Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berkaca dari Musibah Cariu, Fasilitas di Tempat Wisata Perlu Dibenahi

2 Januari 2018   09:28 Diperbarui: 2 Januari 2018   18:35 1931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Penangkaran Rusa, Cariu, 25 Des 2017 (Dokumentasi Pribadi)

Libur panjang Natal dan Tahun Baru yang dimulai sejak tanggal 23 Desember 2017 usai sudah. Sayangnya, liburan ini diakhiri dengan kisah sedih yang diakibatkan oleh robohnya jembatan gantung di obyek Wana Wisata Penangkaran Rusa, Cariu Bogor (WWPRC). 

Akibatnya, sebanyak 30 orang mengalami luka, dimana 1 orang diantaranya meninggal dunia. Mendengar berita sedih tersebut, saya syok. Dan, dugaan saya tak meleset. Cepat atau lambat jembatan itu pasti roboh. 

Ya, saya bisa menduga itu lantaran saya telah ke sana satu minggu sebelumnya. Kondisinya? Sangat memprihatinkan. Beginilah kisah(nya) sebelum roboh.

Bagi kita orang Jakarta, destinasi untuk berlibur ke luar kota yang murah meriah hanya ada di sekitaran Puncak, Sukabumi (Pelabuhan Ratu, dsk), atau Anyer. Namun untuk ke sana, bukanlah pilihan yang selalu asyik. 

Sukabumi, misalnya, jalanan menuju ke sana tak rampung-rampung di perbaiki. Puncak? Rasio panjang jalan dengan kepadatan mobil sudah tak sebanding. Jadi, Alih-alih merasakan nikmatnya berlibur, yang ada hanya kepenatan lantaran macet di jalan.

Lantaran ketiga kawasan itu sudah terlalu mainstream, maka kami putuskan liburan Natal kali ini untuk pergi ke  Penangkaran Rusa di Cariu Bogor. Lokasinya hanya berjarak 72 kilometer dari tempat tinggal kami di Condet. Kami prediksi jalan ke sana tidak semacet, bila kami ke Puncak. 

Dari rumah, kami masuk Tol Jagorawi dan keluar di Cibubur. Kami menyusuri ruas Cibubur, Transyogi terus ke arah Cileungsi dan Jonggol. Meski sempat tersendat akibat pertemuan arus keluar masuk perumahan yang banyak bermunculan, namun secara umum, kondisi ramai lancar. Sekitar Jam 11-an kami telah tiba. Ruas Cibubur Jonggol, jalannya mulus, nyaris tanpa lubang yang berarti.

Nah, menjelang memasuki WWPRC itu, jalannya sangat terjal. Dari Jalan raya kami belok kiri, dan terlihat plang sederhana yang menandakan bahwa lokasi tujuan kami telah sampai. 

Kami harus belok ke kiri dengan turunan yang curam, dengan kondisi jalan yang nyaris tanpa aspal lantaran batu-batuan aspal sudah banyak yang terkelupas. 

Untungnya tidak hujan, sehingga jalan tidak licin. Kalau saja hujan, saya jamin banyak mobil yang selip karena kondisi jalan masuk ke WWPRC itu persis seperti jalan Makadam.

Tadinya, kami membayangkan tak akan banyak wisatawan yang berkunjung ke penangkaran rusa seluas lebih kurang 5 (lima) hektar ini. Namun dugaan kami meleset. 

Saat tiba di sana, ternayat telah banyak mobil terparkir dekat loket jembatan (pintu) masuk, hingga kami akhirnya harus parkir di atas, disisi tebing yang cukup terjal. Oleh petugas parkir dadakan kami dimintai uang jasa 5000 rupiah. Merekalah yang mengatur keluar masuk mobil.

Dengan berjalan kaki sejauh lebih kurang 300 meter kami sampai di loket tiket. Dengan harga per orang 10 ribu rupiah, WWPRC ini relatif murah. Posisi loket tiket tepat berada dimuka pintu masuk yang berupa jembatan. Hanya ada satu petugas yang memeriksa tiket, sekaligus bertugas mengarahkan keluar masuk pengunjung yang melintasi jembatan. 

Di atas jembatan memang telah terpampang papan peringatan bahwa maksimal pengunjung yang dapat lewat hanya 10 orang. Jadi ya harus antre. Namun kenyataannya banyak pengunjung yang abai terhadap peringatan tersebut. Petugas pun tak tegas melarang pengunjung untuk antri. Akibatnya di jembatan sepanjang 26 meter itu, bisa ada sekitar 20 hingga 40 orang yang hilir mudik. 

