Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenangan Imlek yang Pernah Kami Rasakan

27 Januari 2017   08:49 Diperbarui: 27 Januari 2017   09:30 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Imlek tahun ini --seperti imlek-imlek beberapa tahun yang lalu-- tak berarti apa-apa bagi mami. Meski mamiku berdarah tionghoa, namun sudah sejak lama beliau tidak pernah lagi merasakan suasana imlek. Sebelumnya, sekitar tahun 90-an saat famili dan kerabat dekat mamiku masih hidup, kami rutin kecipratan suasana imlek. Ya, Ini karena ada beberapa keluarga mami yang non-muslim, yang masih menjaga tradisi pergantian tahun baru china atau imlekan itu. Jadi, saban imlek tiba, kami pun bisa merasakan kemeriahan dan suka cita imlek sebagaimana saudara-saudara tionghoa lainnya di Indonesia.

Bicara tradisi Imlek di keluarga kami, mamiku pasti akan mengaitkannya dengan kisah dan cerita tentang saudara sepupunya. Kakak Sepupu mami ini tinggal di Kebayoran Lama, dekat pasar. Namanya Lauw Hong Nio. Aku memanggilnya Wak Hong Nio. Usianya lebih tua sekitar sepuluh tahun dengan mami. Yang hingga kini kami kenang dari kebiasaan Uwakku semasa hidupnya adalah, menjelang datangnya hari imlek, beliau tak pernah absen mengirimkan  aneka kue, yang kami kenal dengan nama dodol china.

Kebiasaan ini selalu dilakukan rutin saban tahun, hampir tak pernah absen, hingga beliau wafat sekitar tahun 2000-an. Biasanya menjelang imlek, Ncang Amin, Abang mamiku akan datang ke rumah Wak Hong Nio untuk silaturahmi sekaligus mengambil titipan kue dodol cina yang memang sudah disiapkan oleh Hong Nio. Adakalanya juga salah satu anaknya datang ke rumah mengantarkan bingkisan kue imlek. Namun sayang, selepas kematiannya, kebiasaan yang baik ini tidak diteruskan oleh Beng Tek, Beng Yang, dan anak-anaknya yang lain.  

Mamiku cukup dekat dengannya. Sebab, hanya Wak Hong Nio, saudara sepupu mami yang tinggal di Jakarta. Sepupu-sepupu mami yang lain menyebar di beberapa kota. Jarang sekali mereka bertemu. Kalaupun mereka berkumpul, itu terjadi hanya setahun sekali, saat lebaran tiba, ketika kami ziarah dan silaturahmi kepada leluhur dan kerabat di Subang. Diluar itu biasanya kami bersua saat salah satu diantara saudara kami ada yang menggelar pesta perkawinan.

Saking dekatnya dengan Wak Hong Nio, dimasa muda mami, beliau sering menginap di rumah Wak-ku ini. Biasanya selepas kursus menjahit di kawasan Blok A, seperti anak gadis angkatan 60-an pada umumnya, mamiku -dengan bersepeda- kerap keluyuran hingga jauh ke Kebayoran Lama. Bersama teman-temannya, mamiku menghabiskan sore dengan mencari hiburan sembari nonton di bioskop Bintang Mas, di Pasar Kebayoran Lama. Pulang nonton, bukannya kembali ke Kemang, ke rumah nenekku, namun mamiku justru mampir bertandang ke rumah Hong Nio, yang letaknya tak jauh dari pasar.  

Seperti lazimnya pergaulan antar saudara, Hong Nio, sebagai seorang kakak sangat menjaga dan memperhatikan mami. Ya, mungkin lantaran Hong Nio tahu betapa kurang bahagianya mami menjalani masa kecilnya lantaran di tinggal mati ayahnya. Untuk menghibur mami, kadang-kadang keluarga Hong Nio mengajak mami jalan-jalan, plezier, bahkan hingga keluar kota.

“Mami pernah diajak ke Cimaja (?), waktu nguburin wak Alam, kuburannya ada di gunung. Kuburan China,” kenang mamiku bercerita padaku di suatu sore, di batas akhir senja.

Sebagai seorang yatim, mamiku memang kurang piknik, hehe.. Kalaupun piknik, palingan hanya main ke Pasar Kebayoran, ke rumah sepupunya ini. Biasanya sebelum bertandang, mami akan meng-ebel pintu gerbang dulu, memastikan keadaan ‘aman’. Begitu di tengok ada mami datang, Wak Hong Nio menyuruh Beng Tek (DR. Sunaryo, pakar pembuatan kapal laut), putranya yang masih kecil untuk mengandangkan anjing-anjing mereka. Mamiku memang takut anjing.

Tek, hayo dimasukin anjing-nya, ada Omah (panggilan dari Rohmah) datang,” kenang mamiku menirukan suara Hong Nio saat menyambut kedatangannya.

Keluarga Wak Hong Nio memang memelihara anjing. Anjingnya kecil, namun kalau menyalak, tak kalah garang dengan anjing herder yang besar.

Meski Wak Hong Nio telah wafat dan tradisi hantaran kue china terputus, namun silaturahmi antar keluarga kami dengan keluarga Wak Hong Nio tetap terjaga. Saban lebaran tiba, anak-anaknya selalu datang ke rumah mamiku untuk ber-lebaran. Biasanya mereka datang siang hari, setelah tamu-tamu dan kerabat mami bersilaturahmi selepas Shalat Ied dengan mami. Maklum, mami kini orang tua yang dituakan. Sebab, hanya tinggal mami-lah anak dari kakek/nenek-ku yang masih hidup.

Biasanya, di lebaran hari pertama, setelah para saudara dan ponakan-ponakan mami yang muslim pulang, hanya tinggal mami, aku dan adik-adik-ku saja yang tersisa. Meski sebagian besar tamu dan kerabat dekat telah datang bersilaturahmi, namun mami belum bisa tenang untuk sekadar selonjoran atau beristirahat. Ada salah satu tamu yang ditunggu kehadirannya oleh mami. Siapa dia? Mamiku belum tenang bila keluarga Wak Hong Nio belum datang berlebaran. Maka, sebagai persiapan menyambut mereka, sebelum para ponakannya (anak-anak Wak Hong Nio) datang, mami pasti akan menyisakan ketupat lebaran sebagai santapan makan siang untuk mereka.

Mat, pisahkan 10 ketupat buat anak-anaknya Hong Nio. Ketupat jangan sampai habis,” itulah executive order dan titah mamiku dihari pertama lebaran, saat aku bersiap menyantap hidangan ketupat yang tergelatak di meja.

Dan biasanya sekitar jam makan siang, barulah sebagian keluarga Besar Wak Hong Nio datang silaturahmi ke rumah. Nah, selepas mereka datang, legalah hati mami lantaran ketupat beserta sayur dan daging semur habis disantap oleh ponakan-ponakannya. Berkah, kata mami. 

Oh ya, selain kue imlek, Mami juga berbagi kisah lainnya, kebiasaan orang tua dulu sewaktu imlek adalah membeli ikan bandeng ukuran jumbo untuk disantap bersama. Sewaktu muda, mami sering diajak Wak Hong Nio membeli ikan bandeng ukuran jumbo di Pasar Rawa Belong, arah utara Pasar kebayoran lama. Mami dengan lancarnya bercerita, sewaktu muda ia pernah bersepeda hingga ke kawasan Slipi, dekat Rawa Belong.

Begitulah mamiku mengenang masa-masa mudanya bersama Wak Hong Nio menjelang imek tiba. Semoga kenangan mami tak lekang dimakan usianya yang kian sepuh. Panjang umur dan sehat selalu, mami. Gong Xi Fat Coi!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun