Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Cerita tentang Orang Kaya di Jakarta

17 Oktober 2016   09:13 Diperbarui: 17 Oktober 2016   20:30 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak yang bilang bahwa kaya dan miskin itu relatif. Bagaimana mengukur seseorang kaya atau miskin. Apa parameternya? Apa tolak ukurnya? Bagi saya pribadi, untuk menilai seseorang masuk golongan kaya atau tidak kaya (sengaja saya gunakan kata tidak kaya untuk menggantikan kata miskin) yakni bila ia memiliki rumah pribadi (bukan ngontrak atau masih numpang dengan orang tua/mertua, hehe..) berlokasi MASIH di Jakarta, lebih spesifik lagi di kawasan Menteng, Kebayoran Baru, Kemang, dan Pondok Indah, dengan luas tanah sekitar –sedikitnya-- 500 meter persegi, plus punya kendaraan roda empat tentunya, dan penghasilan sebulan at least 20 jutaan.

It’s simple parameter. Lebih dari itu, berarti kaya bingits. Nah, justru, bagi orang yang kaya bingits, bila ukurannya hanya memakai, saya punya parameter, seperti diatas, bisa jadi mereka masih dianggap belum kaya atau masuk kategori orang yang biasa-biasa saja. Jadi, mungkin inilah makna relativitas dari kekayaan atau ketidak-kayaan itu sendiri.

Jika saya amati sekilas, ada 2 (dua) type atau golongan orang kaya. Pertama; Orang kaya yang tahu bahwa ia kaya. Ia sadar bahwa ia orang kaya dan tahu akan kemana uang dan harta kekayaannya itu akan ia gunakan. Lantaran tahu bahwa ia kaya, maka ia nikmati harta kekayaannya sebaik-baiknya. Ia tidak ingin dibelenggu oleh harta dan kekayaanya, justru gunakan uang dan hartanya untuk bersenang-senang. Tiada hari tanpa kebahagiaan, tawa dan canda.

Banyak teman saya memanfaatkan kekayaannya untuk kesenangan pribadi dan keluarganya. Saban semester diisi dengan jalan-jalan, wisata kuliner, spa, hangout, dan sebagainya. Sering saya jumpai dalam updetan status di fesbuk-nya, teman saya terlihat sedang ber-selfie dengan latar belakang Menara Eifel. Di lain kesempatan saya lihat pula ia berada di Patung Liberty, NY.

Nah, menariknya golongan ini mampu mengimplementasikan kekayaanya dengan amal sosial yang bernilai ibadah. Mereka membelanjakan kekayaannya --disamping untuk kesenangan pribadi-- juga untuk kemaslahatan umat manusia. Mereka mendonasikan sebagian –entah besar atau kecil—harta yang dimiliki untuk amal ibadah sosial secara simultan dan beriringan. Tak jarang mereka saban tahun suka ber-umroh ke Masjidil Haram, Kerap mengundang anak yatim untuk perayaan hari ulang tahunnya ataupun perayaan kesyukuran lainnya.

Bahkan, saking ‘riya’ nya foto-foto aktivitas sosial dengan para pengurus panti sosial di unggah di medsos. Dengan kata lain, Ia dan harta kekayaannya bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Inilah jenis atau type orang kaya yang saya istilahkan “High Quality Rich.” Orang kaya model ini adalah mereka yang sadar bahwa meraka kaya sehingga mampu dan mendayagunakan potensi kekayaannya untuk sesuatu yang bernilai sosial, produktif, rekreatif, dan multi useful. Tegasnya, kekayaan yang ia miliki mampu membuat ia dihormati, dipandang dan di’anggap’ oleh masyarakat sekitar.

Nah, ada pula orang kaya yang sadar bahwa ia kaya namun mereka membelanjakan kekayaannya hanya untuk kepentingan dan ego pribadi dan keluarga saja tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Bahasa sosiologinya “Asosial”. Tidak peduli akan nasib tetangga yang kesusahan. Tidak care terhadap anak yatim dan janda sekitar rumah yang perlu disantuni. Bahkan, tidak pernah ikut iuran satpam atau iuran RT/RW. Bila ada tetangga selemparan rumah yang meninggal, ia tidak melayat ataupun menitipkan amplop uang duka kepada shohibul musibah.

Golongan ini berprisnsip: “gw gak ngerugiin loe, so jangan janggu gw.” “Loe asik, gw asik.” Walhasil, mereka menikmati kekayaannya hanya untuk kepentingan diri sendiri, hanya untuk pemuasan ego dan nafsu pribadi, tanpa peduli dengan lingkungan masyarakat sekitar. Sepanjang tidak merugikan orang lain, buat apa pusing mikirin orang lain. Ego lah yang timbul.

Sebaliknya, ada pula golongan kedua, yakni orang kaya yang tidak sadar bahwa ia kaya sehinga tidak bisa menikmati dan memanfaatkan harta kekayaannya. Mereka diperbudak oleh hartanya. Mereka ini, sibuk bekerja dari pagi buta hingga malam berselimut gelap. Yang ada dibenaknya bagaimana uang hari ini terkumpul banyak. 

Buka toko dipagi hari, berdagang seharian di toko, tutup toko lalu pulang, begitu seterusnya. Bagi mereka yang kerja kantoran, eksekutif papan atas, misalnya, pergi saat belum tampak mentari, pas jam pulang tak sempat bersua dengan kelembutan mentari. Jika saya lirik dari penampilannya tentu gajinya sekitar 30 jutaan. Mobil keluaran terbaru, walaupun masih ada sisa kredit 12 bulan.

Karena tidak sadar bahwa ia kaya, maka hampir dibilang tidak ada kamus ber-leisure dan bersenang-senang dalam hidup mereka. Tiap akhir pekan menghadang, hanya pergi ke mall lalu balik ke rumah. Tak pernah sekalipun saya lihat keluarga mereka plezier ke Bali, misalnya. Namun demikian, beruntung mereka masih mau iuran RT/RW, masih mau nyumbang pembangunan gedung PAUD, dan masih peduli dengan menyantuni anak tetangga yang ileran dan belekan lantaran kurang gizi. 

Menarik memang, meski gak pernah jalan-jalan ke Lombok, mereka juga masih sempet-sempetnya nyumbang kegiatan maulid Nabi SAW di mushola deket rumah. Golongan ini ‘pelit’ terhadap diri sendiri, namun royal terhadap lingkungan sekitar. Mereka masih mau bersosialisasi dengan warga sekitar tempat tinggal.

Nah, celakanya golongan kedua ini adalah meski kaya, namun tidak sadar ia kaya malahan justru apaptis terhadap lingkungan sosialnya. Sungguh, saya kasihan terhadap mereka, tidak bahagia hidupnya. Dibudak oleh harta, tanpa mampu menikmatinya. Pergi pagi, pulang malam, begitu saban hari menumpuk dan mengumpulkan harta. Apesnya lagi, dalam tata pergaulan masyarakat pun golongan ini nyaris diacuhkan bahkan tidak di reken keberadaannya oleh Pak RT/RW. Kalau ia mati, entah ketabrak Bus TransJakarta atau tertimpa pohon tumbang, dipastikan gak ‘kan ada orang yang men-shalatinya, bahkan tetangga kiri kanan pun segan bertandang ke rumahnya tuk ngelawat.  

Maka, beruntunglah kita bila diamanahi kekayaan oleh Tuhan YME dan sadar bahwa kita kaya karena-Nya dan membelanjakan kekayaan itu untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitar, amien.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun