sumber gambar : nasional.sindonews.com
Pada tanggal 9 Desember 2012 silam, telah terjadi kecelakaan yang melibatkan kereta api Commuter Line jurusan Serpong-Tanah Abang dan truk tangki bermuatan 24.000 liter BBM.Â
Kecelakaan tersebut terjadi di jalur kereta dari arah Stasiun Pondok Ranji menuju Stasiun Kebayoran lama dan menyebabkan satu gerbong terbakar, begitu juga dengan truk tangki yang juga turut dilalap api. Hasil penyelidikan telah mengonfirmasi bahwa sedikitnya ada tujuh orang meninggal dunia dan 59 orang mengalami luka-luka. Â Melalui hasil penyelidikan pula, diketahui bahwa penyebab dari kecelakaan ini adalah faktor buru-burunya masyarakat untuk menerobos jalur kereta api , ditambah lagi dengan kondisi jalan yang cukup macet.
Dari kasus ini, acara Hitam Putih Trans7 mengundang korban dan juga manajer dari PT. KAI commuter line untuk diwawancarai. Dari hasil wawancara bersama Deddy Corbuzier, salah satu manager dari PT. KAI, Eva Chairunnisa di menit-menit awal tidak memberikan statement untuk memojokkan salah satu pihak antara perusahaan dan masyarakat yang menjadi korban dalam kasus ini. Eva menegaskan bahwa pihak perusahaan dan beberapa pihak yang berwenang perlu mengidentifikasi lebih lanjut sehingga mendapatkan hasil yang pasti untuk kemudian dipublikasikan. Penjelasan beliau tergolong tidak berlebihan, mudah dipahami, sekaligus mengedukasi sebagai narasumber dari perusahaan untuk disaksikan oleh banyak orang.
Namun, ketika beliau mengutarakan statement :
"karena kalau dikasih plang juga masih nyelonong kok"
itu tidak dapat dikatakan sebagai kapasitasnya untuk berbicara sebagai perwakilan dari perusahaan karena statement tersebut tergolong diluar konteks atau yang lebih fatal menyudutkan masyarakat serta jauh dari fakta kasus ini. Contoh yang sama pun ditemui di detik-detik setelahnya saat beliau kembali mengutarakan :
 "yang kasihan sebetulnya penjaga plangnya, mas. Kalau misalnya ada pelanggaran dari siapa, korban pasti kasihan. Tapi lebih kasihan lagi kalau penjaga plang kemudian dicari-cari kesalahannya."
Menurut saya ini bukanlah materi yang penting untuk diutarakan karena sudah diluar konteks pembahasan, terlebih lagi disini terlihat beliau mengenyampingkan korban dengan argumennya. Selain dua hal tersebut, masih ada beberapa statement lagi yang diutarakan dan tidak semestinya untuk disampaikan di depan publik dalam menanggapi kasus yang sedang terjadi.Â
Saat berinteraksi dengan pihak korban juga ada saat dimana beliau memotong pembicaraan dan seakan membela diri dan perusahaan. Kesimpulannya, dari seluruh pembicaraan, narasumber 80% hanya terlihat beradu argumen untuk terlihat benar disanding menjelaskan sesuai fakta dan kaidah-kaidah praktisi PR.
Dikaitkan dengan kode etik Public Relations dalam hal ini perhumas, pasal 1 yang berisi 3 poin yaitu :
- Memiliki dan menerapkan standar moral serta reputasi setinggi mungkin dalam menjalankan profesi kehumasan
- Berperan secara nyata dan sungguh-sungguh dalam upaya memasyarakatan kepentingan Indonesia
- Menumbuhkan dan mengembangkan hubungan antar warga Negara Indonesia yang serasi daln selaras demi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa
Ketiga poin tersebut terlihat tidak tergambar saat bagaimana Eva Chairunnisa menanggapi dan memberikan penjelasan dari Deddy Corbuzier tentang kasus tersebut. Begitu juga saat berinteraksi dengan masyarakat, beliau tidak mengindahkan poin ketiga dengan memotong pembicaraan. Hal ini membuat penilaian masyarakat kepada perusahaan menjadi negatif dan menurunkan reputasi perusahaan tersebut.
Dalam pasal II kode etik APPRI yang berbunyi :
Â
Seorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak bertanggung jawab, informasi yang paIsu atau yang menyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiban untuk menjaga integritas dan ketepatan informasi.
Terlihat pula tidak diimplementasikan dengan baik oleh beliau dengan sedikit miscommunication saat menjawab pertanyaan dari Deddy Corbuzier serta teknis penyampaian yang tidak tepat sebagai perwakilan dari perusahaan.
Dari pandangan saya, seharusnya sebagai perwakilan dari perusahaan yang sedang menanggapi suatu krisis dan disaksikan oleh banyak orang, beliau harus bisa menjaga tutur kata dan nada bicara, serta memperhatikan waktu kapan beliau harus mulai atau menjeda pembicaraan.Â
Netralitas pun harus dijunjung tinggi dengan tidak menyepelekan pihak korban atau mencari contoh lain yang tidak termasuk dalam lingkup kasus yang sedang dibahas. Selain itu, menyampaikan fakta yang dapat dipertanggung-jawabkan pun menjadi acuan bagaimana praktisi PR dapat dinilai baik oleh khalayak.Â
Dari hal-hal tersebut, reputasi perusahaan dipertaruhkan. Penilaian baik dan buruk akan diperoleh ketika seorang praktisi PR dapat mengedepankan dan mengimplementasikan kode etik profesi dengan baik saat ingin menyelesaikan krisis terlebih lagi kaitannya dengan masyarakat.
Rachmat Hidayat - 1902056090
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H