Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menguji Nyali Anies Baswedan

16 Oktober 2017   13:39 Diperbarui: 16 Oktober 2017   13:57 1358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PELAYANAN yang buruk, lama, tidak transparan, dan terkesan dipersulit adalah gambaran umum birokrasi dan tata kelola pemerintahan di level beberapa kelurahan/kecamatan di Provinsi DKI Jakarta era sebelum tahun 2000-an. Masyarakat yang datang dan berurusan dengan aparat pemerintahan dihadapkan pada kondisi dimana aturan dibuat serba abu-abu. Regulasi sengaja dibuat tidak jelas, dengan harapan, masyarakat --yang memang dasarnya tidak mau ribet-- akan men-'delegasikan' urusannya kepada para calo yang kesannya sengaja dipelihara oleh oknum aparat pemerintahan. 

Akhirnya, seperti sebuah istilah, kode 86, yakni "tahu sama tahu" pun muncul. Bila ingin urusan lancar dan cepat, maka siapkanlah uang tambahan atau uang rokok. Mulai dari pengurusan KTP, Kartu Keluarga, Perpanjangan Izin Pemakaman, pengurusan IMB, perizinan usaha, dsb, tak lepas dari uang receh pelicin, mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah.  

Belum lagi masalah perkotaan dan sosial masyarakat yang secara kasat mata kita temui sehari-hari. Kondisi lingkungan yang jorok, kotor, dan kumuh. Ketidaktertiban dalam mengais rezeki di masyarakat. Pedagang kaki lima berdagang dengan semaunya. Kesemrautan lalu lintas, macet dimana-mana. Banjir yang sering terjadi bila hujan turun, walau hanya sekejap, meskipun telah berbilang penguasa Jakarta berganti, namun tak juga tertangani. Masalah urbanisasi dan sebagainya adalah gambaran umum, betapa multikomplek-nya suasana ketidakteraturan yang ada di Kota Jakarta.

Gubernur-gubernur Jakarta terdahulu bukanlah tanpa prestasi. Banyak prestasi yang telah ditorehkan oleh mereka. Ada banyak perbaikan nyata yang telah dilakukan. Sayangnya, keadaan dan gerak laju pembangunan dan pertumbuhan kota sangat dinamis. Kerja Aparat seolah berpacu pada gerak laju masyarakat. Belum selesai fly over dibangun, misalnya, pertambahan motor/mobil sudah lebih dulu meningkat. Saat ini terlihat teratur, besok bisa jadi kembali kumuh. Bulan ini ditertibkan, bulan depan kembali semrawut. Begitu seterusnya, seperti gali lubang tutup lubang.

Sayangnya, kerja bagus mereka, para gubernur, sepertinya tidak didukung secara total oleh media. Saat itu media murni berperan sebagai watch dog. Kalau boleh dikatakan, media sedikit memberitakan kebaikan, namun banyak mengabarkan kejelekan (Pemprov DKI). Akibatnya --mungkin-- yang tampak adalah yang jelek-jelek, dan yang baik justru yang tersembunyi alias tak terwartakan.

Berbeda dengan para gubernur pendahulunya, Jokowi, --lalu Ahok dan Djarot-- sangat di dukung media. Kemanapun mereka pergi, setiap langkah dan gerakannya selalu dikuntit oleh media. Dan hasilnya, (kebanyakan) keluarlah pemberitaan yang bagus-bagus tentang mereka. Oleh media pendukung, mereka adalah hero. Setiap beliedyang dikeluarkan gubernur, lalu ditentang oleh pengkritiknya, yang terjadi adalah, alih alih mengkritisi setiap kebijakan gubernur, yang ada si pengkritik justru di bully dan dijadikan 'musuh' bersama. Sejatinya mereka telah menjadi media darling. Bahkan, saya ibaratkan --maaf- kentut mereka pun akan tercium 'wangi' untuk diberitakan oleh media.

Terlepas dari pro kontra dan plus minus yang ada pada periode kepemimpinan Jokowi, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot (2012-2017), namun yang perlu digarisbawahi adalah mereka bukanlah malaikat --yang tanpa salah dan cela-- yang diutus Tuhan untuk membereskan Jakarta. Diantara ketiganya, Ahok lah yang paling lama memimpin Jakarta (2014-2017). 

Dalam masa kepemimpinannya, banyak kasus kontroversial yang terjadi. Kasus RS Sumber Waras misalnya, kasus ber-kode RSSW ini seolah menjadi duri dalam sepatu yang menggangu jalannya karier politik sang gubernur. Tak hanya itu, ujaran penistaan terhadap agama Islam yang dilakukannya saat kunjungan kerja di Pulau Seribu plus ucapan-ucapan provokatif-nya turut membentuk citra bahwa ia bukanlah sosok seorang gubernur dan pemimpin yang baik, yang bisa dijadikan benchmark untuk dapat dibanggakan dihadapan anak cucu kita kelak. 

Sungguh ironis, ia tidak menyudahi ke-gubernuran-nya dengan husnul khatimah lantaran oleh hakim, ia diganjar hukuman dua tahun penjara karena melanggar pasal 156a KUHP. Sebagai narapidana (napi), oleh presiden, ia diberhentikan dan diganti oleh wakilnya, Djarot Syaiful Hidayat (2017).

Atas segala kebijakan yang kontroversial selama memimpin Jakarta, akhirnya Ahok merasakan akibatnya. Kekalahan pasangan Ahok-Djarot seperti tinggal menunggu saatnya saja. Dalam pemilihan untuk menetukan siapa yang nantinya berhak mengatur warga Jakarta itu, pasangan Ahok-Djarot kalah telak dari pasangan Anies dan Sandi. Pria kelahiran Manggar itu ditinggalkan oleh mayoritas warga Jakarta. Sebagai kota dengan tujuh juta lebih warganya, tampaknya ia salah berhitung. Kebijakannya terlalu pro pemodal (cukong) dan kalangan menegah atas dengan mengabaikan kelompok marginal. Jadilah ia terjungkal oleh dirinya sendiri.

Kini era Ahok -- Djarot telah game over. Tinggallah kini Anies -- Sandi yang akan melanjutkan cuci piring-nya Jakarta. Anies Rasyid Baswedan dan Salahuddin Sandiaga Uno, keduanya adalah sosok yang cerdas. (Indikatornya sederhana, keduanya pernah kuliah di universitas bergengsi di Amerika, bahkan (Anies) hingga meraih gelar Doktor). Disamping bersih, keduanya pun santun tutur kata dan perbuatannya. Dan, yang tak kalah charming-nya adalah kegantengan keduanya, hehe.. Nah, agar Anies--Sandi dikenang layaknya Bang Ali Sadikin (1966-1977) dalam membangun Jakarta, maka tak cukup keduanya hanya bermodalkan figure yang bersih, santun, cerdas, dan wajah ganteng. Tapi lebih dari itu, mereka harus putus urat takutnya. Ya, keduanya harus punya keberanian yang luar biasa diatas keberanian rata-rata preman pasar dan 'gangster' Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun