Bagi kami yang tinggal di sekitaran bantaran Sungai Ciliwung, rumah kemasukan air (banjir) bukanlah hal yang asing. Meski sudah dua tiga kali bahkan belasan kali kebanjiran, tetap saja kami enggan untuk pindah rumah ke kawasan yang lebih tinggi yang relative aman dari terjangan banjir.Â
Saya sendiri, sejak pindah ke Condet, Cililitan di tahun 2010 hingga saat ini sudah merasakan banjir 3 (tiga) kali. Pertama di tahun 2012, dan terakhir kemarin pas tahun baru 2020.
Bagi kami yang kebanjiran, bukan masalah airnya (yang masuk ke rumah) yang kami tangisi. Palingan 'tamu' kiriman dari Bogor, bertahan 2 hingga 24 jam di rumah. Gak lama kok, gak berhari-hari. Justru yang menjadi beban penderitaan adalah kondisi pasca banjir.Â
Rumah setelah kemasukan air itu, kalau diibaratkan seperti kapal pecah. Jadi, meski 'tamunya' cuma sebentar, akan tapi dampak yang dihasilkannya sungguh sangat menyiksa tenaga, pikiran, dan perasaan.
Untuk Anda yang belum pernah merasakan banjir, ini saya kasih sedikit ilustrasi dan gambaran, agar kalian juga dapat sedikit berempati terhadap kami yang kebanjiran. Paska banjir maka problem yang kami hadapi adalah krisis air bersih. Ya, ketiadaan air bersih disebabkan (di)matinya listrik untuk pengamanan dari sengatan listrik. Kalaupun listrik sudah dinyalakan, bukan berarti kran air langsung mengucur keluar. Masalah timbul bila pompa atau mesin air kerendam banjir. Walhasil, mesin air mati. Dan ini yang seringan terjadi.
Paska banjir puluhan pompa air ikut ngantri di bengkel. Beragam kasusnya, mulai dari dinamonya kebakar, ganti gulungan hingga mesin yang kemasukan lumpur.Â
Untuk memperbaikinya, gak cukup sejam dua jam, tapi bisa berhari-hari tergantung antrian di bengkel. Pasalnya, gak semua tukang bisa betulin mesin air. Kalau mau kelar dalam sehari, kita harus antri seharian nongkrongin di bengkel mesin. Dan yang antri pun bukan hanya kita, tapi puluhan orang. Begitulah, masalah krisis air bersih itu yang pertama.Â
Semuanya berantakan gak karu-karuan. Saya sendiri sampai pening melihat rumah yang isinya porak poranda. Bingung mau mulai bersihin dari bagian mana. Ngeliatnya saja sudah bikin capek, apalagi kalau ngeberesinnya.Â
Setelah urusan itu selesai, tahap selanjutnya adalah membersihkan lantai rumah dari lumpur dan kotoran. Nah, untuk ngebersihinnya tentu membutuhkan air bersih. Iya, kalau mesin air nyala, Lha kalau mati, maka kembali ke point satu, harus betulin mesin air dulu atau nyelang ke tetangga yang mesin airnya masih nyala.Â
Untuk bersihin lumpur ini bukan kerjaan ringan, perlu berkali-kali kumbahan air bersih hingga sampah dan lumpur tak berbekas di lantai. Terakhir, baru disiram dan dibasuh dengan air karbol. Nah, kebayang khan bagaimana capeknya kami yang kena kebanjiran.Â
Namun harus diingat, tidak semua barang harus kembali ditaruh di tempat semula. Ada barang-barang yang harus tetap bertengger di tempat yang tinggi, jaga-jaga bila banjir kembali terjadi, mengingat intensitas hujan yang masih tinggi. Umumnya peralatan elektronik yang bisa diselamatkan, seperti mesin cuci; Kulkas; Televisi, masih harus tetap bertengger diatas. Kalau sudah seperti itu pemandangannya, kebayang kan rumah masih berantakan.
Nah, selesai beresin rumah, bukan berarti kerjaan beres. Sampah yang mengunung di pekarangan atau dipingir jalan depan rumah menjadi pemandangan yang pasti kita temui dikawasan pemukiman terdampak banjir. Tumpukan Sampah rumah tangga, mulai dari pempers, pembalut wanita hingga sofa, spring bed, dan aneka furnitur, menjadi pemadangan yang khas. Baunya? Jangan ditanya..Â
Meski truk sampah didatangkan pihak Kelurahan, tetap saja tak mampu mengangkut banyaknya sampah yang mengunung. Jadi, gak sim salabim dalam sehari dua hari sampah lenyap dari pandangan mata di sekitar pemukiman warga. Butuh proses dan waktu.Â
Note:
Foto-foto koleksi pribadi kecuali foto tumpukan sampah, diambil dari:Â wartaekonomi.co.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H