Penulis : Rachmad Oky (Peneliti Lapi Huttara)
Terwujudnya wadah aspirasi umat islam melalui partai bukan berarti suara islam melebur menjadi satu kesatuan, rupanya kultur demokrasi yang membuka lebar “dialektika” dapat meruntuhkan kebulatan suara islam diruang publik. Belum lagi kanalisasi kelompok islam terpelihara dengan rapi sebagai kekuatan sosial yang bisa saja dimanfaatkan untuk memperjelas kerenggangan islam itu sendiri.
Lahirnya partai Ummat yang dinahkodai Amin Rais hingga deklarasi Partai Masyumi Reborn diGedung Dewan Dakwah Jakarta belakangan ini mempertontonkan tawaran baru bagi masyarakat islam, tawaran yang didatangkan tidak begitu jelas muaranya dan justru berpotensi membuka ruang kerenggangan baru.
Kita sadar penopang terbesar partai islam adalah massa islam itu sendiri, namun jika partai islam mempunyai jalan dan konsep keislaman masing-masing maka yang akan terdampak adalah perenggangan masa islam karena akan terafiliasi kesalah satu partai islam.
Umat islam kembali ditawari partai yang beraroma islam sementara partai-partai yang ada sebelumnya seperti PKS, PAN, PBB, PPP dan PKB merupakan partai yang dianggap merepresentasikan suara islam ternyata tidak cukup ampuh menyiratkan adanya kesatuan islam yang nyata. Din Syamsuddin pernah berujar bahwa jika memiliki tujuan yang sama yaitu berjuang atas nama agama semestinya parpol-parpol Islam bisa bersatu.
Partai berhaluan islam yang dilahirkan dan terlahir kembali terkesan akan menjadi anti-tesis dari setiap ide yang digagas oleh Partai islam sebelumnya, dengan kata lain sama saja ingin mengatakan partai islam selama ini telah gagal membuktikan adanya masyarakat islam yang terukur.
Ruang perdebatan semakin intens sesama partai islam karena akan ditopang konsep demokrasi dimana keniscayaan dalam demokrasi adalah mempersilahkan perdebatan sesama suara islam, pengaguman terhadap pemakluman dari setiap perbedaan terus tergambar sesama islam dan didalamnya terdapat kontestasi pemikiran yang saling menggugat sesama islam.
Lihatlah suara diparlemen dengan partai yang berbasis islam, ditahun 2019-2024 partai islam terkesan kurang dilirik oleh masyarakat islam itu sendiri, jika digabungkan jumlah kursi partai islam di parlemen dengan hitungan PKB (10,09%), PKS (8,70%), PAN (7,65%), PPP (3,30%) maka total suara yang didapati hanya 30,55%, jikapun hitungan itu dalam keadaan setiap partai islam konsisten untuk bersatu maka tidak juga mempunyai daya apa-apa karena pengaruhnya jauh dibawah 50% suara atau hanya memiliki 171 kursi dari 575 kursi, bahkan partai islam seperti PBB tidak satupun memiliki perwakilan di parlemen.
Pemilu 2019 menempatkan sentimen keislaman menjadi tolak ukur basis perolehan suara namun anehnya tidak diikuti dengan peningkatan keterpilihan partai islam dan sebaliknya partai yang berhaluan nasionalis kebangsaan justru mendapat tempat dihati masyarakat seperti PDI-P, Golkar hingga Gerindra.
Kita lupa bahwa demokrasi yang sebenarnya adalah eksistensi kuantitas dan kualitas hanyalah ekspresi, perebutan jumlah kursi diparlemen seharusnya lebih diutamakan karena penguasan perlemen sama halnya menguasai suara rakyat, namun perwujudan kuantitas partai islam diparlemen menjadi tidak relevan karena masyarakat islam disajikan dan dibingungkan dengan banyaknya partai yang berhaluan islam.
Perpecahan suara islam semakin menjadi-jadi saat masuk dalam kontestasi Pilpres 2019 lalu, “degradasi diksi politik” tergambar untuk menyerang lawan politik, misalnya Amin Rais mendikotomikan partai-partai politik menjadi dua kubu yakni partai yang berhaluan “hizbullah” yakni partai yang mengusung Capres Prabowo dan partai yang berhaluan “hizbusy syaithan” yakni partai yang mengusung Capres Jokowi.
Bentuk penisbahan partai kegolongan hizbusy syaithan sama saja menggolongkan partai islam yang mendukung Jokowi saat itu (PPP,PKB) ke golongan yang tersesat namun sebaliknya partai yang berhaluan nasionalis kebangsaan seperti Gerindra seolah-olah menjadi partai yang kental bernuansa islam.
Soekarno pada tahun 1926 sempat mengeluarkan pemikiran dengan memetakan kekuatan tiga aliran politik di Indonesia yakni Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, pandangan ini sudah tergambar dibenak Soekarno sebelum Indonesia merdeka. Mengingat ketiga konsep ketiga aliran politik tersebut sulit untuk bersatu namun setelah tercapainya kemerdekaan, Soekarno memandang itu sebagai hal yang wajar dalam kehidupan politik Indonesia .
Maklumat Pemerintah pada tanggal 3 November 1945 menjadi awal arahan pemerintah yang mendorong rakyat untuk mendirikan partai politik dengan tujuan memperkuat perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan serta keamanan masyarakat. Maklumat tersebut menyatakan, pertama, pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai itulah dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran politik yang ada dalam masyarkat.
Kedua, pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1945.
Dengan hadirnya maklumat pemerintah tersebut berdampak berdirinya partai-partai politik dan salah satunya partai yang berbasis keagamaan (islam), Sejarah pembentukan partai berhaluan islam pada awal kemerdekaan bermula dari komposisi kelompok islam pada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) hanya berjumlah 15 anggota dari 136 anggota KNIP, komposisi tersebut menandakan lemahnya kedudukan islam pada KNIP yang saat itu fungsinya seperti badan legislatif.
Anggota KNIP yang dianggap mewakili suara islam saat itu ialah Moh Roem, Kasman Singodimedjo, Jusuf Wibisono, Dahlan Abdullah, A.R Baswedan, Abikoesno Tjokrosoejoso, A. Bajasut, Ny Sunarjo Mangunpuspito, KH Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Zainul Arifin, Haji Agus Salim, Anwar Tjokoaminoto, Harsono Tjokroaminoto.
Atas lemahnya suara islam di KNIP itu, maka tanggal 7-8 November 1945 diadakanlah muktamar islam Indonesia di Yogyakarta yang menghasilkan Majelis Syuro Pusat Umat Islam Indonesia (Masyumi) dan sejak itu Masyumi menjadi wadah yang merepresentasikan suara islam dalam naungan partai politik. Pondasi Masyumi bertumpu pada organisasi islam yang sudah ternama seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam.
Kebulatan suara islam pada partai Masyumi ternyata tidak bertahan lama, berawal dari kecewanya NU saat Muktamar Masyumi ke-4 di Yogyakarta 1949, dimana awalnya kedudukan Majelis Syuro dapat menentukan kebijakan partai namun berubah menjadi penasehat belaka sementara Majelis Syuro saat itu banyak diisi oleh tokoh dan sepuh NU sehingga sama saja mempersempit ruang gerak NU di Majelis Syuro.
Beberapa kejadian juga dianggap menjadi alasan keluarnya NU dari Masyumi yakni NU menganggap diantara peserta Muktamar Masyumi tidak memperlihatkan rasa hormatnya kepada Ulama senior NU karena ada situasi pengaguman peserta Muktamar terhadap lulusan Belanda dibanding lulusan pesantren.
Kekecewaan NU terhadap Masyumi terus berlanjut ketika tokoh Masyumi Mohammad Saleh berujar dalam Mukhtamar “ karena bidang politik sangat kompleks tidak hanya bisa ditangani ulama. Jangan kira arena politik hanya seputar pondok pesantren”.
Ucapan itu mengundang protes keras dari NU agar Mohammad Saleh menarik ucapannya. Akhirnya dalam Mukhtamar ke-19 di Palembang tahun 1952, peserta Mukhtamar sepakat menyatakan NU keluar dari Masyumi. Dapat kita pahami bahwa perpecahan partai islam biasanya bermunculan dari internal partai itu sendiri seperti gengsi antar elit/tokoh partai sehingga terciptalah faksi hingga irisan-irisan suara diinternal partai tersebut.
Banyak partai islam berkonflik diarena internalnya sendiri, misalnya perpecahan di PKB yang berawal dari pemecatan tehadap Matori oleh Dewan Syura PKB dari posisinya selaku Ketua Tandfidz Dewan Pengurus PKB. Pemecatan Matori tersebut dilatarbelakangi kehadirannya saat Sidang Istimewa MPR 2001 yang digawangi oleh Amien Rais untuk memakzulkan Gus Dur.
Konflik internal PKB tidak hanya sampai disitu, kejadian Cak Imin dan pendukungnya melayangkan gugatan ke Pengadilan terhadap kubu Gus Dur, hingga masing-masing kubu di internal PKB mengadakan Mukhtamar Luar Biasa (MLB), akhirnnya putusan pengadilan menegaskan penguasaan partai ada di kubu Cak Imin.
Pada partai PPP juga mengalami dualisme kepengurusan partai, persengketaan dapat kita rasakan saat Djan Faridz menggugat Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan HAM) yang menerbitkan surat keputusan terkait pengakuan susunan kepengurusan partai PPP yang diketuai oleh Romahurmuziy. Persengketaan ini berakhir ketika keluarnya putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) Nomor 514 K/TUN/2017 yang menandakan sahnya hasil Muktamar VIII PPP di Pondok Gede tahun 2016 di bawah kepemimpinan Romahurmuziy.
Performa individu pada anggota partai berhaluan islam turut memberi stigma terhadap partainya. Misalnya perkara korupsi yang dilakukan oleh ketua umum maupun elit partai berdampak pada citra partai islam bahkan citra islam itu sendiri. Beruntung kiranya jika masih ada yang menganggap semua itu dilakukan oleh “oknum” yang tidak ada korelasinya dengan agama Islam. Namun sedikit banyaknya pasti berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan suara islam terhadap partai islam.
Daftar panjang persengketaan partai yang berhaluan islam pastinya tidak hanya berhenti di PKB dan PPP saja, setiap partai tentunya mempunyai persoalannya masing-masing namun hasil persengketaan itu berpotensi menciptakan barisan sakit hati yang berujung kembali membentuk partai baru dengan berlandaskan islam.
Namun sejatinya Islam tidak dapat dikaitkan dengan perpecahan partai, islam tidak bisa dikapling oleh partai politik untuk dijual demi kepentingan pragmatis. Islam itu satu yakni yang dibawakan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang berdasarkan Al-.Quran dan As Sunah.
Saat ini marilah kita renungkan kembali, sebaiknya kehadiran partai baru yang berlandaskan islam dapat mengikat setiap lapisan masyarakat islam dengan ikatan tali persaudaraan dan bukanlah sesuatu yang dapat mengotori persaudaraan. Namun saat ini tampaknya dan kita menduga bahwa partai islam dibangun atas ambisi dan persaingan sehingga yang terjadi adalah tercerai berainya suara islam bahkan terkadang menjadi sebab putusnya tali silaturahmi sesama islam.
Teriring diakhir, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri didalam bukunya “Islam dan Partai Politik (membedah sistem politik dan demokrasi)” mengatakan : “Sudah diketahui bersama, perpecahan adalah salah satu dampak besar yang ditimbulkan oleh partai-partai politik. Bahkan perpecahan merupakan asas dasar daripada kepartaian. Seperti diketahui pula, perpecahan dari macam bentuk apapun dan perselisihan atas dasar apapun tidak patut dan tidak layak dalam islam serta tidak mendatangkan manfaat apapun melainkan malapetaka bagi kaum muslimin”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H