Biasanya dimana banyak menjamur rumah kost, disitu pula banyak rumah makan bertebaran. Sama seperti kost-kostan, masing-masing rumah makan tentu mencoba memberikan layanan terbaiknya. Disamping rasa yang enak, tentu harga yang miring yang menjadi andalan mereka, pemilik rumah makan, dalam menarik pelanggan. Dan, bagi sebagian pelanggan, ada satu lagi yang menjadi incaran-nya yakni, bebas mengambil nasi sesukannya, atau sistem prasmanan. Bagi anak kost, tentu model rumah makan prasmanan lebih disukai ketimbang model rumah makan padang atau sistem touch screen ala warteg, pasalnya mereka bebas mengambil lauk dan menciduk nasi sepuas-puasnya.
Sistem ini banyak dijumpai di rumah-rumah makan yang ada di sekitar kampus di Jawa Barat.. Kita dipersilakan untuk mengambil nasi sepuasnya, begitupun sayur dan aneka lauk. Biasanya sebelum bersantap, kita akan memperlihatkan dulu piring yang berisi nasi dan lauknya kepada penjaga, Dari situ si penjual akan tahu dan menaksir harga untuk sepiring makanan itu. Harganya tentu beda-beda, tergantung banyaknya porsi yang kita ambil, karena memang sistemnya self service.
Atau bisa juga, bersantap dulu sepuasnya kemudian menyebut nama lauk yang kita makan. Nah, biasanya ini diterapkan oleh rumah makan model rumahan atau dalam arti rumah makan yang dikelola ibu kost untuk melayani kebutuhan makan para penghuni kost-nya. Ibu kost biasanya menerapkan aturan yang longgar alias tak terlalu perhitungan dalam menerapkan kebijakan harga. Siapa yang mau makan, bebas mengambil nasi dan lauk sepuasnya, harganya pun harga kekeluargaan.
Tadinya kupikir kebijakan prasmanan atau self service ini hanya ada di rumah makan di Jawa Barat, seperti waktu zaman aku kuliah dulu di Jatinangor. Ternyata, model prasmanan ini ada pula di Washington DC dan Philadelphia, Amerika Serikat. Meski keduanya menerapkan sistem prasmanan, namun ada keunikan yang kujamin tidak ada di restoran atau rumah makan manapun di Indonesia! Mau tahu keunikannya? Ini dia.
Bicara masalah sistem makan dan sitem bayar makan, ada yang menarik di rumah makan di Amerika, setidaknya ada dua kota yang kutemui, yang menerapkan cara penghitungan pembayaran yang unik untuk aneka lauk yang kita pilih. Ya, lauk dan makanan yang kita ambil secara self service atau pramanan akan ditimbang dulu untuk menentukan harga makanan itu, baru boleh kita santap. Ditimbang? Iya, apapun jenis makan itu, entah itu jenis daging, ikan, gorengan, steam, berbahan gandum, tepung, aneka kacang-kacangan, makanan berkelas atau murahan, semuanya yang tersaji di piring kita akan ditimbang.
Aku rada bingung juga dengan konsep ini, pasalnya berat sekerat daging dan sepotong tahu atau tempe akan ditimbang dan diperlakukan sama, dengan harga yang sama. Bagiku, daging tentu lebih berkualitas ketimbang tahu, begitupun satu butir telur akan beda kualitasnya ketimbang sekerat beef atau seekor ikan salmon. Disinilah uniknya. Bagaimana mereka, pengelola rumah makan, mengkalkulasi harga lantaran semua jenis makanan diperlakukan sama, dihitung harganya berdasarkan beratnya.
Dasar orang Indonesia, tentu aku gak mau rugi. Aku pilih makanan yang menurutku mempunyai prestige yang tinggi seperti salmon, beef ataupun sayuran yang berkelas dan gak ada di Indonesia. Sengaja aku hindari memilih daging ayam, ataupun sayuran yang umum, yang banyak ada di tanah air. Toh, semuanya ditimbang dan disamaratakan harganya tanpa memandang jenis dan kualitas makanannya.
Dengan sistem ini aku harus pandai-pandai berstrategi. Bagaimana menyiasati cara makan lezat, terkesan mewah, dan berkualitas dengan harga yang relative murah. Disinilah aku harus mengira-ngira mana lauk yang aku harus ambil banyak, dan mana jenis lauk yang cukup diambil sedikit saja. Rata-rata biaya makan untuk model timbangan seperti ini berkisar antara 8 hingga 13 dollar sepiringnya. Ya, sekali lagi tergantung beratnya.
Selepas bersantap, saat melihat kasir penjaga menimbang makanan yang dipesan oleh temanku, kepikiran juga dalam hati, sepertinya model makan di timbang ini belum ada atau belum diterapkan di rumah-rumah makan di Indonesia. Jika model ini diterapkan, mungkin akan menjadi rumah makan yang special dan unik dimata para pecinta kuliner tanah air. Model timbangan ini tentu menjadi bahan obrolan menarik bagi para penikmat wisata kuliner, dan tentu saja menjadi media promosi yang gratis bagi rumah makan itu. Jika konsep ini diterapkan, entahlah apakah pengusaha rumah makan akan untung atau sebaliknya justru akan merugi. Ya, sepertinya ini layak dicoba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H