Sejujurnya, ada perasaan malu di depan anak-anakku lantaran aku tak bisa berenang. Sebagai ayah, tak ada yang bisa kubanggakan pada mereka, saat kami, misalnya, berlibur di hotel dengan fasilitas kolam renang yang wahh. Kedigdayaanku sebagai ayah sirna saat berada di kolam renang.Â
Di situ, aku hanya bisa menemani mereka di pinggir kolam. Kalaupun terpaksa menyebur, agar tak keliatan memalukan di depan para tamu hotel lainnya yang berenang, aku memegang tangan anak-anakku, berpura-pura agar terlihat seperti mengajari mereka berenang. Padahal, tanpa dipegang olehku mereka sudah pandai berenang. Namun, sebagai anak yang baik, mereka tampaknya tahu diri. Demi mengetahui ayahnya tak bisa berenang, dibiarkannya tangannya dipegang olehku, agar aku tak malu di depan orang-orang yang renang. Good boy, heheh..
Entah apa yang terjadi dengan Buya dan Ibuku dulu. Apakah mereka belum tahu, atau, kalau pun tahu ada hadits ini mereka tak bisa mengamalkannya lantaran keterbatasan ekonomi keluarga saat itu. Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh An-Nasai berisi anjuran agar mengajarkan renang. Sayang, anjuran ini tak diterapkan oleh orang tuaku. Kalau saja mereka mengamalkannya, tentu aku tak harus berakting ngajarin renang anak-anakku.Â
Karena tak bisa renang inilah ada perasaan penyesalan mendalam bila melihat beningnya kolam renang di hotel nan mewah, saat melihat jernihnya air laut dengan ombaknya yang tenang. Pengen nyebur, tapi takut tenggelam. Dari seluruh keluargaku, hanya aku yang tak bisa berenang. Kedua adikku sangat mahir berenang. Mainannya bukan lagi level kolam renang, namun mereka sanggup berenang di laut yang dalam. Ketidakbisaanku berenang tentu ada sebabnya.
Dulunya saat aku kecil, kebetulan rumah-rumah di kiri kanan, dan belakang kami memiliki kolam renang. Maklum, kami sekeluarga tinggal di Kemang, di mana kebanyakan rumah memiliki kolam renang. Rumah-rumah itu disewakan untuk orang bule. Nah, selagi rumah itu kosong lantaran ditinggal oleh yang punya berlibur ke Eropa/Amerika, oleh pembantu yang jaga rumah, kami, anak-anak Kampung Kebon dibolehkan masuk untuk berenang.Â
Dan, pada saat itulah teman-teman yang usianya lebih tua dariku, mulai unjuk kebolehan berenang di tempat yang dalam. Mereka memang telah diajarin renang sewaktu sekolah di SMP. Yang belum SMP, tentu berlatih secara otodidak di pinggir Kali Krukut, dekat rumah. Hanya masalah nyali saja yang membuat mereka, anak-anak kampung bisa berenang. Kalau nyalinya ciut, ya sampai lebaran kuda pun tak kan bisa. Gayanya pun hanya sebatas gaya kodok. Intinya, tidak tenggelam. Itu saja.
Yang lain, yang baru mau mulai belajar renang, baik secara otodidak atau diajari oleh yang lebih pandai memilih bermain air di tepi dan berada di kolam yang dangkal. Pada rumah yang ada kolam renangnya memang selalu ada dua sisi. Sisi ujung untuk yang ukuran dalam, dan sisi satunya yang dangkal, seukuran pusar orang dewasa. Nah, lantaran baru mau belajar, aku pun hanya nyebur dan berdiri saja di pinggir kolam. Kalaupun mencoba 'berenang' hanya mengandalkan "gaya batu".Â
Tahu aku belum bisa berenang, dasar anak-anak, oleh mereka, pada satu kesempatan, aku dikerjain dengan cara di-jorogin (di-ceburin) ke kolam. Maksudnya memang baik agar aku bisa langsung berenang dengan cepat. Padahal, yang dilakukan mereka itu sangat berbahaya. Benar saja, yang terjadi aku tenggelam gelagapan, nyaris semaput. Banyak air kolam yang masuk ke tubuhku. Beruntung aku dapat meraih tiang yang ada di pingiran kolam. Sejak itulah aku trauma untuk belajar renang. Trauma bila berada dekat dengan kolam renang, takut di-jorogin ke kolam. Trauma yang membekas hingga saat ini.
Begitulah. Dan, dari sinilah aku bersumpah agar anak-anakku tak mengalami nasib seperti ayahnya yang tak bisa renang, aku kursuskan anak-anakku sejak mereka usia TK di Klub Halim Persada, yang lokasinya dekat rumah. Seminggu sekali mereka berlatih renang dengan instruktur tentara dari Angkatan Udara. (Jangan dikira, meski Angkatan Udara, mereka tak hanya bisa terbang, menyelam (renang) pun pandai. Tentara dilawan, hehe..).
Tadinya yang sulung, --sama sepertiku-- takut air, namun lantaran pelatihnya tentara, mau tak mau, dengan diberikan teknik khusus, lama-lama ia jadi berani, dan hanya butuh 8 kali pertemuan saja ia sudah lancar berenang. Sedangkan anakku yang perempuan, nyali renangnya melebihi abangnya. Sama air berani.
Selain anak-anakku yang berusia belia, di klub itu ada juga remaja dan pria dewasa, seumuranku yang berlatih renang. Melihat itu, istriku memaksaku untuk ikut berlatih seperti mereka.
"Hayuk, Yah.. masak kalah sama anak-anaknya. Itu bapak yang dipojok itu juga lagi belajar renang," ujar istri memotivasiku.
Namun, lantaran trauma ini masih saja membekas, aku tak melayani ajakan istri.
"Masak udah tua belajar renang, malu ah, Bun," kilahku.
Aku tahu tak ada kamus terlambat untuk belajar. Namun aku sudah patah semangat untuk belajar renang. "Meskipun aku tak bisa renang, toh anak-anakku jago renang. Biarlah aku hanya berenang mengunakan pelampung, yang penting ngambang di air," batinku. Hehe..
Kini sumpah-ku telah terwujud menjadikan anak-anakku bisa berenang. Mereka sangat senang bila kami berlibur. Berlibur bagi mereka adalah menginap di hotel. Dan nginap di hotel adalah berenang. Kebahagian yang sederhana. So, Anda mau bisa berenang? Baiknya, belajarlah selagi kecil. Jika tak sempat, belajarlah saat masih remaja. Atau, kalaupun tak bisa, belajarlah selagi masih ada umur. Kalau aku? Cukuplah aku yang jadi tumbal di keluarga, hehe..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H