PB: "Oh ya, tentu akan kami selesaikan nantinya. Kalau pun ada perubahan tentu akan kami sempurnakan ke arah yang lebih baik".
Kalalu sudah seperti ini, maka semuanya akan legawa. Yang telah menjabat rela melepas jabatannya dengan tenang, sedangkan pejabat baru tahu apa yang akan dikerjakan dan warisan apa yang mesti diselesaikan. Jalannya pemerintahan pun akan berkesinambungan. Itulah hikmah sesunguhnya dari serah terima jabatan.
Meski menghadiri dan melaksanakan serah terima jabatan bukan suatu keharusan, namun inilah suatu tata krama yang seharusnya dilakukan oleh seorang ksatria. Tampaknya level 'kenegarawan' Djarot hanya sampai tingkat kabupaten. Ia tidak dapat menempatkan diri sebagai seorang tokoh yang layak dijadikan panutan.
Bahkan saking geram-nya dengan tindakan Djarot --saat menyaksikan tayangan televisi tatkala ia asyik berlibur di Labuhan Bajo--, istri-ku sempat bergumam bahwa dia (Djarot) tipe orang yang tak punya tata krama yang tinggi. "Memangnya liburan gak bisa diundur sehari, kan dia (djarot) sudah tau kalau hari senin itu Anies dilantik," ujar istriku. Maklum, istri saya sangat njawani sekali, ia wanita Klaten, Jawa Tengah, perasaan dan pembawaannya memang halus. Aku hanya tersenyum mendengar gumamannya.Â
Maka ingatlah, kekuasaan itu ada batasnya. Tak selamanya kita mengangkangi jabatan dan kekuasaan. Ada masanya kita akan surut (fade away). Hari ini dilantik, maka esok atau kapan saja, kita akan menyerahkan jabatan itu kepada pengganti kita. Tak ada yang abadi. Yang abadi adalah sifat ksatria kita yang akan kita wariskan pada anak cucu kita kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H