Kantor Community Care Center di Granite City
Beberapa tenaga volunteer kulihat sedang sibuk memasukkan beberapa botol susu, daging dan sayuran kedalam keranjang berjalan, persis seperti yang biasa kulihat bila berbelanja di supermarket, di Jakarta. Ada pula yang –karena usianya sudah tua (kutaksir sekitar 60-an tahun)– hanya duduk dan mencatat pengeluaran dan menerima barang yang masuk. Ya, tampaknya ia bertugas di bagian pembukuan. Di pojok kuamati seorang nenek yang duduk di kursi panjang, menunggu namanya dipanggil. Suasana di ruang berukuran 4 x 6 meter itu tak ubahnya antrian di Puskesmas. Tak berapa lama nama nenek itu dipanggil, dan muncullah volunteer tadi dengan sekeranjang penuh berisi aneka kebutuhan pangan untuk si nenek.
Sepintas kulirik ada beras ukuran 5 kilo, roti yang panjang dan bulat, olahan daging/ikan sepertinya sejenis sarden, sayuran, dan buah-buahan serta beberapa botol susu cair, semuanya masuk dalam keranjang. Kutaksir, aneka makanan –yang super lengkap– itu cukup untuk satu minggu ke depan. Beruntung, aku bisa leluasa mengamati aktivitas dalam ‘toserba’ ini lantaran dalam jadwal #IVLP hari itu, salah satu kegiatan yang ditugaskan kepadaku adalah menjadi tenaga volunteer. Tugasku membantu mereka mengepak dan memilah-milah barang yang ada.
Siapakah mereka dan kenapa kulabelkan ‘toserba’? Ini ceritanya. Dalam lawatanku ke Amerika Serikat pada Maret 2016 silam. Aku berkesempatan mengunjungi suatu kawasan di pinggiran Illinois, di Granite City, yang berbatasan dengan Kota St. Louis. Di sini, ada satu lembaga sosial lokal yang bernama Granite City Community Care Center, Inc. Lembaga ini secara khusus melayani para kaum marjinal, para penyandang masalah sosial, seperti para homeless, juga keluarga tidak mampu yang ada di sekitar Granite City. Tak kurang sekitar 3000-an orang per bulannya mampu dilayani center atau sekitar 100 orang per hari yang secara rutin setor muka ke ‘toserba’ ini.
Center itu sendiri tak ubahnya semacam Toko Serba Ada atau Toserba yang menyediakan beragam kebutuhan hidup bagi warga yang tak mampu di sekitarnya. Dan semuanya diberikan secara free alias gratis. Beragam jenis makanan, minuman dan perabotan hidup tersedia dengan lengkap dan banyak. Ada tempat semacam gudang besar yang secara khusus disiapkan untuk menampung beragam kebutuhan hidup, mulai dari pakaian untuk segala usia, dari anak-anak hingga untuk manula dengan beragam mode untuk segala musim, bahkan sampai mainan anak-anak pun tersedia. Center sendiri berkantor menyatu dengan gudang tempat menyimpan aneka kebutuhan warga, baik sandang maupun pangan.
Untuk menampung ribuan pakaian hasil sumbangan para warga, maka center menyiapkan semacam ‘butik’ di lantai atas seluas kira-kira 200 meter persegi. Pakaian-pakaian itu –yang terlihat masih sangat layak pakai, mungkin hanya dipakai sekali saja atau bahkan ada yang belum pernah dipakai sama sekali–, dipilah-pilah berdasarkan jenis, ukuran, dan peruntukannya. Ada pakaian summer, ada pula pakaian untuk musim panas. Juga dipisahkan pakaian untuk anak-anak, dewasa, dan tentu saja pakaian pria dan wanita.
Di samping itu kebutuhan pangan pun disediakan. Pasokan makanan itu diperoleh selain dari sumbangan para donator berupa makanan, juga sumbangan berupa uang yang dibelikan dalam bentuk makanan. Untuk menampung dan menyimpan semua makanan itu, center menyiapkan beberapa lemari es (kulkas) atau cold storage seukuran lemari pakaian yang besar-besar. Beragam bahan olahan dari mulai daging, buahan, sayuran dan susu masuk ke dalam lemari pendingin.
Mereka yang datang ke center adalah para warga miskin yang tinggal di sekitarnya. Bahkan tidak hanya itu, ada pula yang datang dari kawasan sebelah. Aku sempat kaget saat melihat mereka yang datang kebanyakan bermobil. Namun, buru-buru pendampingku menerangkan bahwa kepemilikan mobil bukanlah sesuatu yang mewah di Amerika. Pasalnya, mobil sudah semacam kebutuhan primer bagi kebanyakan penduduk Amerika, seperti kepemilikan kendaraan bermotor bagi para warga miskin di Jakarta. Motor itu biasanya digunakan untuk mengojek dan mencari nafkah. Dan mobil-mobil yang kulihat hanya sekelas sedan seken seharga 20 jutaan rupiah.... Di sini, ukuran kaya dan miskin bukan ditentukan dari kepemilikan mobil, namun sejauh mana mereka dapat hidup secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Untuk memeperoleh bantuan dari Center, mereka didata oleh para volunteer dan diberikan semacam kartu jaminan sosial. Pada kartu itu tercatat nama-nama anggota keluarga. Meski kesan “wah” dan royal dalam memberi (charity) terlihat di center ini, sayangnya kebijakan ini (menurutku), –sadar atau tidak– akan membuat mereka (para penyandang masalah sosial) menjadi manja dan terlena karena adanya kemudahan dalam memperoleh bantuan berupa barang atau makanan, yang memang melimpah. Tampaknya kebijakan tersebut keluar dari pakem yang selama ini kuyakini bahwa lebih baik mengajari memancing ketimbang memberinya ikan. Namun boleh jadi center mempunyai pertimbangan tersendiri. Dan, bisa jadi memang, orang-orang yang dibantu itu adalah benar-benar warga yang harus selalu dibantu seperti para orang tua jompo yang tak sanggup lagi untuk bekerja.
Semangat berbagi ini memang salah satu kekuatan warga Amerika. Mereka tak segan-segan membantu seseorang yang memang membutuhkan pertolongan. Semangat ini yang tampaknya mulai pudar dan sulit diterapkan di Jakarta. Entah, mungkin karena tingkat kepedulian warga kota yang kurang atau bisa jadi tidak ada seseorang yang bisa menggerakkan dan meng-organize potensi yang ada dalam masyarakat. Dan model lembaga sosial ala ‘toserba’ seperti Granite City Community Care Center Inc ini bila diterapkan dalam lingkungan kita akan luar biasa magnitude-nya. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H