Menurut Wikipedia, Mursyid mulai menjabat menteri, yakni sebagai Menteri Sekretaris Kabinet, pada tahun 1988. Dan ia bukanlah satu-satunya pejabat 'kesayangan' Pak Harto. Masih banyak 'senior'-nya yang mempunyai kedekatan emosional, baik dari jabatan maupun kekeluargaan dengan bapak 6 orang anak ini. Namun mereka, begitu tahu kapal Soeharto akan karam, beramai ramai meninggalkannya.
Bila dihitung sejak menjabat dan menjadi orang dekat pak Harto (1988) praktis hanya sekitar 10 tahun ia dekat dengan pak Harto. Jika beliau tega'an dan tak menjiwai arti penting sebuah kesetiaan, tentu ia akan mengikuti para 'senior'nya (mereka yang lebih lama bergaul dengan Pak Harto) untuk balik kanan, dan meninggalkan Sang Jendral.
Biarlah, sang jendral menyelesaikan masalahnya sendiri, saya gak mau ikut-ikutan. Bukan apa-apa, takut saya terserat masalahnya. Mungkin itu yang ada di benak mereka yang meninggalkan Pak Harto. Tak mau ikut-ikutan menanggung beban kesalahan kolektif. Biarlah itu ditanggung Si Bos.
Kesetiaan memang menjadi barang langka dalam hidup ini. Suami/istri tak selamanya setia pada pasangannya. Begitu pasangannya meninggal dunia, ia akan mencari pendamping baru. Begitu pun bos, sering tak setia pada anak buahnya. Ketemu anak buah yang pintar, (anak buah) yang lama akan ditendang. Anak buah pun demikian pula, ketemu bos yang baru, bos lama dicuekin.
Hari ini, tepat 20 tahun reformasi. Diantara kepingan-kepingan peristiwa yang mengiringi perjalanan reformasi itu, tentu ada pelajaran yang bisa kita petik. Dan, kita yang masih hidup akan selalu disuguhkan dengan pelajaran dari model kesetiaan yang ditunjukkan oleh Saadilah Mursjid.
Terima kasih Pak Mursjid!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H