Bagi para pejabat yang sedang menjabat, agar jabatannya itu aman, maka beragam cara dan upaya dilakukan untuk mempertahankan jabatannya. Ada yang menggunakan cara-cara positif, ada pula yang negatif.Â
Positif berarti bahwa ia akan berusaha semaksimal mungkin bekerja dengan menunjukan prestasi (performa) dan catatan kerja yang baik. Bila sebelum itu kerjanya lamban, misalnya, maka agar posisinya aman, ia akan bekerja lebih cepat dan lebih baik. Tentu bos takkan memecat anak buah yang bekerja baik. Pada akhirnya, pimpinan atau bosnya tetap mempertahankannya. Jabatannya aman.
Cilakanya, bagi mereka (pejabat) yang memang asalnya gak becus kerja, tentu mempunyai masalah tersendiri. Mau kerja bener, gak mampu. Mau menunjukkan prestasi, gak tau apa yang mesti ditunjukkan. Lha wong ia memang tak punya kemampuan. Nah, untuk tipe pejabat seperti ini maka biasanya mereka menggunakan cara negatif untuk mempertahankan jabatannya.
Pokoknya segala cara --kalau perlu pergi ke dukun-- agar jabatannya aman. Tak hanya itu, agar bos besar bersimpati padanya, maka ilmu menjulurkan lidah pun digunakan. Apa itu? Ilmu menjilat atasan. Ya, ia berusaha mempertahankan posisi dan jabatannya dengan cara membuat bos senang. Senang akan service-nya, senang terhadap kepatuhan dan ketundukannya. Bagaimana pun juga, bos adalah manusia. Yang namanya manusia tentu senang dipuja-puji, senang disanjung-sanjung.
Sebagai anak buah, bila bos kita menggunakan cara-cara positif, tentu kita akan senang melihatnya. Kita sama-sama terpacu untuk maju dan berkembang. Masalahnya, tak selamanya kita peroleh bos yang bisa kerja.
Bila mendapati bos yang gak capable, maka bersiap-siaplah menyaksikan aneka kekonyolan yang dilakukan si bos demi mempertahankan jabatannya. Sewaktu bekerja di swasta dulu, kadang saya tertawa geli melihat sikap dan tingkah bos saya bila menerima telepon dari atasannya. Ada kegugupan, takut bercampur panik yang kulihat di raut wajahnya. Di sela-sela pembicaraannya selalu terselip kata-kata, "Siap Bu..!" atau "Iya Bu.."
Tak hanya itu, bila hendak berbicara pun, bos saya selalu berucap, "Izin, Bu.." atau "Mohon, Bu.." dan kalimat-kalimat ber-nas kepatuhan antara bawahan terhadap atasannya. Atasan bosku memang seorang wanita, kami memanggilnya Bu Kepala.
Ada cerita menarik yang saya dapatkan dari teman saat makan siang. Menurut cerita temanku, saking takutnya para pejabat dengan Bu Kepala, bahkan sampai ada salah satu bos dari divisi sebelah, sebut saja namanya Pak Dahar, yang rela mengganti tampilan profile picture (Propic) di WA pribadinya lantaran tampilan propic itu tidak sesuai dengan selera Bu Kepala.Â
Saya sampai tertawa ngakak mendengar cerita teman itu. Padahal kalau dipikir, itu adalah HP pribadi dan WA pribadi Pak Dahar. Lha, kenapa Bu Kepala ikut cawe-cawe hanya karena Pak Dahar satu Group WA dengan Bu Kepala. Namun begitulah yang terjadi, hingga hal-hal yang bersifat pribadi, Pak Dahar pun tak berdaya dihadapan Bu Kepala.Â
Bagiku tindakan Pak Dahar yang mengganti propic-nya adalah lambang dari kebodohan Pak Dahar. Ia takut berkonfrontasi membela hak pribadinya di depan Bu Kepala. Mungkin karena takut kehilangan jabatan, yang membutakan akal waras Pak Dahar.
Pernah suatu ketika saat menyopiri bos, berdua kami dalam satu mobil, ia berkata, "Mas, Bu Kepala mau datang ke kantor, mau buka acara/kegiatan kita."