Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berkaca dari Philly, Banyak Cara Menghias Kota

15 April 2016   14:39 Diperbarui: 15 April 2016   20:40 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Mural @Philly"][/caption]Sebelum bertolak ke Philly, belum ada gambaran dalam benakku, macam apakah kota yang aku akan singgahi untuk 5 (lima) hari kedepan. Namun sebelumnya, saat pembekalan program IVLP di Jakarta, aku sudah diberikan gambaran bila kota-kota yang berada di pantai timur Amerika atau east coast kebanyakan dihuni oleh kulit berwarna dalam arti banyak pendatang dan imigran yang tinggal dan bekerja di sana. Ditambahkan juga bahwa Phily pernah menajdi ibukota dari USA sebelum dipindah ke DC. Ya, hanya itu gambaran sekilas yang diberikan, tak lebih.

[caption caption="Road to Philly"]

[/caption]Hari sudah lepas siang, namun hawa dingin masih terasa, di awal sepuluh hari pertama, di bulan Maret 2016. Selepas mengunjungi Capitol Hill, di Washington DC, kami langsung dibawa oleh sopir menuju ke jalan Interstate 95 atau jalan lintas negara bagian ke arah Philly, nama slank dari Kota Philadelphia di negara bagian Pennsylvania. Aku ingin menggambarkan, bila DC adalah Jakarta, maka selepas Jalan Gatot Subroto, kami masuk tol dalam kota menuju tol Cikampek lalu berbelok ke Tol Cipularang menuju ke arah Bandung. Ya, DC dan Philly hanya berjarak sekitar 200-an kilometer. Meski kami berangkat sebelum jam pulang kerja, namun kepadatan kendaraan ke arah ‘luar’ kota DC cukup ramai. Sama seperti di tol Cikampek, beberapa kali mobil kami tersendat, saat tiba di junction menuju kota lain, namun itu tak lama, sopir hanya perlu mengerem sejenak untuk kemudian menginjak pedal gas bertanda jalan kembali lancar.

Perjalanan itu kami tempuh sekitar 3 (tiga) jam-an, dengan sebelumnya sempat mampir makan siang –yang agak telat- di rest area, pinggiran Maryland. Kami tiba saat sore di batas akhir senja. Aku tinggal di hotel yang hanya sejarak satu batang hisapan rokok dari pusat belanja dan kuliner. Hotelnya Club Quarters Philadelphia 1628 Chestnut Street Philadelphia, Pennsylvania. Dari hotel hanya berjalan sekitar 15 menit ke Reading Market Terminal, ke ‘Alun-Alun’ Kota atau ke tempat ‘persemayaman’ Liberty Bell. Untuk cari makan pun, hanya berjarak selemparan batu saja.

[caption caption="Tembok Mural"]

[/caption]Aku ingin berbagi cerita dengan kota yang diapit oleh sungai Delaware dan Schuylkill ini. Saat berkendara melintasi kawasan dan jalan-jalan yang ada di kota berpopulasi 1,6 juta ini ada satu pemandangan yang cukup unik yang kujumpai. Di setiap tembok –entah tembok besar atau kecil- selalu tergambar lukisan dan karya seni bernilai tinggi. Lukisan itu beragam bentuk dan coraknya. Ada lukisan gedung-gedung kota, ada pula lukisan yang menggambarkan keceriaan anak-anak. Philly bisa disebut kota dengan sejuta mural. Hampir di setiap sudut kota di mana tembok berdiri, tak lepas dari sentuhan seni mural. Mural itu kebanyakan bertema kedamaian dan harapan. 

Philly, seperti kota-kota besar lainnya di dunia, tentu menghadapi problematika perkotaan yang kompleks, seperti kenakalan remaja, narkoba, dan tentu saja penyandang masalah sosial lainnya. Graffity dan corat coret tembok sudah menjadi pemandangan jamak yang hampir dijumpai di setiap tembok di kota-kota besar di dunia. Pelakunya siapa lagi kalau bukan remaja usia sekolah, yang butuh penyaluran berkegiatan. Banyaknya remaja yang bermasalah tentu menjadi tantangan komunitas masyarakat setempat untuk mengarahkan mereka. Nah, untuk mengatasi aksi corat-coret yang gak puguh itu maka lahirlah MuralArtsProgram di tahun 1986.

[caption caption="keluarga bahagia"]

[/caption]Program yang dirintis oleh Jane Golden ini mencoba mengarahkan remaja agar dapat berkreasi dengan baik. Lembaga inilah yang menginisiasi aktivitas per-mural-an di Philadelphia. Di samping itu lembaga ini juga menawarkan program pendampingan kepada para remaja bermasalah dengan melakukan pelatihan ber-mural. Remaja-remaja yang bermasalah di kota berjuluk the Athens of America ini akan dibimbing dan diarahkan untuk dapat berkreasi dan berkegiatan yang posistif sebagai bekal mereka memasuki kehidupan dewasa. Dengan bimbingan para seniman, para remaja ini diarahkan agar tidak melakukan hal-hal yang negatif.

[caption caption="Muralartprogram"]

[/caption]Seni menggambar atau melukis di atas tembok ini dikenal dengan mural. Mural yang ada di Philly tidak sekadar mengecat tembok dengan aneka gambar, namun setiap mural mempunyai tema dan filosofi tersendiri. Bahkan saking artistiknya, setiap mural dicat dan didesain oleh seniman-seniman –dengan dibantu para remaja- yang memang khusus menekuni dunia per-mural-an sehingga tidak sembarang orang bisa dengan bebas ber-mural ria. 

Tak berlebihan bila Philly pernah mendapat penghargaan American Government Award lantaran kesuksesannya dalam program inovasi ‘per-mural-an’ di seantero Philly. Tak kurang sekitar 600-an tembok-tembok di setiap sudut Philadelphia sukses di-mural-kan. Keberhasilan ‘muralisasi’ ini lantaran lembaga melibatkan partisipasi aktif dari komunitas dan lingkungan yang ada di Philly. Masyarakat merasa memiliki muralnya. Makanya, seni mural di kota berjuluk “city of brotherly love” ini  mendapat sokongan penuh dari pemerintah kota.

[caption caption="Mural"]

[/caption]Bila konsep Philly dapat diterapkan di Jakarta, tak mustahil tembok-tembok dan tiang-tiang penyangga yang berisi coretan dan grafiti yang tak jelas bentuk dan seninya akan terlihat indah. Sebelumnya, aku pernah melihat tiang-tiang penyangga di sepanjang koridor Tol Cawang Tj. Priok dilukis dengan mural yang cukup ciamik. Mural tersebut bertemakan perlindungan anak dan perempuan yang diinisiasi oleh kantor pemberdayaan masyarakat setempat bekerja sama dengan PT. CMNP selaku pengelola tol. Nah, bila di setiap komunitas dan perusahaan yang ada dalam satu wilayah bersinergi -dan tentu dengan bimbingan seniman-, niscaya tembok dan tiang-tiang di Jakarta akan semakin hidup dan bernuansa artistik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun