Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menaklukkan Banjir

1 Desember 2015   15:55 Diperbarui: 1 Desember 2015   17:20 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan Belanda pun tak mampu mengatasinya.

Sebagai negara dengan landscape below sea level, maka Belanda adalah ahlinya penataan air. Di Belanda, air dapat dikelola dan di tundukkan. Nah, jika di negara asalnya Dutchman sukses menjinakkan air yang ada, namun untuk di Jakarta tampaknya Belanda bisa dibilang gagal. Sebagai bangsa yang telah lama ‘memerintah’ di Jakarta, Belanda belum berhasil menaklukkan banjir yang kerap melanda Jakarta.

Hampir setengah wilayah Jakarta berada pada dataran rendah. Hanya kawasan selatan yang relatif terbebas dari ancaman banjir. Dengan topografi seperti itu menjadikan Jakarta rawan bencana banjir. Banjir seakan telah menjadi kutukan bagi Jakarta. Beragam cara dan upaya dilakukan pemerintah kota untuk menjinakkan air --yang mengalir dari hulu di kawasan Puncak-- yang masuk ke Jakarta. Namun hasilnya, Jakarta tetap banjir. Maka anekdot pun muncul, --selain macet-- bukan Jakarta namanya jika tidak banjir.

Banjir yang menerjang Jakarta datang tanpa pandang bulu dan pilih tempat. Jangankan kawasan kumuh dan ‘langanan tetap’ seperti Kampung Pulo, Jatinegara, bahkan kawasan elit dan prestigious pun tak luput dari sergapan banjir. Kemang misalnya, kawasan ekspatriat ini bisa lumpuh total akibat luapan kali Krukut yang mengalir persis di ujung jalan Kemang Raya. Begitu pun Pondok Indah, kerap tak berdaya akibat luapan Kali Pesanggrahan.

Air yang mengalir dari hulu di selatan menuju muara Jakarta tampaknya tidak atau belum bisa dikelola dan dikendalikan dengan baik. Sudah berbilang gubernur yang memerintah Jakarta, dari Gubernur Jendral zaman Jakarta Gemente hingga Gubernur DKI Jakarta yang jendral pun, mereka tak sanggup mengatasinya. Banjir menjadi pekerjaan rumah tanpa akhir setiap gubernur yang memerintah di kota kosmopolitan ini.

Dalam sejarahnya, banjir besar tercatat pernah melanda kota Jakarta pada tahun 1621, 1654, 1873, 1918, 1979, 1996, 2002, dan terakhir pada 2007 lalu. Diluar tahun itu, bukan berarti Jakarta bebas atau sama sekali tidak banjir, namun cakupan wilayah terdampak banjir tidak sebanyak pada tahun-tahun diatas. Pasalnya, hampir saban musim penghujan tiba, sudah dipastikan wilayah sekitar aliran kali Ciliwung akan terkena banjir. Kampung Pulo, Jatinegara misalnya, jika di hulu (kawasan Puncak dan sekitarnya) hujan, maka 8 jam kemudian kawasan ini akan banjir. Kawasan terdampak lainnya bisa kita temukan di sepanjang bantaran Kali Krukut dan Kali Pesanggrahan.

Bahkan, pernah tercatat banjir satu meter yang menggenangi seluruh kota di tahun 1873 yang memaksa dinas pekerjaan umum Batavia, Burgeljke Openbare Werken (BOP), mendapat julukan baru Batavia Onder Water. Bahkan di tahun 1918, luapan Sungai Ciliwung, merendam Batavia selama tujuh hari tujuh malam. Dan saat itu, Belanda masih memerintah di Jakarta, namun mereka tak dapat menaklukkan air Jakarta.

Meski banjir seakan menjadi eternal enemy bagi siapapun yang memimpin Jakarta, namun perlu dicatat bahwa Pemerintah Kota tidak berpangku tangan dan menyerah menghadapinya. Tercatat, sejak masa VOC, banjir coba diatasi dengan pembangunan kanal-kanal. JP Coen, Sang Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu telah membangunnya pada 1619 untuk mengaliri benteng sebagai sarana transportasi dan suplai air minum. Kemudian, sekitar tahun 1830, aliran Sungai Ciliwung, yang mengalir di tengah kota benteng Batavia coba diluruskan. VOC --yang dinegara asalnya mahir membuat kanal-kanal-- mencoba untuk menambah kanal yang membagi aliran Ciliwung menjadi dua, yaitu Kali Besar dan Ciliwung yang diputar dari selatan melintasi timur dan utara tembok Batavia.

Tak cukup sampai disitu, VOC kemudian membagi lagi aliran Ciliwung di sebelah selatan. Di lokasi Masjid Istiqlal, Ciliwung disudet untuk membangun kanal baru ke arah barat, yaitu Nordwijk (Jalan Veteran dan Juanda), lalu menuju ke utara melalui kanal Molenvliet sampai ke Batavia dan Kali Besar. Kanal baru kemudian dibuat untuk mengalirkan Ciliwung lurus ke timur melalui Kali Lio di Pasar Baru, lalu ke utara sepanjang jalan Gunung Sahari hingga Ancol.