Saat berada di tengah jembatan bambu dengan ikatan pondasi baja itu, kita akan merasakan sensasi yang cukup membuat jantung berdebar. Ya, goyangannya cukup kencang. Saya sempat rada khawatir kalau tiba-tiba jembatan ambruk, dan pengunjung jatuh ke bawah. 

Untungnya tak terjadi apa-apa. Kalaupun jembatan itu bisa ambruk, saya, yang pergi dengan istri, mertua, dan dua anak, sudah antisipasi. Saya lihat arus air sungai dibawahnya tak deras. 

Air surut, lantaran hujan telah berhari-hari tak turun. Kalau arus sungai deras dan air meluap, tentu tak akan saya izinkan anak istri melintasi jembatan yang sudah ringkih itu.

Menuju tempat Penagkaran Rusa (Dokumentasi Pribadi)
Menuju tempat Penagkaran Rusa (Dokumentasi Pribadi)
Akhirnya kami sampai di seberang. Dan inilah lokasinya. Di sini kita jumpai warung-warung yang menjajakan makanan lengkap dengan saung-saungnya. Anak-anak pun banyak yang bermain pasir di tepian sungai. Kami lalu naik ke atas, menyusuri jalan setapak menuju tempat di mana kawanan rusa berkumpul. 

Sayangnya ketika kami tiba tak tampak rusa di sana. Kata salah seorang warga sana, rusa bisanya hadir sore hari. Kalau siang, mereka masuk ke dalam hutan (semak-semak pepohonan di dalam). Setelah puas foto-foto kami lalu kembali ke tempat dimana warung-warung berada. Kami memesan es kelapa muda sebagai penawar dahaga. 

Setelah itu, barulah kami pulang, tepat saat mentari berada diatas kepala. Dan sekali lagi, kami harus melewati jembatan yang sudah ringkih itu.

Dari Liburan ke WWPRC ini saya simpulkan bahwa memang rakyat kita sangat butuh piknik. Terbukti, meski beberapa obyek wisata yang ada kondisinya memprihatinkan, namun ketimbang tidak liburan maka tempat "sejelek" apapun akan di samperin. 

Nah, antusiasme rakyat berlibur inilah yang harus dipersiapkan oleh para pemangku kepentingan yang ada. Liburan panjang, apalagi pas musim anak-anak liburan sekolah, pasti akan banyak wisatawan yang berlibur. Nah, fenomena itu harusnya disadari oleh pemerintah. Kesiapsiagaan menyambut datangnya wisatawan berlibur.

Kesiapsiagaan itu antara lain; Kesiapan inftrastruktur dari/dan menuju obyek wisata; Lalu kesiapan areal parkir untuk menampung lonjakan pengunjung. Di samping itu yang tak kalah penting dan justru terpenting adalah kesiapsiagaan dalam menangkap potensi bahaya yang muncul. 

Di wisata air (sungai/pantai), misalnya, harus diperbanyak tenaga penjaga pantai agar jangan sampai terjadi ada wisatawan yang terbawa arus (ombak) laut. Jangan sampai perahu yang dinaiki terbalik, misalnya, atau jembatannya roboh, dan sebagainya.

Kesiapsiagaan ini dimaknai bahwa pengelola mampu menangkap potensi bahaya yang muncul akibat membludaknya pengunjung (wisatawan). 

Dari kesiapsiagaan ini, maka bila dirasa petugasnya kurang, maka pengelola objek wisata bisa melibatkan potensi yang ada pada masyarakat sekitar agar turut berperan serta membantu petugas menjaga keselamatan pengunjung obyek wisata. Bahasa sederhananya; Jangan duitnya aja mau, namun fasilitas dan keamanan terabaikan!

Ini menjadi tugas para pemangku kepentingan yang ada. Cukuplah musibah di jembatan Cariu menjadi pelajaran kita, bagaimana mengelola tempat wisata. Marilah kita ciptakan liburan dan hiburan rakyat yang berkesan. 

Karena sejatinya rakyat memang kurang piknik, dan libur panjang adalah kesempatan rakyat untuk piknik, melepaskan diri dari himpitan kesulitan hidup.

Referensi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun