Mohon tunggu...
Rachmat Willy
Rachmat Willy Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat fiksi

Menikmati hidup dengan membaca, menulis, dan ngeblog. Follow saya di @RachmatWilly pasti di follback.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menilai Sosok Jokowi dari Ujung Rambut ke Ujung Kaki?

22 Maret 2014   00:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:38 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bagian tiga tentang pro-kontra, ada banyak sisi kontra yang kurang pas. Pada artikel berjudul "Jokowi Motivator Gagal?" misalnya, dituliskan bahwa Jokowi gagal menjadi motivator bagi para bupati di bekas Karesidenan Surakarta. Penulis mungkin tidak memahami tingkatan jabatan bahwa bupati dan walikota itu tingkatannya sama dan kedua jabatan tersebut masih ada di bawah gubernur. Siapa gubernurnya saat itu lah yang seharusnya lebih dipersalahkan dalam soal memotivasi ini. Selebihnya bagian tiga banyak membicarakan tentang kebijakan yang akan atau sudah dilakukan oleh Jokowi. Bagaimana tarif parkir yang dinaikkan, tentang pemberlakuan ganjil genap untuk kendaraan yang dianggap meresahkan dan tidak akan berhasil, hingga pemilihan vendor dari Cina untuk monorail yang dianggap kurang tepat. Bagian tiga tentang pro kontra juga membahas tentang sosok Jokowi yang terlalu dipuja oleh media. Hingga seolah-olah mengkritik Jokowi saat ini dianggap sebagai aib, tulis M. Khusen Yusuf. Walau judul bagian ini adalah pro kontra namun sisi kontranya kurang terlihat jelas. Banyak artikel yang terkesan kontra yang kalau dibaca secara detil isinya ternyata pro juga.

Berbicara soal gebrakan di bagian empat buku ini masih terasa kurang menggigit. Masalah UN jujur, penyederhanaan birokrasi, dan usul Jokowi tentang kampung deret sebenarnya kurang pas jika dianggap gebrakan. Bukankah sudah seharusnya UN itu harus jujur? Bukankah sudah seharusnya birokrasi itu sederhana? Dan usul tentang kampung deret sudah pernah diterapkan di pinggir kali Code di Jogjakarta. Walau demikian, berhubung jarang ada pejabat yang berani mengutarakannya, boleh saja ini dianggap gebrakan. Semacam oase di tengah gurun gersang. Sisa bagian empat ditutup dengan membahas soal blusukan. Perilaku Jokowi yang sudah sering terdengar yang akhirnya juga menular ke tokoh-tokoh lain.

Yang cukup berimbang sisi pro kontranya justru ada di bagian lima tentang Jokowi presiden. Namun ada satu artikel yang kurang pas ditaruh di bagian ini. Artikel itu tentang ajakan untuk memilih pasangan DJ di pilpres 2014. Kenapa kurang pas? Karena J di situ adalah Jokowi dan J di situ adalah wapres. Kurang pas menaruh artikel tentang Jokowi wapres pada bagian berjudul Jokowi presiden.

Bagian enam adalah bagian terakhir buku ini yang berisi tentang ragam tantangan yang akan dihadapi Jokowi. Mulai dari masalah anak jalanan, banjir, kampung pinggir kali, hingga apakah Jokowi akan menggunakan esemka sebagai mobil dinas DKI-1. Bagian enam ditutup dengan tantangan terbesar yang mungkin akan dihadapi Jokowi jika nanti karirnya semakin meningkat yaitu tantangan dari diri sendiri. Mampukah Jokowi menjadi pemimpin zuhud dan sufistik, pemimpin yang hangat kepemimpinannya dan mempunyai karakter yang baik? Inilah tantangan yang sesungguhnya bagi Jokowi.

Ada satu hal menarik yang dapat ditemukan hampir di semua bagian buku ini. Hal itu tentang bagaimana Jokowi dibandingkan dengan banyak tokoh terkenal. Di bagian dua tentang hiruk pikuk Pilkada, sempat dibahas bahwa seorang Lee Kuan Yew pun belum tentu berhasil dalam mengelola Jakarta walau dia sangat berhasil dalam mengelola Singapura. Di bagian dua ini pula kita bisa menemukan bagaimana Jokowi dibandingkan dengan seorang Dahlan Iskan. Kalau Dahlan bisa kenapa Jokowi tidak? Begitu pertanyaannya. Padahal kita tahu sekarang bahwa popularitas Jokowi jauh melesat melebihi Dahlan Iskan yang akhirnya memilih mengikuti konvensi Partai Demokrat untuk menjadi calon presiden. Menyamakan Jokowi dengan tokoh lain dapat juga ditemukan di bagian tiga buku ini. Ada perbandingan antara Jokowi dengan Lisa Scaffidi, walikota Perth Australia. Kesamaan keduanya digambarkan dalam hal usaha mereka untuk tetap dekat dengan rakyat yang mereka pimpin. Bersama-sama membangun kota, itu konsepnya. Di bagian tiga ini pula spiritualitas Jokowi disamakan dengan seorang Beethoven. Kerja keras dan kemauan hati keduanya dianggap hampir sama. Spiritualitas dalam berkarya itulah yang diangkat penulis untuk membandingkan keduanya. Tepat? Boleh saja, untuk menghasilkan simfoni pembangunan yang merdu. Di bagian tiga ini juga muncul pembandingan Jokowi dengan sosok Bang Ali. Siapa lagi kalau bukan Ali Sadikin, gubernur DKI yang terkenal sangat dekat dengan rakyat. Jokowi, bahkan di dalam salah satu artikel seolah dianggap sebagai titisan Bang Ali. Gaya blusukan Jokowi dianggap pas dengan karakter Bang Ali jaman dulu. Namun, di akhir bagian tiga ternyata sosok Herman Sutrisno, walikota Banjar yang terpilih pada Pilkada 2008 dianggap lebih hebat dari Jokowi. Herman waktu itu berhasil dengan program-program yang diunggulkannya yaitu kesehatan dan pendidikan gratis yang juga saat ini diupayakan penerapannya oleh Jokowi di Jakarta. Tak hanya program, blusukan pun telah dijalani oleh Herman. Hanya, Herman tidak diliput oleh media. Beda dengan Jokowi. Tak habis sampai di bagian tiga, perbandingan Jokowi dengan tokoh lain juga ada di bagian empat. Jokowi diperbandingkan dengan sosok Morihiko Hiramatsu, gubernur Oita di Jepang. Morihiko ini dikenal dengan programnya yang akhirnya populer di jaman sekarang dengan sebutan One Village One Product. Persamaan keduanya, menurut penulis adalah dari sisi prinsip yang mereka pegang. Prinsip itu antara lain, kemandirian, kreatifitas, pengembangan SDM, dan lain-lain.

Lalu apa keunggulan buku ini? Latar belakang penulisnya yang beragam serta artikel yang tidak terlalu panjang di setiap bagiannya membuat buku ini enak dibaca. Pembagiannya dalam enam bagian besar sudah tepat untuk menggambarkan seorang Jokowi. Namun untuk menggambarkan seorang Jokowi dari ujung rambut ke ujung kaki seperti yang disampaikan oleh editor buku ini rasanya masih belum cukup. Harus ada literatur lain yang dibaca. Sebuah literatur yang mungkin ditulis oleh orang-orang terdekat Jokowi, bisa istri atau anak-anaknya. Bagaimana Jokowi sebagai seorang bapak, atau ditulis oleh rekannya di Apindo tentang sepak terjang Jokowi sebagai pengusaha secara lebih detil.

Walau demikian, buku ini sangat layak dibaca dan dimiliki oleh siapapun yang ingin mengenal sosok Jokowi dari berbagai sudut pandang. Enam puluh enam tulisan dari 42 Kompasianer yang adalah warga biasa sudah membuktikan hal itu. Artikel demi artikel benar-benar dituliskan dengan baik, dan tak membosankan untuk dibaca. Selamat membaca!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun