Setelah resmi menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia, Pak Harto menyalami semua yang hadir di Istana. Ia salami Presiden (pengganti) BJ Habibie, para lelaki bertoga (Ketua dan Wakil ketua MA), dan beberapa pejabat negara berpakaian safari yang hadir dan menyaksikan peristiwa bersejarah itu.
Setelah bersalaman dengan mereka, Pak Harto meninggalkan ruangan tempat upacara, dan dengan bergegas, beberapa orang mengikutinya, termasuk putri kesayangannya, Mba Tutut. Ia lalu beranjak ke ruang Jepara, dimana berkumpul para pimpinan MPR/DPR.
Setelah bicara sebentar, ia meninggalkan ruangan itu, langsung keluar menuju beranda istana. Dengan langkah pasti ia turuni kediaman resminya, yang telah ia tempati selama lebih kurang 32 tahun, digamit oleh putrinya yang berkerudung.
Entah, apakah karena terikat oleh aturan protokoler atau ada sebab lain, tak tampak Presiden (pengganti) BJ Habibie mendampinginya saat menuju ke mobil kepresidenan yang telah diubah platnya menjadi plat sipil. Dalam foto-foto sejarah tak tampak pejabat yang menemaninya membuka pintu atau sekadar melambaikan tangan dan berucap: "Selamat jalan pak...!"
Sedetik kemudian, praktis curahan pemberitaan media beralih ke Habibie, sang presiden yang baru. Pak Harto? Tentu diberitakan, namun porsinya bukan sebagai presiden, tapi sebagai mantan presiden dengan pemberitaan ber-tone negatif terkait penyelenggaraan negara yang ia pimpin.
Korupsi oleh kroni-kroninya, menjadi bahasan utama media. Sejak saat itu, ia menjadi sosok yang sepi dan sendiri. Ditinggalkan oleh lawan bahkan kawan seperjuangan.Â
Beruntung, di antara sekian banyak orang yang meninggalkannya, masih ada sosok yang setia hingga akhir. Meski tahu kapal pasti karam, dan sang nahkoda akan tenggelam bersama kapalnya, ia memilih menemani sang nahkoda bahkan hingga maut memisahkan keduanya. Darinya kita bisa belajar akan arti sebuah kesetiaan. Siapa dia?
Usai Pak Harto mengucapkan kata berhenti, terlihat dalam lintasan kamera sejarah, ada satu pejabat yang masih ngintilin mantan pengusa Orde Baru itu. Dialah Saadilah Mursjid (SM). SM masih mengikuti Pak Harto menuruni tangga istana, terus berlanjut ikut hingga ke kediaman pribadinya di Jalan Cendana. Secara profesional, tak ada kewajiban dari SM untuk melu Pak Harto.
Memang, secara kedinasan saat itu ia menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara, tangan kanan sang presiden, Tapi, waktu ia mendampingi Pak Harto menuruni istana, ia bukanlah apa-apanya Pak Harto lagi. Saudara bukan, apalagi keponakan Pak Harto! Kabinet telah demisioner. Bos baru telah dilantik.
Namun itulah yang dapat kita ambil pelajaran dari sosok SM. Ia tak memandang seseorang hanya dalam kacamata hubungan atasan dan bawahan, antara bos dan anak buah, namun lebih dari itu. Ia tahu bahwa persahabatan tak diukur hanya oleh sebatas title dan status diantara dua anak manusia. Kesetiannya dengan Pak Harto menjadikannya seorang sahabat yang tak ada tandingannya.
Di masa kejayaan Orde Baru, tak banyak yang tahu sosok pria kelahiran 7 September 1937 ini. Ia tenggelam diantara nama-nama besar dan tenar pejabat-pejabat orde baru; Sebut saja; BJ. Habibie, Harmoko, Moerdiono, Akbar Tanjung, Try Sutrisno, LB Moerdani, dan seabrek nama-nama beken lainnya.