Ketiga poin tersebut terlihat tidak tergambar saat bagaimana Eva Chairunnisa menanggapi dan memberikan penjelasan dari Deddy Corbuzier tentang kasus tersebut. Begitu juga saat berinteraksi dengan masyarakat, beliau tidak mengindahkan poin ketiga dengan memotong pembicaraan. Hal ini membuat penilaian masyarakat kepada perusahaan menjadi negatif dan menurunkan reputasi perusahaan tersebut.
Dalam pasal II kode etik APPRI yang berbunyi :
Â
Seorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak bertanggung jawab, informasi yang paIsu atau yang menyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiban untuk menjaga integritas dan ketepatan informasi.
Terlihat pula tidak diimplementasikan dengan baik oleh beliau dengan sedikit miscommunication saat menjawab pertanyaan dari Deddy Corbuzier serta teknis penyampaian yang tidak tepat sebagai perwakilan dari perusahaan.
Dari pandangan saya, seharusnya sebagai perwakilan dari perusahaan yang sedang menanggapi suatu krisis dan disaksikan oleh banyak orang, beliau harus bisa menjaga tutur kata dan nada bicara, serta memperhatikan waktu kapan beliau harus mulai atau menjeda pembicaraan.Â
Netralitas pun harus dijunjung tinggi dengan tidak menyepelekan pihak korban atau mencari contoh lain yang tidak termasuk dalam lingkup kasus yang sedang dibahas. Selain itu, menyampaikan fakta yang dapat dipertanggung-jawabkan pun menjadi acuan bagaimana praktisi PR dapat dinilai baik oleh khalayak.Â
Dari hal-hal tersebut, reputasi perusahaan dipertaruhkan. Penilaian baik dan buruk akan diperoleh ketika seorang praktisi PR dapat mengedepankan dan mengimplementasikan kode etik profesi dengan baik saat ingin menyelesaikan krisis terlebih lagi kaitannya dengan masyarakat.
Rachmat Hidayat - 1902056090
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H