Kemarin , seperti dilansir dari suaramerdeka.com, Di kabupaten Rembang sempat dihebohkan dengan pemadaman listrik di kala ujian nasional untuk mata pelajaran bahasa inggris tingkat SMA. Akibatnya sesi listening untuk para siswa terhenti untuk beberapa jam. Pihak sekolah sangat mengeluhkan kejadian ini kepada pihak PLN. Harapan mereka, pemadaman bergilir tidak dijadwalkan pada saat ujian nasional tengah berlangsung.
Memang begitulah keadaan di negara kita saat ini. Pemadaman listrik mulai menjadi "trend" bagi masyarakat kita khususnya bagi mereka yang tinggal di pedesaan atau di pelosok pelosok. Walaupun tidak sering, beberapa titik di daerah jabodetabek juga menjadi sasaran pemadaman bergilir ini. Bahkan hampir setiap bulannya PLN merilis jadwal pemadaman bergilir yang berlaku untuk kawasan kawasan tertentu.
Selama ini PLN lebih banyak mengandalkan energi air sebagai sumber pembangkit energi listrik. Sayangnya dalam dekade terakhir ini debit air di tanggul tanggul PLTA semakin fluktuatif jumlahnya. Hal ini disebabkan oleh penggundulan hutan sehingga proses penyerapan dan penyimpanan air menjadi berkurang. Akibatnya air hujan yang meresap ke tanah seketika langsung menuju ke sungai tanpa tersimpan di akar akar pohon. Ketika musim kemarau tiba, tidak ada lagi pasokan air yang diharapkan dari dalam tanah. Debit air di dalam tanggul pun semakin lama semakin sedikit.
Geotermal sempat menjadi opsi utama bagi pemerintah dalam menghadapi tantangan krisis energi listrik saat ini. Geotermal menjadi pilihan karena relevan dengan potensi yang dimiliki Indonesia. Negara ini banyak dipijaki gunung gunung berapi sehingga banyak memiliki titik magma sebagai sumber penghasil panas bumi. Lokasinya juga banyak sepanjang jalur gunung berapi. Bahkan hingga saat ini negara kita menempati peringkat ketiga terbesar di dunia dalam hal pemberdayaan energi geotermalnya setelah Amerika Serikat dan Filipina.
Namun demikian, usaha memanfaatkan energi geotermal saat ini belum dapat  berjalan maksimal. Hal ini sangat disayangkan mengingat melimpahnya potensi yang kita miliki. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pemekaran ini terkesan berjalan lambat.
Pertama, permintaan pemerintah yang tidak sesuai dengan prinsip kerja sumur geotermal. Sumur geotermal harus digunakan sebagai base load dalam pembangkit, itu artinya sumur ini harus terus on 24 jam sehari. Namun pemerintah meminta agar pasokan energi listrik dari geotermal di musim hujan dikurangi dan menaikkannya saat musim kemarau. Tentunya secara teknis hal ini tidak dapat dilakukan. Akhirnya pemanfaatan geotermal selama ini hanya berada pada tempat tempat yang memang memiliki debit air kecil sepanjang tahun.
Permasalahan ini dapat dicarikan solusinya dengan meniru apa yang terjadi di Eropa. Disana, Energi angin merupakan sumber energi listrik utama. Ketika ada energi listrik yang berlebih, energi tersebut digunakan untuk menaikkan air ke tempat penyimpanan. Ketika tidak ada angin, air dapat menjadi sumber energi menggantikan kincir. Tentunya ini bisa menjadi model untuk solusi permasalahan geotermal saat ini.
Kedua, hingga saat ini negara masih kekurangan banyak tenaga ahli di bidang geotermal. Oleh karena itu besar harapan dari negara ini melahirkan insinyur insinyur yang dapat diandalkan. Ilmunya sudah ada tinggal siapa yang berminat untuk mempelajarinya. Sudah saatnya Indonesia mampu mandiri mengolah energinya sendiri. Dari tangan tangan orang Indonesia asli tentunya. Tentu berbeda kondisinya dengan Perusahaan minyak yang banyak mengandalkan praktisi dari luar negeri.
Ketiga, harga peralatan yang masih sangat mahal. Minimal dalam sebuah proyek geotermal memiliki turbine blade. Turbin ini bernilai sangat mahal yaitu sekitar setengah triliyun rupiah. Oleh karena itu negara tidak akan mampu untuk membayarnya. Namun mengingat keuntungan bisnis geotermal yang menggiurkan, beberapa negara maju menawarkan pinjaman modal guna pembelian barang barang tersebut. Metode pembayarannya dilakukan secara angsuran. Tentunya negara mengangsurnya dari keuntungan yang dihasilkan dari produksi energi ini. Keuntungannya tidak kecil, rata rata sumur geotermal bisa mencapai keuntungan 50 milyar rupiah perbulan.
Keempat, faktor masyarakat lokasi geotermal yang menolak daerahnya dijadikan wilayah proyek. Â Mereka sangat takut jika terjadi bencana sehingga melenyapkan harta dan nyawa mereka. Bahkan beberapa proyek dikabarkan sudah berjalan namun terhenti akibat ketakutan warga melihat besar besarnya mesin saat areal proyek sedang dibuat.
Tentunya hambatan ini merupakan tantangan bagi pemerintah guna mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi listrik. Tidak hanya pemerintah, kitapun ikut menanggung akibatnya. Oleh karena itu kita perlu sadari kelangkaan energi listrik saat ini dengan menerapkan program hemat listrik di ruang ruang rumah kita. Melakukan penghematan listrik mungkin tidak terasa manfaatnya, namun secara teknis, sangat membantu PLN mengurangi jumlah permintaan. Save our energy, save our nation!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H