Mohon tunggu...
Rachmat Fazhry
Rachmat Fazhry Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Prinsip hidup Saya : Hidup Sehat, Pintar, Bijaksana Kunjungi blog saya https://jurnalfaz.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jatuh

17 Maret 2015   13:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:32 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="495" caption="Ilustrasi Berita Satu"][/caption] Hari sudah gelap kala itu. Adzan isya baru saja selesai terdengar berkumandang. Dari kejauhan, suara air mancur diselingi biola mendayu-dayu berbaur membentuk harmoni.Jika siang, tempat ini menjadi kesukaan bagi burung merpati. Mereka tidak perlu repot mencari makan. Pengunjung yang datang kerap kali berbagi makanan dengan mereka. Namun,  malam itu, mereka sudah terlelap di dalam kandang di salah satu sisi taman dekat lapangan ditopang dengan besi. Duduk sini aja," pinta Rini istriku sambil berjalan ke salah satu bangku di Taman Suropati. Dari tempat kami duduk, patung pPangeran Dipananegara menunggangi kuda tampak di sebelah kiri. Di bawah patung itu terdapat air mancur yang disinari cahaya lampu dari bawah. Sementara itu, beberapa sepeda hilir mudik di depanku secara bergantian. Pada bagian kemudinya, berbagai macam jenis bungkusan minuman cepat saji menggantung menjulur ke bawah. Aku pun tertarik dan menghentikan salah satu diantara mereka. "kamu mau apa?" Tanyaku pada rini" "aku nutrisari aja" jawabnya cepat" "kalau Saya kopi item aja bang," penjual itu mengangguk tanda mengerti. "ini bang" penjual itu memberi pesanan kami. Sebagai gantinya, aku beri ia uang delapan ribu. "itu namanya starbuck mobile" ucapku kepada Rini memberi tahu tentang penjual minuman tadi. Ia tertawa "Kebanyakan orang Madura yang berjualan di sini. Sama kayak di monas" lanjutku sambil menyeruput kopi. "lah emang, semua taman di sini yang jualan kopi-kopi kayak gitu, orang Madura" Rini tidak mau kalah memberi informasi. "orang Madura mah kalau pake emas, sukanya yang rame. Sekalian pamer. makanya orang madura, kalau pake emas di gigi nyengir mulu." canda Rini merubah topik obrolan sambil tertawa. Saat tertawa, kawat bewarna hijau sesuai warna kesukaannya menempel digiginya. "kawat gigi kamu tuh pakein emas biar kinclong" aku mengomentari kawat giginya sambil bercanda. Ucapan tadi membuat cubitan mendarat diperutku. "yee sakit rin" ucapku memohon. Rini menghentikan cubitannya. Kuberi ia kecupan di pipi dan membuat senyum merekah di bibirnya. "Nanti", Rini berangan-angan "kalau jadi orang kaya beli mobil BMW ya?" Mataku menyipit. "gak ah males, Jakarta mecet. Nanti kalo Aku kesel, mobilnya bisa-bisa aku tinggal di jalan" imbuhku membayangkan jalanan jakarta. "ya buat aku aja mobilnya" harap Rini "oh ya udah gak apa-apa, mobilnya juga bisa dipake jalan-jalan kalo hari minggu" Rini senyum mendengar penjelasanku. Lagi pula, mobil juga penting untuk perjalanan jauh. Apalagi Aku suka jalan-jalan. Pasti menyenangkan rasanya bepergian ke luar kota dengan mobil. Aku pernah merasakannya bersama Norman, teman kuliahku dulu. Kami melintasi Jakarta-Malang dengan rute Pantai utara jawa ketika pergi dan pulang menggunakan jalur pantai selatan. Sangat menyenangkan mengingat momen itu. Suara musik dangdut memecah obrolan kami. Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar berbarengan dengan seorang waria berdiri tepat di depan kami. Ia mengenakan dres sepaha bewarna perak dan memapah kotak pengeras suara bewarna hitam yang menggantung di bahu kirinya. "aku mah apa atuh, cuma selingkuhan kamu..." suara waria itu sember seperti bunyi yang keluar dari kotak pengeras suara miliknya. Ia meliuk-liuk. Pinggulnya digoyang ke kanan dan kiri. Bahunya digerakkan agar tampil seksi. Seakan ia adalah biduan panggung. Aku dan rini saling bertatapan lalu tersenyum. Tidak percaya apa yang kami lihat saat itu. "ihh cantik banget sih kamu" puja Rini ke Waria itu. Waria itu tersipu malu. Wajahnya agak dipendam sedikit ke bawah "ah bunda bisa aja" katanya sambil melempar lemas tangannya. Aku melihat waria dihadapanku sebagai hiburan kami malam itu. Rini juga sependapat. Meski suaranya amburadul tidak karuan, Aku biarkan dia menghibur kami untuk beberapa menit. Lagipula, akibat goyangannya, bibir kami tidak bisa berhenti selalu tersenyum. Bahkan Rini sampai tertawa terpingkal-pingkal. "ayok Rin jalan, udah mau jam 9" ajakku meninggalkan Taman Suropati. "mau kemana? "Ke HI, aku udah janjian sama orang" "Bentar" Rini memberi uang lima ribu kepada waria penghibur kami. Lalu kami pergi meninggalkannya. "makasih bunda, hati-hati ya. abang!" panggil waria itu kepadaku. Ia memberi ucapan selamat tinggal dengan kecupan tangan jarak jauh. Aku yang melihat itu, menangkap kecupan lalu menginjak-injaknya. Wajah waria itu cemberut. Aku dan Rini cekikikan. **** Di pelataran parkir motor hotel berlogo kipas, Dony berdiri di sebelah pos tempatnya bekerja. Ia tampak gagah dengan seragam safari bewarna biru tua. Rambutnya rapih seperti baru dipangkas. Mulutnya menyembul mengeluarkan asap putih. "oi don!" sapaku padanya Ia menoleh cepat, "eh elo Jul, gue pikir siapa? Halo Bu Rini" ucapnya. Rini tersenyum mendapat teguran dari Dony teman smp-ku dulu. "kerenan lo pake seragam" Dony melihat dirinya sendiri dari atas sampe bawah "ya gini lah, babu seragam" katanya sambil terkekeh. "bisa gak?" Tanyaku padanya. "bentar, baru juga nyampe, ngerokok dulu lah.." tawar dony memberi bungkusan rokok. Kepalaku menggeleng tanda menolak "gak lah cape ngerokok mulu" Dony membuang rokok lalu menginjaknya "yok ke dalem" ajaknya. Wajah Rini bergerak ke arahku sambil berbisik "mau ngapain?" "udah santai aja," sambilku gandeng tangannya. Wajah Rini tampak kebingungan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Matanya memutar penuh tanda tanya. **** "klik.." pintu tebal itu dibuka oleh Dony. Saat terbuka lebar, angin berhembus menyapa wajahku dengan cepat. Aku dan Rini melangkah mengikuti Dony keluar. Baru beberapa langkah, sinar-sinar berpendar dari kejauhan. Seakan mereka mengedip dengan rentang waktu yang cepat. Aku menghirup nafas panjang. Di sebelahku, Rini terkesima dengan lampu yang berpijar dari bawah. Malam itu cuaca sangat cerah. Taburan bintang yang berpijar menambah warna kami saat di atap gedung berlantai 26 itu. Aku begitu senang, sampai-sampai, alam bawah sadarku membuat senyum tipis diwajahku. Begitu juga dengan Rini, wajahnya bersinar layaknya bintang yang menggantung di malam itu. "Jul, gue tinggal dulu, kalo mau turun, kabarin aja" kata Dony. "sip" balasku tanpa menoleh ke arahnya. Perasaan bebas mengarungi tubuhku saat itu. Benar kata orang-orang, pemandangan dari atas selalu yang terbaik. Tidak hanya di gunung. Di sini, di tempatku berpijak ketika itu, Jakarta terlihat mengagumkan. Pucuk monas berlapis emas, gedung tinggi mengangkasa, patung selamat datang seakan benar-benar memberi kesan 'selamat datang di Jakarta' kepadaku. Rini mendekat ke sampingku. Kepalanya dibiarkan bersandar pada bahuku yang keras. Ku kecup keningnya. Ia tahu bahwa Aku begitu menyanginya. Mata kami menuju arah yang sama. Jauh memandang Jakarta, kota kelahiranku. Perasaan kami begitu tenang, hanya terisi kegembiraan dan kesenangan. Perlahan Aku maju ke tepian. Meninggalalkan Rini dibelakang. Dari situ jangtungku berdegup agak cepat, membayangkan jika terjatuh. "hati-hati ky" Rini memperingtkan. "iya" balasku tanpa mengikuti perkataannya. Setelah cukup puas di tepian, langkahku balik ke semula. Duduk di sebelah Rini. Mengelus kakinya agar dia mengikutiku. Ia pun tak keberatan. Saat duduk, obrolan mengalir. Kami berbagi mimpi. Bercerita tentang masa depan. Mengeluh terhadap masalah. Saling melempar canda, kadang hanya diam menikmati momen saat itu. "Rin" kataku bernada pelan. "apa" wajahnya terus menghadap ke depan. "Aku ingin menguji tuhan" "lah kenapa,? kamu kan tau dia ada" tanyanya, raut wajahnya datar. Tidak terusik dengan pertanyaanku. "iya Aku tahu, cuma tetep, Aku mau mengujinya" Wajah Rini berpaling ke arahku. "kenapa?" tanyanya singkat. Aku menaikkan bahu "enggak tahu, Tiba-tiba aja kepikiran. Kayaknya udah lama Aku gak berkomunikasi sama dia" kepalaku mendongak ke atas, menerawang ke lapisan langit terjauh. Kami terdiam untuk sesaat "lalu" Rini memecah keheningan "gimana cara kamu mau menguji Allah?" Aku berdiri begitu juga dengan Rini. "ke sana" tanganku menunjuk tepian. "kamu yakin" tanya Rini "iya yakin, yakin banget. Kamu ikut sama Aku apa enggak?" "ya ikut lah, kamu kan pemimpin Aku, imam Aku. Aku percaya sama kamu" Jawaban Rini membekas dihatiku. Membuatku tersenyum bangga. Kami berjalan melawan angin menuju tepi gedung. Saat berada ditepian, wajah kami saling berpandangan. "Kamu janji gak akan lepas tangan Aku" pinta Rini "Aku janji" jawabku tegas. Kuraih tangannya dan ku pegang erat-erat. "kamu siap" tanyaku. Rini mengangguk. Pandangan kami kembali ke depan. "satu, dua, tiga" lalu kami lompat menjatuhkan diri. Tubuh kami turun dengan cepat, melawan gravitasi. Angin mengalir deras melewati tubuh kami. Cahaya di kejauhan terlihat begitu cepat. Aku melihat ke arah Rini. Wajahnya tenang. Matanya terpejam. Bibirnya tertutup seakan tersenyum. Ia terlihat begitu damai. Begitu juga denganku. Tak ada ketakutan yang mendera diriku. Aku pasrahkan dengan pilihanku saat itu. Biar malam membawa kami ke kehidupan selanjutnya. Mataku menutup perlahan. **** Mataku terbuka cepat. Jantungku berdegup dengan kencang. Keringat keluar dari pori-pori membasahi kulit kepalaku. Tatapan mataku kosong. Aku tidak bisa berpikir. Aku tidak tahu ini di mana. "Tek...tek...tek..." suara itu terdengar pelan. Pikiranku mencoba menganalisa. Sepertinya itu bunyi putaran jarum jam. Namun, otakku belum sepenuhnya bekerja. Aku masih kebingungan. Pikiranku masih bertanya-tanya. Perlahan-lahan mataku melihat sekitar. Tembok putih yang pertama kusadarai. Tubuhku terasa dingin, seakan ada tiupan angin yang menerpanya. Aku mencoba bangkit dan duduk. Dari arah kanan, Rini terlihat sedang tidur terlelap di atas tempat tidur di kamarku yang panas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun