Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalulintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. Berdasarkan definisi ini focus dari kepabeanan adalah pengawasan atas barang dan pemungutan bea-bea atas barang. Pada tataran praktis kegiatan pengawasan dan pemungutan ini dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yaitu salah satu unit kerja dibawah Kementerian Keuangan. Selain melakukan pengawasan atas barang impor dan barang ekspor, pejabat bea dan cukai juga berwenang untuk melakukan pengawasan atas barang tertentu.[1]
Kegiatan yang berada didaerah kepabeanan meliputi kegiatan masuknya barang dari luar daerah Indonesia, atau biasa disebut dengan istilah impor. Menurut Hamdani impor adalah proses pembelian barang atau jasa asing dari suatu negara ke negara lain, impor barang umumnya membutuhkan campur tangan bea cukai di negara pengirim.
Menurut Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Impor adalah merupakan kegiatan memasukan barang kedalam daerah pabean. Sedangkan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk.
Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean dilaksanakan penelitian dan pemeriksaan fisik barang. Salah satu tujuan kegiatan impor adalah memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang dengan cara mendatangkan barang yang belum tersedia di dalam negeri dari luar negeri.[2] Produk impor merupakan barang-barang yang tidak dapat dihasilkan atau negara yang sudah dapat dihasilkan, tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan rakyat.[3]
Dasar hukum peraturan mengenai Tatalaksana Impor diatur dalam Keputusan Direktur Jendral Bea dan Cukai Nomor KEP-07/BC/2003. Tentang petunjuk pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di bidang impor dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 453/KMK.04/2002 tentang Tatalaksana Kepabeanan di bidang impor. Komoditi yang dimasukkan ke dalam peredaran bebas di dalam wilayah pabean (dalam negeri), yang dibawa dari luar wilayah pabean (luar negeri) dikenakan bea masuk kecuali dibebaskan atau diberikan pembebasan. Dengan kata lain seseorang atau badan usaha yang ditetapkan sebagai importir wajib membayar bea masuk dan pajak sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah.[4]
Pada tulisan ini akan membahas mengenai kegiatan impor barang tidak berwujud dalam kepabeanan berdasarkan peraturan hukum di Indonesia, dimana kegiatan impor barang tidak berwujud masih menyisakan polemik di dunia industri Indonesia. Barang tidak berwujud adalah barang yang tidak mempunyai wujud fisik. Contohnya seperti, hak atas merek dagang, hak paten, dan hak cipta.
Berdasarkan penjabaran ini dapat diketahui jika pada dasarnya semua barang adalah BKP. Salah satu bentuk realisasi netralitas itu adalah PPN harus memberikan perlakuan yang sama atas semua barang yang dikonsumsi, baik barang berwujud maupun tidak berwujud. Selain itu, PPN juga harus menjamin jika atas barang yang dikonsumsi akan dikenakan beban pajak yang sama. Namun, dalam pelaksanaannya perlakuan yang sama terhadap seluruh barang yang dikonsumsi tidak dapat diterapkan sepenuhnya. Hal ini lantaran ada sejumlah barang yang sangat esensial bagi setiap anggota masyarakat dan alasan tertentu lain yang membuat PPN tidak dapat dikenakan.[5] Barang kena pajak tidak berwujud terdiri dari:[6]
- penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
- penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
- pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
- penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture film), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
- pelepasan seluruhnya atau Sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
- penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit kabel, serat optic atau teknologi yang serupa;
- penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optic, atau teknologi yang serupa; dan
- penggunaan atau hak menggunakan Sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi.
Peraturan impor barang tidak berwujud dalam kepabeanan tidak secara spesifik meyebutkan “barang tidak berwujud”, melainkan dengan perihal peranti lunak (software), yang secara garis besar sudah termuat dalam UU No. 17 tahun 2006, pada Pasal 8 huruf (B) ayat (2) menjelaskan bahwa pengiriman peranti lunak dan/atau data elektronik untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui transmisi elektronik. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa peranti lunak (software) dapat berupa serangkaian program dalam sistem komputer yang memerintahkan komputer apa yang dilakukan, serta peranti lunak dan data elektronik (softcopy) merupakan barang yang menjadi objek dari Undang-Undang ini dan pengangkutannya atau pengirimannya dalam dilakukan melalui transmisi elektronik misalnya melalui media internet.[7]
Atas barang impor untuk dipakai berupa barang tidak berwujud, dikecualikan dari beberapa ketentuan, di antaranya mengenai pengangkutan dan penyampaian inward manifest; pembongkaran dan penimbunan barang di kawasan pabean dan tempat penimbunan sementara (TPS); serta penyampaian pemberitahuan impor barang (PIB) sebelum pengeluaran barang. Kemudian, impor barang tidak berwujud juga dikecualikan dari syarat formal PIB; penelitian kesesuaian nama consignee dan/atau notify party; pemeriksaan fisik barang sebagaimana dimaksud; serta pengeluaran barang impor. Pengawasan terhadap penyelesaian kewajiban pabean atas impor untuk dipakai berupa barang tidak berwujud dilakukan melalui mekanisme audit kepabeanan yang diatur undang-undang. Sementara itu, ketentuan lain terkait pengeluaran barang impor untuk dipakai berupa barang tidak berwujud bakal mengikuti prosedur impor untuk dipakai secara umum.[8]
Selain itu, pada Bab VIII PMK Nomor 190/PMK.04/2022 memuat ketentuan khusus mengenai impor barang tidak berwujud, salah satunya membahas penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor untuk dipakai berupa barang tidak berwujud dilakukan dengan menggunakan PIB.[9] Penyampaian PIB dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembayaran atas transaksi pembelian barang tidak berwujud dan pengenaan dan pemungutan PDRI atas impor barang tidak berwujud dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan mengenai pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.[10]
Pasal 35 lantas menjelaskan penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor untuk dipakai berupa barang tidak berwujud dilakukan dengan mengajukan PIB. Importir atau pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) menyampaikan PIB melalui sistem komputer pelayanan (SKP) ke kantor pabean tempat importir berdomisili atau kantor pabean lainnya. PIB yang disampaikan minimal memuat sejumlah elemen data. Di antaranya, kantor pabean tempat penyelesaian kewajiban pabean, jenis PIB, jenis impor, jenis pembayaran, data pengirim, data importir, data PPJK (dalam hal dikuasakan kepada PPJK), dan invoice. Kemudian, data-data lain berikut juga dimuat, yakni transaksi;valuta; nilai dasar penghitungan bea masuk (NDPBM); free on board (FOB); nilai cost, insurance, dan freight (CIF); pos tarif dan uraian barang; negara asal; serta jenis pungutan bea masuk, cukai, PPN, PPnBM, dan PPh.[11]
Pada intinya, pihak Pemerintah menginginkan adanya sebuah pemerataan pungutan terhadap jenis barang masuk ke wilayah yang menjadi kewenangannya, hal ini dikarenakan Pemerintah memiliki argument bahwa segala sesuatu yang sifatnya untuk dipakai atau dapat digunakan dan bernilai ekonomis wajib membayar pungutan atau Bea Masuk.
Disclaimer: Surat ini dimaksudkan untuk tujuan memberikan opini yang bertujuan di publish di artikel online, perlu kajian lebih dalam oleh parap peneliti dan dosen yang dapat lebih di pertanggung jawabkan
Daftar Isi
Buku
Amir MS, Strategi Memasuki Pasar Ekspor, PPM, Jakarta, 2004.
M Jafar, Kepabeanan Ekspor-Impor, Pro Insani Cendekia, Jakarta, 2015.
Radiks Purba, Pengetahuan Perdagangan Luar Negeri Indonesia, Pustaka Dian, Jakarta, 1983.
Undang-Undang
PMK Nomor 190/PMK.04/2022.
Jurnal
Benny, Jimmy, Ekspor dan Impor Pengaruhnya Terhadap Posisi Cadangan Devisa di Indonesia, Jurnal EMBA, Vol. 1 No. 4, 2013.
Internet
https://news.ddtc.co.id/apa-itu-barang-kena-pajak-dan-barang-tidak-kena-pajak-23260#:~:text=Sementara%20itu%2C%20barang%20tidak%20berwujud,dasarnya%20semua%20barang%20adalah%20BKP. diakses pada tanggal 20 Januari 2023 pukul 12.41 WIB.
https://www.wibowopajak.com/2012/02/pengertian-barang-kena-pajak-tidak.html diakses pada tanggal 21 Januari 2023 pukul 13.10 WIB.
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/bea-masuk-terhadap-intangible-goods/ diakses pada tanggal 22 Januari 2023 pukul 15.37 WIB.
https://news.ddtc.co.id/begini-ketentuan-khusus-impor-barang-tidak-berwujud-termasuk-software-44354 diakes pada tanggal 7 Februari 2023 pukul 19.02 WIB.
---
Best Regards,
Danur Ikhwantoro, S.H.
Legal Researcher Partner
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H