(Kompasianabaru-Jakarta) Kehidupan yang damai dan tenteram tentu menjadi dambaan semua umat beragama. Dalam masyarakat kita, mempunyai rasa toleransi yang cukup tinggi. Kondisi kerukunan seperti itu, berdampak positif pada aktivitas keseharian, termasuk dalam melaksanakan ibadah. Suasana harmonis telah berlangsung cukup lama, masing-masing warga bangsa telah menyadari kenyataan yang majemuk di masyarakat Indonesia.
Rasa saling menghormati dan toleransi antarumat beragama harus terus terpelihara, bahkan terus ditingkatkan. Masyarakat Indonesia yang majemuk rentan terhadap kemungkinan kesalahpahaman yang menjurus konflik. Agar berbagai sekat perbedaan baik vertikal maupun horizontal yang ada di dalam masyarakat, dapat dijembatani, membutuhkan komunikasi dan dialog yang intens. Komunikasi antartokoh agama dibutuhkan, terutama untuk merumuskan langkah dalam memperkokoh kerukunan. Hal itu semakin penting dalam memperkokoh hubungan antarpemuka agama dan umat beragama sebagai upaya mencegah timbulnya konflik komunal.
Sudah banyak elemen masyarakat mengajukan hal ini dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi, termasuk juga sejumlah ahli dan para pakar telah pula menyampaikan masukan dan pendapatnya. Di antaranya, bahwa pencabutan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama (PPA) bisa menyebabkan konflik horizantal antarumat beragama kian tak terhindarkan. Karena, kelompok mayoritas bisa menafsirkan pencabutan itu sebagai tindak penistaan atas keyakinan yang diyakini. Maka korban potensialnya adalah kelompok minoritas dan di dalamnya perempuan dan anak-anak.
UU PPA hingga kini sebetulnya terbukti bisa mewujudkan harmoni antarumat beragama. Harmoni terwujud karena UU bisa mencegah terjadinya konflik yang dipicu dugaan tindak penodaan agama oleh pihak tertentu. Tidak benar adanya anggapan sebagian pihak bahwa UU PPA diskriminatif. Hal itu karena meski hanya mencantumkan enam agama dalam pasal 2, UU tersebut sebetulnya juga mengakui berbagai agama dan keyakinan yang tidak disebutkan. Hal itu bisa dipahami melalui penjelasan pasal.
"Kami menyadari putusan MK soal UU Penodaan Agama akan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bagi kami, hal itu wajar," ujar ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md.
Masalah pro kontra itu wajar lantaran uji materi terhadap undang-undang itu melibatkan emosi banyak pihak, baik yang mendukung maupun menentang. Meskipun demikian Mahfud menegaskan," Putusan yang bakal diambil berdasarkan bukti-bukti di persidangan dan hakim konstitusi sama sekali mengabaikan hal-hal di luar persidangan."
"Surat, SMS (pesan singkat), protes, dan lain sebagainya akan kami buang karena kami hanya mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan," Ujar Mahfud Md. Menurut dia, dasar memutuskan UU itu berpijak pada ayat-ayat konstitusi, bukan ayat-ayat agama sebagaimana didengungkan sekelompok organisasi keagamaan selama ini.
"Kami akan memberikan penekanan bagaimana konstitusi menyatakan agama sebagai hak asasi," dalam menyampaikan putusan itu, MK akan mempertimbangkan tiga aspek, yakni kepastian hukum, keadilan, dan asas manfaat. Putusan MK itu akan disampaikan kepada publik, dari gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, 19 April 2010, mulai pukul 14.00 WIB.
Hingga saat tulisan ini dibuat para hakim Mahkamah Konstitusi yang berjumlah 9 orang sedang membacakan pleno persidangan UU PPA, pengunjung yang antusias mengikuti persidangan telah memenuhi ruangan, hingga keluar ruang sidang, untuk itu staf Mk menambah kursi diluar ruangan dan beberapa layar televisi untuk mendengarkan jalan sidang secara langsung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H