Mohon tunggu...
Rachmat Fazhry
Rachmat Fazhry Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Prinsip hidup Saya : Hidup Sehat, Pintar, Bijaksana Kunjungi blog saya https://jurnalfaz.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Merajut Cerita Pulau Peucang Bagian 1

7 Februari 2015   07:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:39 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jul Menatap keindahan perairan Pulau Peucang, Banten Saat itu, hujan menyapa Saya di daerah Carita, Banten tahun lalu. Suasananya gelap hanya lampu mobil yang menjadi penerangan. Sesekali dari arah berlawanan, kendaraan lain menyapa lewat sinar terangnya. "Patokannya apa pak?", tanya Saya pada Pak Edi lewat telepon genggam. "Oh oke kalau begitu, Saya masih di jalan arah ke sana." sembari menutup pembicaraan. Waktu termakan cukup lama, mungkin sekitar 4 jam sebelum tiba di Alfamart yang berhadapan langsung dengan Indomart, pesaingnya,  di desa Sumur, Ujung Kulon. Ini merupakan petunjuk dari Bapak Edi lewat obrolan sebelumnya. Dari sini mobil melaju perlahan mencari penginapan dengan Sarang Badak sebagai namanya. Sangat mudah menemukan penginapan itu, Alil yang bertugas membawa mobil mendapat bantuan dari seorang pria. Tangannya melambai, mengarahkan untuk memasuki area penginapan. Ternyata itu Bapak Edi, Tubuhnya gempal dan memakai kacamata.  Ia telah menunggu kedatangan kami dari tadi. Saat itu sudah dini hari. Pak Edi meminta Saya untuk tidur, "penyebarangan besok berangkat Pukul 07.00," mintanya dengan logat Sunda yang kental. Saya menuruti perkataanya, lagi pula badan juga sudah rindu dengan kasur. Benar saja, Pukul 07.00 rombongan kami berangkat. Pak Edi menjadi pemimpin rombongan. Ada sekitar 20 orang  lebih yang di bawahinya saat itu. Kami menuju Pelabuhan Sumur. Suasanya ramai. Banyak pedagang ikan dan pembeli. Kadang suara mereka saling beradu mempertahankan harga yang diinginkan. Rombongan kami terpecah menjadi dua. Rombongan pertama yang dikomandai langsung oleh Pak Edi di isi dengan satu keluarga besar yang beranggotakan sekitar 15 orang. Sedangkan Saya dan teman-teman bergabung dengan sesama pejalan lainnya. Kapal berukuran kecil mengantar Kami sebelum pindah ke kapal yang lebih besar. Hal itu harus dilakukan, karena Pelabuhan Sumur memiliki perairan yang dangkal. Dari sini Pulau Umang sudah terlihat namun itu bukanlah tujuan utama. Saya masih harus bersabar, menunggu kapal bergerak lebih jauh lagi ke arah barat. Menyapa Ikan di Pulau Badul Deru kapal berhenti. Sauh dilempar lalu menghilang ke dasar laut. Dari depan, suara awak kapal terdengar mengajak untuk berenang. Saya bergerak sigap, mencari alat snorkel yang tersedia. Byurr...tubuhku terasa segar. Dari balik kaca, mata Saya memandang ikan hilir mudik di hadapan. Warnanya cerah, bentuknya lucu memberi dampak senyum kecil di bibir saya. Arus saat itu lumayan kuat. Tubuh saya sempat bergeser ke arah tepi Pulau Badul. Karang yang padat kadang menggores badan Saya. Pulau ini ukurannya sangat kecil. Jika dibandingkan, mungkin seukuran lapangan bulutangkis. Ada hamparan pasir putih di salah satu sisi pulau, namun kapten kapal lebih memilih bagian belakang. Terumbu karang di Pulau Badul masih padat dan terjaga Tiba di tujuan utama Perjalanan dilanjutkan, laju kapal mulai meninggalkan Pulau Badul. Tubuh Saya yang basah mulai berangsur kering. Di atas kapal, sorak nyanyian nasionalis berkumandang silih berganti. Suara itu berasal dari kelompok pertemanan yang memadu rindu. Rasa kangen yang terpisah karena merantau dilepas lewat perjalan ini. Kapal mulai mendekat ke sebuah dermaga. Bergerak miring mencari posisi yang pas untuk bersandar. "Aaah...", akhirnya tiba, gumam Saya dalam hati. Mata Saya tidak bisa diam melihat sekitar. Warna putih menjalar panjang dibatasi dengan air laut. Tak Sabar Saya untuk merasakannya. Perairan pulau ini juga tidak kalah menarik. Terbagi menjadi dua. Biru muda dan Biru tua. Memikat Saya untuk segera menceburkan diri. Papan informasi bertuliskan Taman Nasional Ujung Kulon, Pulau Peucang menjadi primadona untuk diajak berfoto. Namun langkah Saya tidak berhenti di situ. Saya memilih bangku yang terbuat dari potongan batang pohon. Dari sini, Saya bebas mengamati tingkah laku babi yang melintas tanpa peduli dengan kehadiran manusia. Beda lagi dengan kerumunan monyet. Mereka menjadi heboh. Tatapan dan gerak-geriknya terus waspada. Mencari apa yang bisa mereka makan atau bawa lari. Sedangkan gerombolan rusa, tetap tenang menyantap dan berjemur di lapangan rumput depan penginapan. Ada dua jenis penginapan di Pulau ini. Ada yang berupa barak tentara yang memiliki hall luas serta ada penginapan dengan jenis rumah panggung. Di dalamnya terdapat kamar-kamar dengan kamar mandi di bagian luar. Saya mendapatkan kamar di rumah panggung dan harus berbagi kasur dengan Andi, Ateng dan Alil. Bersambung Mereka keluarga bahagia penghuni Peucang Satwa seperti rusa seakan tidak peduli dengan kehadiran Manusia di Pulau Peucang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun