai kepala Negara.
Sebagai rakyat biasa, saya yakin keluhan ini bukan hanya milik saya seorang. Tapi, sudahlah. Saya hanya minta, agar petigas Patwal juga bertindak professional. Tapi jujur, saya tetap ingin agar bapak tinggal di istana.
Keluh kesah, emosi saya sudah luruh dengan dimuatnya surat itu. Sekarang saya lega. Saya plong. Sekali lagi maaf. Saya juga sudah memaafkan petugas yang membuat anak saya syok. Ya, sudahlah.
-----
Oh..jam menunjukan pukul 23.54. Membaca berita tentang iring-iringan Presiden yang menghebohkan membuat saya menghayal jauh. Tentu itu bukan suara mereka. Maaf, itu hanya rekaan saya. Sekarang waktunya saya pulang. Saya hanya teringat kalimat dari Om Jay, menulislah di Kompasiana sebelum tidur. Selamat tidur, eh selamat membaca.
*kutipan kalimat jubir presiden Julian pasha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H