Kamar Tidur
24 Nopember 2015 | 14:47
Pada suatu hari saya dan bapak (saya) berdiskusi tentang menikah, apa, siapa, kenapa, bagaimana, kapan dan di mana. Kesimpulan yang didapat pada waktu itu adalah saya harus menjadi seorang yang beragama karena urusan tanggung jawab. Sebagai seorang pria, tanggung jawab saya bukan hanya di dunia, tapi juga nanti di akhirat. "Kamu akan menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anakmu!".
Kalimat bapak terus saya pikirkan kapan saja dan di mana saja, karena sepertinya bapak tidak main-main dengan ucapannya, ditambah lagi saya harus mencari sendiri arti dari kalimat tersebut karena beliau tidak punya banyak waktu demi mengajar anak-anak yang kelak juga akan menjadi pemimpin, para calon pemimpin yang kadang-kadang bikin bapak pusing karena tulisan tangannya tidak bisa dibaca. Sampai suatu ketika saya sedang berada di perempatan lampu merah menunggu lampu hijau, paling telat lampu kuning hampir ke merah.
Sebuah motor ditunggangi oleh 5 orang, formasinya dua orang dewasa dan tiga anak kecil. Satu anak berada di paling depan, disusul bapaknya, lalu anaknya lagi di tengah dan terakhir ditempati oleh seorang ibu yang menggendong anak yang masih balita. Semuanya tanpa helm, kecuali si ibu yang menggunakan jilbab.
Anak yang paling depan terlihat sibuk memainkan jari jempolnya di atas perangkat layar sentuh. Si bapak tanpa ekspresi mengamati keadaan lalu lintas lain yang sedang menyala hijau. Anak yang ditengah berusaha melihat menembus kaca mobil yang berada di samping kendaraan mereka. Si ibu tetap berusaha menggenggam pundak si bapak. Balita yang digendong hanya melihat ke barisan kendaraan di belakang yang mengantri lampu hijau, atau lampu kuning hampir ke merah.
Kalau dulu, saya tidak akan begitu peduli dengan apa yang tengah saya lihat, tapi setelah mendengar kesimpulan bapak menengenai seorang pemimpin keluarga, saya peduli. Saya membayangkan bagaimana jika saya yang mengendarai motor tersebut.
Apakah saya akan tetap ngotot membawa seluruh keluarga saya di satu motor tanpa helm? Apakah saya akan tahan menghadapi tekanan anak saya ketika ia merasa minder sebagai seorang yang tidak memiliki gadget? Apakah saya akan memilih membeli helm atau gadget? Apakah saya akan berhasil mendidik anak-anak saya bahwa bermain yang benar adalah aktivitas fisik yang aktif di alam terbuka sana? Bukan berbaring pasif di depan gadget? Dan segudang 'apakah' lainnya yang tidak bisa saya selesaikan karena lampu sudah menyala hijau.
Setibanya saya di rumah, saya langsung mencari bapak. Beliau bukan tipe orang yang gampang diajak berdiskusi, makanya saya sering menggunakan pendekatan bertanya tentang pengalaman beliau semasa muda. Untungnya semuanya menarik, jadi saya tidak perlu terburu-buru untuk membuka topik yang ingin saya bahas. Banyak yang beliau ceritakan, mulai dari berkemah di hutan belantara, pacar segudang (ini yang saya kurang percaya), IP memuaskan, beasiswa, motor trail di Kalimantan dan bagaimana caranya meminum kopi yang praktis.*
Sampai akhirnya beliau menceritakan apa yang pernah beliau lakukan ketika dalam suatu keadaan yang sangat genting, tidak ada bensin dan uang di kantong, sementara ibu di rumah menunggu obat yang sedang kami bawa. "Dulu kamu waktu masih kecil, tengah malam, bapak gadai di dagang bensin biar bapak bisa bawa obatnya pulang duluan untuk mama."
*cara praktis minum kopi adalah dengan menggunakan Nescafe Classic, buka sachetnya, masukkan ke dalam mulut, kemudian minum air putih, jangan langsung telan, kumur-kumur dan telan. Tidak usah pakai gula demi praktis.