Kedudukan Jakarta sebagai ibu kota Negara mempunyai makna yang strategis sebagai indicator Indonesia secara keseluruhan. Perebutan kursi Gubernur DKI ini menjadi menarik karena Jakarta adalah borometer Indonesia. Keberhasilan atau kegagalam memimpin Jakarta akan menjadi tolak ukur apakah pemimpin itu layak diorbitkan ke tataran kepemimpinan tingkat nasional ataupun terhenti sebatan level gubernur. Memimpin Jakarta ibarat menjalani proses magang sebelum bisa memimpin Indonesia, makanya banyak politikus begitu tertarik ingin ‘menguasai’ Jakarta.
Sejak Orde Baru berkuasa, Sepanjang itu pula Jakarta dipimpin oleh militer atau orang yang berlatar belakang militer. Tak heran, mengingat pasca peristiwa G30S/PKI untuk pembinaan teritorial di Pulau Jawa menjadi jatahnya elite militer untuk tampil memimpin daerah, wabilkhususJakarta. Menjadi konvensi tersendiri bagi militer untuk mengontrol ibukota. Biasanya, militer yang di’karyakan’ untuk memimpin Jakarta adalah mereka yang tahu tentang Jakarta. Itu salah satu syarat. Dan, syarat yang lebih utama adalah mereka dekat dan dikenal secara personal oleh Pak Harto. Tentunya sang calon gubernur pastilah orang yang mempunyai hubungan emosional dengan sang presiden dan dekat dengan kalangan elit-nya.
Maka dipilihlah para bekas Pangdam Jaya sebagai gubernur DKI Jakarta untuk masa pengabdian mereka berikutnya. Tercatat Soeryadi Soedirja dan Sutiyoso, keduanya adalah bekas Pangdam Jaya. Jauh sebelumnya ada Tjokroplanolo, Bekas Sekmil Presiden Soeharto, disusul Soeprapto, bekas Sekjen Depdagri, lalu Wiyogo Atmodarminto, mantan Pangkostrad. Kesemuanya –dulunya-- mempunyai hubungan emosional dan bertalian dengan kehidupan dan sepak terjang Pak Harto dalam kedinasan militer. Pengecualian terjadi pada Fauzi Bowo (Foke). Ia seorang sipil. Namun perlu di catat bahwa Foke menjadi gubernur saat zaman reformasi tiba. Akan lain cerita bila Orde Baru masih berkuasa, mustahil bagi seorang Foke untuk menggapai karier tertingginya di lingkungan birokrasi sebagai gubernur. Foke adalah birokrat karier, merintis kariernya dari bawah dan tahu seluk beluk aspek pemerintahan di Jakarta dengan segala problematikanya.
Menariknya, meski Foke adalah seorang sipil tulen, namun perlu diingat bahwa beliau adalah menantu dari Sudjono Humardani, orang kepercayaan Soeharto. Jadi, sedikit banyak dalam kariernya ini masih ada sangkut paut dengan lingkungan Cendana. Mungkin hanya Ali Sadikin saja yang bukan (orangnya) siapa-siapa, mengingat ia dilantik saat senja kala sang presiden RI pertama, Bung Karno.
Jadi boleh disimpulkan, setelah Ali Sadikin, mereka yang pernah memimpin Jakarta entah kebetulan atau tidak adalah orang-orang yang dekat dan bersinggungan dengan Soeharto, sang Presiden. Baik itu kedekatan emosional maupun kedekatan lantaran hubungan kedinasan atau kerja.
Lalu, sampailah masa dimana Jakarta dipimpin oleh orang baru. Dikatakan baru karena pasangan ini bukan ‘siapa-siapa’ dalam arti, bukan berasal dalam lingkup pemerintah Provinsi. DKI Jakarta, ataupun orang yang pernah bersinggungan dengan Jakarta, seperti bekas Pangdam Jaya ataupun lama tinggal di Jakarta. Jokowi dan Ahok adalah orang ‘kampung’ yang diboyong ke Jakarta. Sebelumnya, pasangan ini nyaris tak mempunyai nama. Kelas mereka pun hanya level walikota/bupati di kota yang tidak besar. Jokowi hanya Walikota di Solo, Kota Kecil, di Indonesia. Basuki, hanya mantan Bupati dari Kabupaten yang juga tidak ada apa-apanya ketimbang kabupaten yang ada di pulau Jawa.
 Namun, dengan dukungan media melalui polesan pencitraan yang dahsyat, mereka, Jokowi-Ahok, yang tadinya bukan siapa-siapa disulap menjadi wah dan hebat. Polesan media ini dimaksudkan untuk menciptakan image positif dimata pemilih Jakarta dengan harapan pasangan ini dapat membawa perubahan yang berarti untuk Jakarta. Harapan (new hope) pun muncul. Inilah pasangan yang diharapkan akan tepat memimpin Jakarta untuk periode selanjutnya. Inilah pemimpin yang diharapkan akan membawa perubahan.
Harapan publik kepada mereka sangat besar. Publik berharap dengan tampilnya pasangan baru tersebut, akan membawa perubahan yang berarti utuk kemajuan Kota. Dan sekali lagi, dengan bantuan media, program-program yang mereka susun, diback-up habis-habisan oleh media, dan tentu saja pendukung mereka dari kalangan menengah keatas melalui sarana media social yang ada. Bahkan Jokowi, misalnya sampai perlu berkotor-kotor untuk masuk dan turun ke got-got yang bau hanya untuk mengecek apakah ada sampah yang mengakibatkan air terhambat, sehingga banjir kerap melanda Jakarta. Pencitraan yang sungguh sempurna. Publik tersihir.
Jokowi tidak lama memimpin Jakarta, ia kemudian dikatrol untuk memimpin Indonesia. Jadilah Ahok mendapat durian runtuh untuk menahkodai Jakarta. Ya, karena se-lazimnya, akan sulit dan mungkin mustahil bagi Ahok memimpin Jakarta, kota dengan beragam etnis-etnis besar yang ada di Jakarta. Kemunculan ahok adalah anomaly tersendiri dari pakem yang selama ini telah terjadi dalam kepemimpinan di DKI Jakarta. Praktis sebelum pilkada 2012 berlangsung, publik kebanyakan tidak mengenalnya. Namun, itulah yang terjadi. Ia secara de facto dan de jure telah menjadi Gubernur Provinsi DKI Jakarta ke 16 menggantikan Jokowi.
Era Pak Harto telah berakhir. Meski hegemoni dan pengaruh dari Bapak Orde Baru ini telah redup, justru pola ‘penguasaan’ Jakarta yang ditanamkan oleh Pak Harto coba ditiru oleh presiden-presiden setelahnya. Pasca Gubernur Sutiyoso, misalnya, Fauzi Bowo dengan ‘restu’ SBY sebagai presiden saat itu, berhasil menjadi Gubernur. Namun sayangnya, untuk periode kedua, meski restu sang presiden telah ditangan, Ia dikalahkan oleh Jokowi/Ahok, yang diusung PDI-P dan Gerindra (Megawati dan Prabowo), ditahun 2014.
Hiruk pikuk penjaringan untuk kandidat dan bakal calon gubernur yang hampir tiap hari mewarnai pemberitaan media usai sudah. Jumat tengah malam, menjelang pergantian hari ke tanggal 24 September 2016, setelah KPUD Provinsi DKI Jakarta menerima berkas pendaftaran dari pasangan Ahok – Djarot; Agus Yudhoyono – Sylviana; Serta Anies – Sandiaga, kini telah jelaslah peta persaingan perebutan DKI 1 dan 2. Dari ketiga pasang calon tersebut, sesungguhnya mencerminkan konfigurasi dan perebutan pengaruh yang diwakili oleh para presiden dan kandidat presiden (Prabowo) yang ada. Ahok dan Djarot didukung penuh oleh Megawati dan Jokowi. Presiden (ke-5) Yudhoyono menyorongkan putra-nya Agus. Pasangan Anies/Sandiaga mewakili kekuatan kubu Prabowo.