Beranjak ke Philadelphia atau Philly, kota ini di cirikan dengan Liberty Bell-nya. Bell ini adalah lonceng tanda peringatan kemerdekaan Amerika di tahun 1776, dimana Philly adalah kota tempat naskah kemerdekaan Amarika ditandatangani. Kini Liberty Bell menjadi icon Philly dan di tempatkan di Independence National Historical Park, dekat alun-alun kota.
Begitupun dengan Salt Lake City, Ibukota negara bagian Utah ini terkenal dengan mayoritas penganut ajaran mormon. Gereja mormon di pusat kota layak di sandingkan dengan kuil Taj Mahal, di India sebagai icon kota berpenduduk 187 ribu jiwa ini.
Itulah Amerika, dari timur ke barat kota yang kusambangi mempunyai bentuk dan ciri khas yang unik, yang tidak dimiliki oleh wilayah atau kota lainnya. Keunikan tersebut terefleksikan dari monument, tugu atau karya seni yang bernilai sejarah yang diabadikan dan ditempatkan di pusat kota. Tiap kota berupaya berlomba memunculkan ke-khasan dalam kotanya. Kekhasan itu yang selalu ditonjolkan, dan menjelma menjadi icon dan landmark kota.
Beruntung kita punya Soekarno, presiden yang berjiwa seni dengan visi jauh ke depan. Di zamannya, di Jakarta dibangun Monas; Patung Tugu Tani; Patung Pancoran; dan Tugu Selamat Datang. Istananya pun, -baik di Bogor maupun di Jakarta- bertaburan karya-karya seni dari seniman top mancanegara. Bayangkan, bila Bung Karno tak berbuat itu, mungkin kota ini kehilangan ‘ruh’nya. Tak ada estetika dan patung-patung bernilai seni di Jakarta. Mungkin yang ada hanya bangunan tinggi menjulang dengan pemukiman kumuh di kiri kanannya.
Selain monas di Jakarta, Jembatan Suramadu di Surabaya, adakah kota-kota lainnya di Indonesia yang mempunyai physical face yang waardig yang menjadi kebanggan warga kota akan kotanya? Bila belum, maka, menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai bagian warga kota untuk menciptakan sesuatu yang, bahkan bisa menjadi national pride, agar umat manusia seribu tahun lagi akan terus mengingat dan mengenang dit heft jij gedaan. Ini yang kita warisi untuk anak cucu kita kelak. Ini yang akan kita persembahkan untuk generasi mendatang. Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?
*dinukil dari buku Bang Ali Demi Jakarta, karya Ramadhan, KH.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H