Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sirene 911

7 Juni 2016   09:58 Diperbarui: 7 Juni 2016   10:15 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tiba Sabtu siang, 05 Maret 2016, sekitar jam 13.32 waktu setempat, setelah sebelumnya menempuh perjalanan sekitar dua jam dari Dallas Ft Worth Intl’ Airport, Texas. Pesawat American Airlines mendarat mulus di bandara Ronald Reagen, di pusat  kota. Ya, bandara ini memang tak jauh dari White House dan Washington Monument. Dari kedua tempat itu, bila kita berjalan-jalan menyusuri indahnya kota, akan jelas terlihat body pesawat saat akan landing.

Saat tiba, Mba Nunu, penghubung kami selama program #IVLP di USA telah hadir untuk menjemput kami. Namun sebelum kami keluar dari bandara, ada kekisruhan yang terjadi lantaran koper-koper kami belum tampak di tempat pengambilan barang berjalan, hingga koper terakhir habis. Kami segera menuju counter lost and found untuk mengadukan masalah tersebut. Beruntung selagi kawanku mengantri, tampak koper-koper kami, bermunculan dari conveyor berjalan. Aku berseru, “koperne wis teko.” Lega rasanya.

Setelah koper didapatkan, kami lalu keluar menuju mobil jemputan yang sudah disiapkan oleh pihak penyelenggara. Begitu keluar areal bandara, hawa dingin langsung menyergap. Maklum, musim salju baru saja usai. Hembusan angin yang bertiup kencang terasa sangat dingin, mampu membuat badanku yang hanya berbalut longjohn dan jaket tipis menggigil, meskipun sinar mentari menyorot badanku. Kulihat di temperature board, udara di luar berada pada kisaran 5 derajat celcius.

Lantaran koper yang telat datangnya itu membuat kami harus tertahan di bandara hampir 1 jam, akibatnya kami tiba di hotel sekitar jam 15.00. Lelah? Tentu saja. Setelah check in dan mendapatkan brosur dan jadwal kegiatan selama di DC dari recepsionis, aku bergegas naik ke lantai 8. Ingin rasanya segera istirahat, tidur diempuknya kamar Hotel One Circle yang lokasinya berseberangan jalan dengan Universitas George Washington. Dan malam ini adalah malam pertamaku tinggal di hotel, di Washington DC, setelah menempuh penerbangan hampir 20 jam dari Jakarta.

Sumber: dailycaller.com
Sumber: dailycaller.com
Malam ini dan malam-malam selanjutnya selama berada di ibukota Amerika ini aku tak bisa tidur nyenyak lantaran masih berada dalam suasana jetleg. Mata ini sulit terpejam. Kalaupun tertidur, paling lama hanya 3 jam, untuk kemudian bangun lagi di tengah malam. Maklum, ritme dan metabolisme tubuh belum menyesuaikan. Saat ini di Jakarta tentu siang hari, kebalikan dari DC yang tengah malam dengan selisih 12 jam. Begitu seterusnya hingga malam ke 5.

Sialnya, kesusahanku dalam tidur juga ditambah oleh rauangan sirene yang hampir saban setengah jam memecah keheningan malam kota DC. Bunyi sirine itu sangat menganggu. Raungan sirene itu seolah menyambut malam pertamaku di Washington DC. Sirine dari 911 itu meraung silih berganti dengan deru satu dua kendaraan yang kudengar.

Bicara mengenai raungan sirine, aku ingin berbagi kisah. Selama di ibu kotanya Amerika ini aku kerap melihat mobil merah ini berseliweran di jalan-jalan kota. Dengan peralatan dan sarana penunjang yang lengkap di dalamnya, si merah ini begitu lincah berliak liuk di padatnya jalan. Mobil merah ini beragam bentuk dan jenisnya. Ada yang berbody panjang, yakni mobil pemadam kebakaran. Biasanya kulihat ada minimal dua iringan yang menyertai perjalanannya. Satu mobil berukuran lebih kecil, sebagai pembuka jalan, dan satu lagi ukuran besar dengan peralatan yang lebih lengkap. Namun seringpula kulihat hanya satu mobil saja yang jalan. Disamping itu, adapula mobil ambulance, yang ukurannya lebih ringkas.

Tadinya kupikir raungan sirene itu milik mobil brandweer, tanda kebakaran di suatu tempat, namun dugaanku salah. Sirene itu bukan penanda kebakaran namun itu adalah bunyi sirene untuk segala kedaruratan yang terjadi dalam masyarakat. Jadi, apapun segala keluhan dan kekisruhan yang terjadi dalam masyarakat akan merujuk ke 911. Di Amerika Serikat, nomor ini adalah nomor pangglilan darurat untuk minta tolong.

Saking saktinya ini nomor, konon, pernah ada seorang nenek yang kehilangan anjing kesayangannya langsung menelpon 911 untuk meminta bantuan petugas mencari anjingnya yang hilang. Pun demikian bila kebetulan di rumah atau flat seseorang ada sesuatu yang mencurigakan, mereka dengan cepat menelpon 911, dan dengan responsif pula petugas 911 menjawab panggilan mereka.

Beruntung malam-malam berikutnya raungan sirine tak sesering yang kutemui seperti Sabtu malam itu. Mungkin saja suasana sudah aman terkendali. Atau -menurut dugaanku- karena malam minggu, dimana keesokan harinya adalah hari libur membuat banyak orang ngadain pesta dan melek semalaman. Akibatnya, mungkin ada yang mabok lalu jatuh ke got, dan butuh pertolongan dari 911, hehe..

Nah, saat pindah ke kota lainnya di Amerika Serikat, raungan sirene yang memekakkan telinga itu jarang kutemui, seperti di Helena maupun di Philadelphia dimana aku menghabiskan akhir pekanku di dua kota itu. Entah kenapa di DC seringkali terdengar raungan sirene. Baik itu pagi dinihari atau bahkan siang sekalipun. Bisa jadi lantaran DC adalah ibukota dimana semua warga dari berbagai kalangan ras dan etnis berkumpul. Dan karena berasal dari beragam latar belakang itu mungkin banyak kejadian yang harus melibatkan 911 untuk solusi pemecahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun