Pada hari ini, mungkin hingga tahun selanjutnya kita akan dihadapkan dalam sebuah perhelatan yang menjadi rutinitas dilaksanakan oleh Negara ini, dimana Negara kita memerlukan nahkoda baru disetiap lima tahunnya. Kita dilibatkan dalam sebuah sistem atau bahkan jauh dari itu kita mau tidak mau harus menerima drama perhelatan pemilihan kepala Negara yang mungkin kita tidak inginkan.
Di tulisan ini, saya ingin mengingatkan bahwa kita sebagai warga negara memiliki Hak Konstitusi yang harus terjamin, jika menyangkut (yang katanya) pesta demokrasi bagi masyarakat luas pada kontestasi pemilihan umum bahwa warga negara sudah sepantasnya memiliki rasa nyaman apabila dilihat dari adanya Hak Konstitusi, semisal tidak ada intimidasi atau paksaan untuk memilih pada pelaksanaan pemilihan umum yang disertai ancaman terhadap diri pribadi.
Pada Pasal 43 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan: “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, serta “setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantara wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan”.[1] Pemilihan umum adalah sebuah intrumen dalam rangka melaksanakan kedaulatan rakyat yakni dengan menyusun organ pemerintahan yang dapat menampung suara dan kepentigan rakyat. Konsep pemilihan umum bermula dari sistem demokrasi suatu negara. Adanya konsep pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat mengandung makna bahwa berjalannya suatu pemerintahan berada pada tangan rakyat danbertindak untuk rakyat, dengan kata lain adanya kedaulatan tertinggi yang berada pada rakyat. Maka dari itu pemilihan umum merupakan salah satu langkah dalam mewujudkan kedaulatan rakyat.[2]
Intimidasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu); gertakan, ancaman.[3] Jika dilihat dari penjelasan tersebut, maka yang harus diperhatikan adanya unsur ancaman dalam arti kata intimidasi, atau jika dilihat dari sudut pandang peraturan perundang-undangan, unsur ancaman akan bersanding dengan unsur kekerasan atau tindakan dengan kekerasan. Beberapa ahli mengungkapkan pendapat mengenai tindakan ancaman, seperti yang diutarakan oleh Hoge Raad mengenai syarat adanya unsur ancaman, yaitu:[4]
- ancaman itu harus diucapkan dalam keadaan yang sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahkan yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya;
- maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan tersebut.
Apabila dilihat dari penjelasan diatas, bahwa intimidasi cenderung mengandung unsur tindakan ancaman kekerasan dan hal ini merupakan sebuah pelanggaran dalam perhelatan pemilihan umum (pemilu), karena dalam Pasal 531 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan, dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketentraman pelaksanaan pemungutan suara atau menggagalkan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.[5] Selain itu, tindakan intimidasi bertentangan dengan tujuan pemilihan umum dimana salah satu tujuan dari pemilihan umum adalah untuk memenuhi hak asasi bagi para warga negara dan pelaksanaannya menjunjung tinggi nilai kedamaian serrta ketertiban. Setidaknya ada tiga tujuan pemilihan umum di Indonesia, yaitu memungkinkan adanya pergantian pemerintah secara damai dan tertib, untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat yang telah diamanatkan oleh UUD 1945, dan untuk melaksanakan hak asasi yang dimiliki oleh warga negara.[6]
Selain bertentangan dengan tujuan pemilihan umum, tindakan intimidasi juga bertetentangan dengan asas pemilihan umum yang dikenal dengan istilah “luber dan jurdil”. Penjelasan asas-asas pemilihan umum adalah sebagai berikut:[7]