Mohon tunggu...
Rachmat Hendayana
Rachmat Hendayana Mohon Tunggu... Penulis - Tinggal di Bogor

Peminat Sosial Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Romantisme Mudik di Era Endemi Covid-19

2 Mei 2022   07:30 Diperbarui: 2 Mei 2022   07:34 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Suasana Padenmi Covid-19, oleh CNBC Indonesia

Kompasioner yang terhormat, selama kurang lebih dua tahun kita sama-sama merasakan suasana kehidupan yang “terbelenggu”. Ruang gerak dan komunikasi di antara anggota masyarakat  terbatas karena ancaman pandemic Covid-19. Selama dua tahun itu pula kita tidak leluasa untuk melakukan mobilitas, tidak saja untuk bergerak ke luar kota tetapi juga di lingkungan sendiri.

Adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar  (PSBB) dan kemudian Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) merupakan aturan yang harus dipatuhi. 

Disamping itu ada juga pemberlakuan protokol Kesehatan yang dikenal lima M: (1) Memakai masker dengan baik, (2) Mencuci tangan menggunakan sabun di air mengalir, (3) Menjaga jarak minimal 2 meter, (4) Menghindari kerumunan dan (5) Membatasi mobilitas dan interaksi.  Pemberlakuan  protokol kesehatan, PSBB dan PPKM itu intinya ditujukan untuk melindungi diri dari ancaman pandemi Covid-19 yang merajalela.

Pembatasan itu dilakukan untuk mengantisipasi peredaran ancaman pandemic Covid-19, sehingga warga juga tidak diperbolehkan melakukan perjalanan untuk mudik ke kampung halamannya. Hawatir menjadi pembawa virus covid-19 kepada anggota masyarakat yang dikunjunginya.

Padahal mudik itu bagi  sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan salah satu tradisi, cara kita meluapkan kegembiraan setelah “menang” melawan hawa nafsu mampu menjalankan ibadah puasa sebulan penuh utamanya bagi warga muslim.

Sekarang kita bersyukur, boleh bernafas lega karena pemerintah sudah memberikan kelonggaran. Komunikasi di antara warga sudah terbuka, demikian juga mobilitas warga tidak lagi dibatasi. Dan satu hal yang membuat masyarakat “euphoria” adalah dibolehkannya warga untuk mudik.

 Ditetapkannya persyaratan divaksin “booster” atau bagi yang vaksinnya baru dua kali dilakukan antigen tidak dianggap halangan dan tidak memberatkan bagi warga yang mau mudik. Warga patuh melakukannya, untuk mengantisipasi kemungkinan masih adanya ancaman covid-19, meskipun statusnya endemic bukan lagi pandemi.

Faktanya warga yang mudik sangat membludak, seperti yang dapat kita saksikan dalam pemberitaaan  di layar kaca. Semua stasiun televisi menyajikan berita tentang kemacetan di mana-mana. Hampir di semua jalan transportasi yang menghubungkan jarak antar kota dan antar provinsi dipadati kendaraan roda empat yang mudik. Sebagian besar mereka menggunakan mobil sendiri membawa serta anggota keluarganya.

Tak urung  polisi memberlakukan one way di tol Jakarta-Cikampek. Tujuannya untuk menghindari  kemacetan itu, walaupun ternyata pendekatan one way itu juga banyak dikritik karena dianggap tidak efektif. Kemacetan bukannya terurai, tetapi malah tambah parah.

Kondisi di pelabuhan penyeberangan yang menghubungkan antar pulau, seperti contohnya yang terjadi di Pelabuhan Merak Banten juga sangat padat dengan mobil yang mau menyeberang ke Pulau Sumatera. Antrian cukup panjang, dan tidak tanggung-tanggung ada yang mengantri hingga tujuh sampai delapan jam sebelum dapat giliran. Tetapi semua itu tampaknya dianggap sebagai wisata saja. Mereka menjalaninya dengan riang gembira.

Mudik ini sebenarnya bukan merupakan rangkaian dari sebuah kegiatan religi keagamaan. Mudik hanyalah tradisi yang terjadi ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri, dan itu berjalan setahun sekali, diluar  mudik menjelang peristiwa lainnya seperti Natal dan Tahun Baru. 

Meskipun demikian mudik memiliki kesan mendalam, tidak sekedar pulang kampung untuk bertemu kerabat dan orang tua, tetapi memiliki nilai religius. Saling bermaafan, saling curhat penuh romantisme.

Romantisme dapat terjalin dengan siapa saja. Anak-anak dengan orang tuanya, atau dengan kerabatnya yang lama tidak berjumpa. Bisa juga menantu dengan mertua, dan dengan cucu-cucunya. Tidak sebatas itu, romantisme dalam peritiwa mudik juga terjadi antar warga pendatang dan pendatang dengan orang setempat. Romantisme itulah yang menjadikan mudik sebagai tradisi yang dipertahakankan dari dulu hingga kini.

Jika dipandang dari sudut ekonomi, peristiwa mudik itu tidak dinafikan dapat berdampak multifier efect pada dinamika pertumbuhan ekonomi. Kondisi ekonomi yang ketika pandemi covid-19 bergerak lamban dan bahkan cenderung stagnan, kembali tumbuh dinamis ketika terjadi mobilitas warga yang mudik. Mudik dapat memicu tumbuhkembangnya sumber-sumber ekonomi informal.

Bayangkan, jutaan orang yang mudik dari kota besar ke berbagai kota tujuan membutuhkan dukungan bahan bakar volumenya tinggi. Jasa perbengkelan mobil juga kebanjiran mobil yang mau service sebagai persiapan perjalanan jauh. Pemudik sudah pasti membekali dirinya dengan logistik bahan makanan untuk persiapan di jalan.

Penginapan transit, sudah pasti juga akan banyak menjadi sasaran pemudik jarak jauh. Apakah sekedar untuk beristirahat sebentar atau menginap sehari dua hari untuk menyegarkan badan yang cape. Demikian juga  keberadaan rumah makan di sepanjang jalan yang dilalui juga menjadi hidup karena pemudik. 

Jika semua simpul-simpul kegiatan itu diperhitungkan secara ekonomi sudah pasti akan mencerminkan jumlah peredaran uang sangat besar, yang tidak terjadi ketika masa pandemi Covid-19.

Persoalannya, mobilitas warga yang mudik itu tentu menuntut kewaspadaan, tidak hanya bagi warga yang mudik tetapi juga aparat berwenang yang memiliki tugas mengatur perjalanan di jalan raya. Pola kerja petugas perlu penyesuaian yang dinamis dan bersifat antisipatif mengikuti dinamika mobilitas warga yang mudik.

Di sisi lain dukungan logistik  seperti ketersediaan bahan bakar di setiap SPBU juga dituntut untuk sigap menyediakan persediaan agar tidak menjadi persoalan bagi pemudik. Keberadaan SPBU dalam mendukung mobilitas warga yang mudik itu sangat krusial, kekurangan pasokan bahan bakar dapat menjadi sumber permasalahan yang merepotkan bagi semua pemudik.

Dengan demikian peristiwa mudik yang kedengarannya sederhana itu, ternyata dapat menumbuhkan romantisme. Romantisme yang terjadi pada peristiwa mudik tidak hanya berlangsung di antara warga yang mudik, akan tetapi juga juga melibatkan banyak pihak yang terkait di dalam rangkaian yang terjadi pada peristiwa mudik.

Semoga mudik ini dapat menumbuhkan motivasi kearah perkembangan ekonomi yang lebih prospektif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun