Psikoedukasi merupakan aktivitas yang diadakan untuk menambah wawasan maupun kompetensi sebagai upaya mencegah timbulnya atau perluasan hambatan psikologi pada sebuah golongan, komunitas maupun rakyat ataupun aktivitas yang diadakan untuk menambah wawasan bagi lingkungan khususnya keluarga mengenai hambatan yang terjadi pada individu (Kode Etik Psikologi Indonesia, 2010). Salah satu wadah pembelajaran psikoedukasi yang dapat dilakukan ialah dengan menyelenggarakan pembelajaran tersebut di sekolah dasar.Â
Pendidikan pada jenjang SD ialah sebuah proses pembelajaran yang krusial pada pengembangan kemampuan peserta didik. Hal tersebut disebabkan karena SD ialah sumber edukasi fundamental bagi siswa untuk mendapatkan wawasan seusai ia diajar oleh orangtuanya di rumah. Pada jenjang SD, maka ia nantinya memperoleh arahan, wawasan, dan edukasi formal dari seorang pengajar. Sekolah Dasar dianggap krusial sebab karakter dan sifatnya fundamental, peserta didik yang gampang melakukan penerimaan dan pemrosesan informasi sejak dini. Hal ini yang menjadikan edukasi di SD amat menjadi penentu kesuksesan peserta didik di sekolah lanjutan sehingga dapat melakukan persaingan pada zaman globalisasi seperti masa kini.
Zaman SD merupakan masa krusial untuk anak agar dapat melakukan pengembangan sense of competence, yakni penghayatan bahwasanya pribadinya mempunyai keterampilan. Kesukaran pembelajaran yang di-alami berpeluang menjadikan anak ikut memberikan penghayatan bahwasanya pribadinya tak kompeten. Siswa akan merasakan keminderan yang berpengaruh pada pengembangan self-concept yang tidak baik, bahkan harga diri yang buruk.Â
Jika peserta didik tak dapat memberikan penghayatan bahwasanya pribadinya bisa melakukan penguasaan wawasan maupun kompetensi, maka dia nantinya mengalami krisis berikut dengan pembelajaran kesukaran pembelajarannya. Turnbul, Wechmeyer & Shogren (2013) menyatakan bahwasanya wujud kesukaran pembelajaran yang di-alami siswa bisa berwujud ketidakmampuan dalam pendengaran, pemikiran, proses baca dan tulis, pengejaan, pengerjaan operasi matematik, ataupun kemampuan motorik lainnya (Rizki & Mawardah, 2023).
Kemampuan motoric terbagi ke dalam dua golongan, yaitu motorik halus dan motorik kasar. Kemampuan motorik halus ialah metode tubuh melakukan organisasi penerapan serangkaian otot-otot kecil misalnya jari - jari dan tangan yang umumnya memerlukan kecermatan dan koordinasi mata dan tangan. Permisalan dari motorik halus ialah melakukan pemegangan pensil/pulpen, pemindahan suatu benda, penyusunan teka-teki/puzzle yang berkaitan dengan aktivitas otot kecil.Â
Adapun motorik kasar ialah suatu keterampilan yang diarahkan sebagai media koordinasi sebahagian masif anggota tubuh anak. Kemampuan motorik kasar mengikutsertakan kegiatan otot-otot besar misalnya otot tangan, kaki, dan semua tubuh. Motorik kasar berhubungan dengan pendorongan, pelatihan, penendangan, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan penerapan otot besar (Mahfud dan Fahrizqi, 2020).
Masalah yang senantiasa berhubungan dengan motorik kasar ialah obesitas yang umumnya terjadi ialah dikarenakan oleh lemahnya aktivitas fisikal yang dikerjakan anak. Riset Kesehatan Dasar pada 2013 menyatakan bahwasanya keadaan siswa di Indonesia ialah 8 dari 10 anak mengalami obesitas. Padahal, apabila dilakukan perbandingan dengan anak yang mempunyai BB normal, anak yang mengalami obesitas ataupun kelebihan pada BB biasanya terjadi kelambatan pada pengembangan fisikal dan motorik (Tangse dan Dimyati, 2022).Â
Susanto melalui pengutipan jurnal Wandi mengatakan bahwasanya motorik halus ialah pergerakan halus yang mengikutsertaka komponen tertentu pada tubuh yang dikerjakan oleh beberapa otot kecil, sebab tak memerlukan tenaga namun motorik halus memerlukan koordinasi yang aktif dan konkret yang disertai dengan rasa sabar dan fokus yang tinggi. Melalui peningkatan pengembangan motorik halus pada anak, anak semakin dapat melakukan kreasi, misalnya pengguntingan kertas dengan hasil gunting yang lurus ataupun zig-zag, menerapkan klip untuk mengintegrasikan 2 lembaran kertas, penjahitan pola, penganyaman kertas-kertas (Wandi dan Mayar, 2021) (Cahyani, 2023).
Pelatihan kemampuan motorik tersebut dapat dilakukan melalui pengembangan psikoedukasi. Hal ini dikarenakan pada zaman anak-anak tengah dan akhir (6-11 tahun), anak disinyalir telah dapat mengerti berbagai emosi kompleks dan beserta rasa-empati. Akan tetapi, pada zaman berikut keterampilan penyembunyian emosi negatif pada anak turutserta mengalami peningkatan. Anak-anak pula masih belum mengerti upaya pengaturan emosi positif dan emosi negatif pada keadaan tertentu (Utami & Raharjo, 2021).
Anak-anak bisa melakukan pengutaraan dan penyaluran emosi secara baik dan konkret. Di sisi lain, dengan mengamati berbagai emosi, siswa nantinya melakukan pembelajaran mengenai upaay metode pengelolaan emosi yang dipunyai. Pengidentifikasian emosi pada anak umur pra-sekolah menjadi krusial karena pada masa ini, siswa mulai melakukan pengembangan wawasan pada pribadinya dan sadar bahwasanya ia adalah sosok yang terpisah dari individu lain. Kesadaran terhadap pribadi menjadikan siswa merasa suatu emosi yang lebih luas. Santrock (2012) memaparkan bahwasanya dari umur 18 bulan hingga 3 tahun, anak akan mengerti 3 keadaan mentalitas, yakni emosi sederhana, pendapat, dan kemauan. Piaget menyebutkan bahwasanya anak-anak ialah pembelajar yang aktif dan senantiasa mengalami ketertarikan pada dunia dan  mencarikan pengetahuan yang dapat menjadikan mereka mengerti hal tersebut (Ormrod,  2008). Bahari (2021) menjelaskan bahwasanya emosi mengalami perkembangan sejak seseorang mengalami kelahiran yang dimunculkan oleh keberadaan stimulasi.
Stimulasi yang dapat digunakan ialah melalui salahsatunya melalui permainan/game. Pembelajaran yang didapatkan pada hidup keseharian ialah sebuah stimulasi yang nantinya dapat merangsang pekanya emosi dan metode seseorang untuk dapat memberikan ekspresi emosi yang dirasa. Defisit dalam pengenalan emosi pada anak bisa mengakibatkan hambatan fungsi social dan dijadikan factor psiko-patologi pada kemudian hari pula dapat dijadikan asal-muasal kesehatan mental. Bukan cuma itu, pengembangan emosi pula berhubungan dengan keterampilan social, wawasan maupun pemahaman pribadi (Syafruddin & Putri, 2023).
Metode yang diterapkan pada studi berikut ialah program pengabdian PLP yang dilakukan di sekolah. Program tersebut dilakukan dengan cara memberi pembelajaran mengenai psikoedukasi melalui permainan pembelajaran. Psikoedukasi ialah prinsip pembelajaran yang dilakukan untuk memberi intervensi yang sifatnya edukatif pada sebuah golongan ataupun perseorangan (Lukens dan McFarlane dalam Siswoyo, 2015). Pemberian psiko-edukasi berikut diterapkan pada peserta didik kelas 4 SDN Paguyangan 02. Â Desain studi yang diterapkan ialah deskriptif. Prinsip sampling yang diterapkan yakni purposive sampling dimana terdiri dari 20 orang peserta didik.
Teknik penghimpunan data yang dikerjakan yakni dengan menerapkan angket/kuesioner. Angket/kuesioner yang diberi memiliki tujuan untuk menilai level pemahaman awal dan akhir partisipan mengenai kemampuan literasi melalui permainan pembelajaran yang telah disesuaikan. Psikoedukasi ini berawal dari proses pemberian modul yang nantinya diterapkan oleh peserta didik selama psiko-edukasi berjalan. Psiko-edukasi diawali dengan pemberian ice-breaking, pemaparan visi psiko-edukasi & pemaparan rule of conduct, dan permainan. Adapula modul yang berisi panduan permainan dan kegiatan siswa pada saat berlangsungnya supaya peserta didik tidak kebingungan dan dapat ikutserta secara aktif sehingga psiko-edukasi menjadi lebih interaktif (Prayogo, dkk, 2020).
Pembelajaran psiko-edukasi diawali dengan beberapa tahapan, antara lain sebagai berikut: Pada tahapan berikut ialah tahapan permulaan implementasi program yang terbagi ke dalam dua aktivitas. Kegiatan pertama ialah melakukan koordinasi dengan kepala sekolah mengenai program yang akan dilaksanakan beserta perangkat yang diperlukan; Sosialisasi Program, dimana pada tahap ini diadakan penyetaraan pendapat oleh pendidik dengan pemaparan visi, manfaat, implementasi, dan luaran program. Tahap implementasi, ialah tahap penyelenggaraan pembelajaran psiko-edukasi, yakni diawali dengan uji kemampuan awal atau pre-test. Pre-test dilakukan agar bertujuan untuk memahami level keterampilan anak yang berikutnya dimasukkan ke dalam penggolongan perlakuan (Arikunto, 2002) (Ardiansyah, dkk, 2023).
Selanjutnya dilakukan pelaksanaan program yang dilakukan oleh mahasiswa dalam kurun waktu .... bulan yang dilangsungkan secara rutin pada tiap minggu. Implementasinya disesuaikan dengan jadwal dan mata pelajaran yang diampu. Setelah dilakukan penyelenggaraan program, tahapan paling akhir yakni menyelenggarakan pengujian keterampilan siswa seusai diberi intervensi maupun program. Penyelenggaraan program mengacu pada modul intervensi yang disusun yang berisikan 7 sesi. Sesi ke-satu berfokus pada pengertian visi pembelajaran literasi membaca menulis dan numerasi serta pengembangan chemistry dan komitmen dengan siswa. Sesi ke-2 berfokus pada menganalisis fitur media baca tulis dan numerasi yang didasarkan pada hidup keseharian siswa. Lalu pada sesi ke-3, inti belajar difokuskan pada pengidentifikasian kosa-kata baru dengan menganalisis makna dengan menerapkan fitur teks permainan.
Sesi ke-4 dilakukan dengan memiliki tujuan untuk melakukan pelafalan perkataan dengan intonasi, lafal-kata, dan irama yang betul supaya siswa bisa melakukan penyampaian dan komunikasi dengan benar. Berikutnya pada sesi ke-5, berfokus pada ekspresi pemahaman baca hitung dengan media permainan Sesi ke-6 memiliki tujuan untuk mengembangkan interaksi sosial dan sikap kooperatif antar siswa dalam kegiatan membaca dan menulis dengan media permainan puzzle huruf dan angka. Sesi ke-7 bertujuan agar siswa dapat mengembangkan peta-konsep ataupun mengorganisir pemahaman teks dan penentuan simpulan belajar yang berkaitan dengan hidup keseharian siswa. Semua kegiatan belajar yang kemudian melibatkan semua anak dengan penggunaan Bahasa Indonesia sesuai EYD, lalu dilakukan pengoreksian secara bersama-sama jika ada yang keliru dalam aktivitas baca tulis tersebut. Pada masing-masing sesi, siswa terbagi ke dalam empat kelompok yang memperoleh pendampingan dari dua orang guru sebagai observer dan fasilitator.
Secara keseluruhan siswa memperlihatkan penambahan keterampilan literasi yang diawali dari identifikasi obyek sebagai pondasi proses belajar. Hasil berikut sejalan dengan studi yang diadakan oleh Rekayanti et al. (2019) bahwasanya game edukasi memberikan efek yang positif untuk anak dalam pengenalan obyek ataupun minat pembelajaran peserta didik. Berikutnya ditunjang oleh studi Hewi (2020) yang menitikberatkan pada game dadu, dimana game dadu dapat menambah literasi. Hal yang sama juga dipaparkan oleh Asip et al. (2023) bahwasanya pada khususnya, game yang cocok dengan siswa SD ialah game yang eksploratif, ebergik, imanigatif dan menitikberatkan pada aspek sosial yang sejalan dengan perkembangan emosional siswa. Berikutnya Darubekti et al., (2021) memaparkan bahwasanya game edukasi memberi kegunaan pada keterampilan berbahasa dan pemikiran siswa.
Adapun efek yang ditimbulkan bagi anak setelah terjadi peningkatan kemampuan literasi adalah memiliki peningkatan keterampilan membaca (Hermawan et al., 2020). Pengaruh lain dari adanya peningkatan keterampian literasi adalah adanya peningkatan prestasi yang didapat anak (Amri & Rochmah, 2021). Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Tabrani (2023) bahwa anak yang mengalami peningkatan literasi maka hasil belajar anak akan meningkat. Berdasarkan keseluruhan perbandingan uji awal dan uji akhir maka disimpulkan bahwa program pemberdayaan Masyarakat batu lubang Pantai untuk meningkatkan keaksaran dasar menggunakan metode bermain experiental learning Permainan tradisional berdampak pada peningkatan kemampuan anak. Evaluasi dan Monitoring.
Program Psikoedukasi Dengan Permainan Pembelajaran yang sudah diadakan mampu meningkatkan literasi siswa SDN Paguyangan 02. Hal ini dilihat dari adanya peningkatan keterampilan literasi anak sebanyak 40% untuk kategori Literasi Baca Tulis dan 34% untuk Literasi Numerasi pada evaluasi pengisian angket. Adapun saran yang diberi untuk beragam pihak di-harapkan bisa menunjang implementasi literasi dan numerasi. Pihak-pihak terkait seperti orang tua, pemerintah kampung, dan para guru yang terus mendorong dan selalu memodifikasi pembelajaran agar anak tertarik terhadap pembelajaran yang diberikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H