Pada awal abad ke 20, setelah banjir besar melanda Jakarta di tahun 1918, pemerintah Belanda menugaskan ahli tata airnya, yakni Prof. Herman van Breen untuk mencari solusi terbaik mengatasi banjir. Maka sejak tahun 1920-an, dibuatlah kanal yang membelah wilayah utara dan selatan Jakarta, mulai dari Manggarai hingga Muara Angke. Prinsipnya aliran air sedapat mungkin di putar-putar, tidak langsung masuk ke dalam kota, namun dialirkan ke arah barat. Kanal ini terkenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat (BKB). Sebagai pengatur aliran air, maka dibangunlah Pintu Air Manggarai dan Pintu Air Karet. Sampai saat ini prasasti jejak peninggalan Prof. Herman van Breen masih terpahat dengan baik di pintu air Manggarai, Jakarta Selatan.

Namun BKB tak berdaya menampung limpahan air. Banjir masih juga kerap terjadi di Jakarta. Van Breen kemudian mengusulkan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) sebagai solusi tahap kedua setelah BKB untuk membebaskan wilayah yang lebih luas dari banjir. Sejak pertengahan 2000-an pembangunan BKT dengan panjang 23,5 kilometer dimulai. Praktis, pengendalian banjir di Jakarta bertumpu pada kedua kanal besar yang melingkari sebagian besar wilayah kota. Dengan BKB dan BKT seluruh arus air dari selatan akan disalurkan dan dibuang ke laut. 

Disamping kanal-kanal, pembangunan waduk pun ditempuh. Ditahun 1965, Komando Proyek Pencegahan Banjir Jakarta Raya (Koprol Banjir) membangun Waduk Melati, Setiabudi, Melati, dan Tomang Barat sebagai penampungan banjir sementara. Pada masa Pemerintahan Jokowi Ahok, program Revitalisasi situ dan waduk yang ada di Jakarta seperti Situ di Kalibata, Situ Cilangkap, waduk Ria Rio, waduk Pluit, dan Situ Kelapa Dua Wetan, coba ditingkatkan. Memang hasilnya belum begitu tampak, namun paling tidak air yang berasal dari lingkungan domestic dapat dikendalikan dan tidak langsung masuk ke pusat kota.

Dalam masa mutaakhir, tercatat dalam ingatan akan peristiwa banjir besar yang terjadi pada tahun 2007, saat itu Jakarta menjadi kota mati. Perekonomian lumpuh. Akses jalan-jalan dari dan menuju ke Jakarta terputus. Lihat saja, bagaimana warga yang tinggal di Ciledug Tangerang tidak dapat pulang ke rumahnya dikarenakan akses jalan ke sana yang melalui jalan Cipurir Raya terputus akibat limpahan air dari Kali Pesanggrahan. Begitu pun warga yang tinggal di bagian timur seperti wilayah Pondok Kelapa, Duren Sawit, tidak dapat menyebrang ke tengah kota, terkunci akibat luapan Ciliwung hingga memutuskan jalan Kampung Melayu/Jl. KH Abdullah Syafe’i. Hanya kendaraan jenis besar saja yang mampu melewatinya.

Akibatnya, kemacetan pun terjadi dimana-mana. Banyak mobil dan kendaraan bermotor yang mogok, tak mampu menahan dan melewati hadangan air. Walhasil, jalan tol pun dimampaatkan pengendara untuk menghindari banjir yang ada di jalan regular (bawah). Ini terjadi di sepanjang jalan by pass yang membentang dari jalan DI Panjaitan hingga Ahmad Yani.

Bukan itu saja, bahkan banjir sanggup melumpuhkan perjalanan kereta api. Stasiun kereta api Tanah Abang, Stasiun Tanjung Priok dan beberapa stasiun yang berada di utara Jakarta menjadi lumpuh lantaran rel dan pelataran stasiun terendam air.

Jika banjir besar terjadi (seperti tahun 2007) maka hampir lebih dari 2/3 wilayah Jakarta akan terendam air. Jakarta berubah menjadi waduk raksasa. Air ada dimana-mana. Tinggi genangan bervariasi, 30 sentimeter hingga 1 meter. Dalam catatan media, sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 4,3 triliun rupiah. Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang hingga 7 Februari 2007.

Inilah Jakarta. Denyut nadi kehidupannya tidak dapat dilumpuhkan dengan demontrasi besar-besaran, tidak pula dengan mogok buruh dan karyawan. Ia hanya dapat dilumpuhkan dengan banjir besar.

 

 

Sumber:

  1. http://jakarta45.wordpress.com/tag/infrastructure/
  2. http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Jakarta_2007
  3. HU REPUBLIKA, Senin, 22 Juni 2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun