Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menemukan Kehalalan di Amerika

18 April 2016   16:10 Diperbarui: 18 April 2016   19:02 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Restoran di USA. Dok. Pribadi"][/caption]Seumur hidupku, bepergian ke luar negeri, hanya sampai ke Singapura dan Kuala Lumpur saja, belum pernah melangkah jauh. Takut kesasar. Lagi pula aku rada susah dalam soal makan. Untungnya, kedua negara itu masih serumpun, jadi cita rasa makanannya pun gak beda dengan seleraku. Cocoklah untuk lidah Melayu macamku ini. Nah, ketika diberi kesempatan pergi jauh ke seberang samudera, ke Amerika sana, rasa khawatirku pun muncul. Khawatir gak bisa makan. Istriku bahkan sempat menyarankan untuk membawa campuran kentang, tempe dan teri (digoreng kering) sebagai tambahan lauk. Namun usul itu aku tolak lantaran takut jenis makanan itu tak bisa masuk atau lolos di pemeriksaan imigrasi.

Dalam booklet, yang berisi itinerary dan agenda program IVLP selama di Amerika Serikat, yang kuperoleh setiap kali check in di suatu hotel, ada secarik kertas yang bertuliskan nama-nama restoran yang direkomendasikan untuk dicoba. Rekomendasi ini mulai dari yang berharga di bawah 10 dollar sampai pada kisaran 15 hingga 20 dolar untuk sekali makan. Dalam rekomendasi itu juga dicantumkan jenis-jenis masakan atau hidangan dengan cita rasa khas suatu kawasan atau negara. Seperti restoran Middle East cuisine, North Africa cuisine, Asia/Oriental cuisine, South Asia cuisine, dan Western cuisine. 

[caption caption="Rekomendasi RM Halal. Dok. Pribadi"]

[/caption]Lantaran beberapa peserta IVLP ada yang muslim, maka oleh panitia dari Departement of State USA, disertakan pula nama-nama restoran yang mencantumkan label halal. Namun, restoran model ini tidak banyak di Amerika. Makum, muslim di Amerika Serikat adalah minoritas. Biasanya restoran dari kawasan Asia Selatan dan Afrika Utara, yang memang berpenduduk mayoritas muslim, memasang label halal. Sementara restoran bergaya oriental ada yang halal dan ada pula yang ‘abstain’ atau tingkat kehalalannya tidak terverifikasi.

Bicara mengenai halal atau tidaknya produk makanan dan olahan di Amerika, tentu tidak bisa dipersandingkan atau vis a vis dengan labelisasi halal haram ala MUI-nya Indonesia. Di Indonesia, akan banyak variabel yang harus diaudit untuk menentukan makanan tersebut dilabeli halal atau tidak. Seperti (bila hewani): cara penyembelihannya, prosesnya, pengolahannya, dan sebagainya. Sementara di Amerika Serikat tentu berbeda, lantaran tidak ada lembaga resmi pemerintah yang diberi wewenang untuk memberikan sertifikasi produk tersebut halal atau tidak. Kehalalan suatu produk/makanan biasanya ditentukan sendiri oleh si pemilik atau chef rumah makan tersebut.

[caption caption="Menu halal. Dok. Pribadi"]

[/caption]Selama di Amerika Serikat, bila kebetulan ada rumah makan halal di dekat hotel atau tempat meeting, tentu itu jadi pilihan utamaku. Namun jika lokasinya sangat jauh, apa boleh buat, restoran ‘remang-remang’ pun (yang tak mencantumkan halal/haram) terpaksa aku sambangi. Aku tidak fanatik dalam ‘memburu’ restoran berlabel halal. Bagiku, selagi tak menyantap babi, bacon, pork atau sejenisnya di menu makanan yang tersaji, tentu aku makan. Untuk amannya, selain sayuran biasanya aku memesan olahan laut seperti udang dan salmon. Kadang olahan ayam atau beef. 

[caption caption="Dynasty resto. Dok. Pribadi"]

[/caption]Saat berada di Washington DC kebetulan tempatku menginap letaknya strategis. Aku tinggal di Hotel One Cicle yang berseberangan dengan Universitas George Washington. Hotel itu dekat ke mana-mana. (Ya, didekat-dekat-in aja, lha wong di sana gak ada angkot, hehe). Dari hotel ke rumah makan berlabel halal cukup di tempuh dengan jalan kaki selama 10 menit. Ada 2 (dua) rumah makan halal. Satu restoran South Asian dan lainnya masakan oriental. Pilihanku adalah restoran Dynansti, di kawasan Dupont. Lokasinya persis di belakang kantor Kedutaan Besar RI di DC. Restoran ini cukup ramai, yang datang tidak hanya Asia, namun banyak juga warga African American yang bersantap. Menariknya, beragam menu olahan asia ini tak asing untuk lidah Indonesia.

Menu favoritku tiap kali memesan adalah Indonesian fried rice with shrimp. Nasi gorengnya cukup enak, tak beda dengan rasa di Indonesia. Aku curiga sang koki diajari cara memasak dan meramu nasi goreng ala Indonesia oleh salah seorang staf Kedubes kita yang ada di sana. Atau boleh jadi staf Kedubes Indonesia itu punya saham dan royalti untuk menu nasi goreng Indonesia yang dibuat, hehe..

Biasanya, di mana banyak komunitas muslim bermukim di suatu wilayah atau negara bagian (state) tentu tak sukar menemukan rumah makan halal. Di Salt Lake City, Saint Louis, Philadelphia, dan Washington DC, rupanya banyak komunitas muslim yang tinggal. Tak sulit mencari Islamic Center, masjid, atau rumah makan halal di sana. Kebanyakan imigran yang berdiam di negara-negara bagian tersebut (kecuali DC) berasal dari Afrika Utara dan kawasan konflik di Timur Tengah. Mereka datang dan mencari suaka di negara impian ini. Di Philly misalnya, ada beberapa food stall halal di sekitar ‘alun-alun’ kota. 

Restoran dan rumah makan berlabel halal biasanya mendapat pasokan produk makanannya dari komunitas muslim yang ada di sekitarnya. Daging (kambing dan sapi) misalnya, disembelih dan diolah dengan cara Islam. Mengolahnya pun dengan cara yang syar’i atau sesuai ajaran Islam. Produk halal yang disajikan, tidak bercampur dengan yang haram, seperti olahan dari daging babi, misalnya. Demikianlah, komunitas muslim setempat menjual produk-produk halal untuk para warga muslim yang ada di sekitarnya.

Adanya muslim di suatu wilayah di negara adidaya ini tentu menjadi berkah tersendiri bagi orang -dengan latar belakang muslim- sepertiku, sehingga tak perlu repot mencari dan berburu makanan halal di negara liberal macam amerika ini. Meski di AS jumlah warga muslim adalah minoritas, namun muslim mampu menunjukkan jati dirinya dengan kehadiran beberapa restoran dan food stall halal di sudut-sudut kota. Kehadirannya laksana oase di padang gurun yang luas. Dan bagiku, itu cukup sebagai penanda bahwa ada Islam di pelosok wilayah Amerika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun