Bentuk penisbahan partai kegolongan hizbusy syaithan sama saja menggolongkan partai islam yang mendukung Jokowi saat itu (PPP,PKB) ke golongan yang tersesat namun sebaliknya partai yang berhaluan nasionalis kebangsaan seperti Gerindra seolah-olah menjadi partai yang kental bernuansa islam.
Soekarno pada tahun 1926 sempat mengeluarkan pemikiran dengan memetakan kekuatan tiga aliran politik di Indonesia yakni Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, pandangan ini sudah tergambar dibenak Soekarno sebelum Indonesia merdeka. Mengingat ketiga konsep ketiga aliran politik tersebut sulit untuk bersatu namun setelah tercapainya kemerdekaan, Soekarno memandang itu sebagai hal yang wajar dalam kehidupan politik Indonesia .
Maklumat Pemerintah pada tanggal 3 November 1945 menjadi awal arahan pemerintah yang mendorong rakyat untuk mendirikan partai politik dengan tujuan memperkuat perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan serta keamanan masyarakat. Maklumat tersebut menyatakan, pertama, pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai itulah dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran politik yang ada dalam masyarkat.
Kedua, pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1945.
Dengan hadirnya maklumat pemerintah tersebut berdampak berdirinya partai-partai politik dan salah satunya partai yang berbasis keagamaan (islam), Sejarah pembentukan partai berhaluan islam pada awal kemerdekaan bermula dari komposisi kelompok islam pada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) hanya berjumlah 15 anggota dari 136 anggota KNIP, komposisi tersebut menandakan lemahnya kedudukan islam pada KNIP yang saat itu fungsinya seperti badan legislatif.
Anggota KNIP yang dianggap mewakili suara islam saat itu ialah Moh Roem, Kasman Singodimedjo, Jusuf Wibisono, Dahlan Abdullah, A.R Baswedan, Abikoesno Tjokrosoejoso, A. Bajasut, Ny Sunarjo Mangunpuspito, KH Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Zainul Arifin, Haji Agus Salim, Anwar Tjokoaminoto, Harsono Tjokroaminoto.
Atas lemahnya suara islam di KNIP itu, maka tanggal 7-8 November 1945 diadakanlah muktamar islam Indonesia di Yogyakarta yang menghasilkan Majelis Syuro Pusat Umat Islam Indonesia (Masyumi) dan sejak itu Masyumi menjadi wadah yang merepresentasikan suara islam dalam naungan partai politik. Pondasi Masyumi bertumpu pada organisasi islam yang sudah ternama seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam.
Kebulatan suara islam pada partai Masyumi ternyata tidak bertahan lama, berawal dari kecewanya NU saat Muktamar Masyumi ke-4 di Yogyakarta 1949, dimana awalnya kedudukan Majelis Syuro dapat menentukan kebijakan partai namun berubah menjadi penasehat belaka sementara Majelis Syuro saat itu banyak diisi oleh tokoh dan sepuh NU sehingga sama saja mempersempit ruang gerak NU di Majelis Syuro.
Beberapa kejadian juga dianggap menjadi alasan keluarnya NU dari Masyumi yakni NU menganggap diantara peserta Muktamar Masyumi tidak memperlihatkan rasa hormatnya kepada Ulama senior NU karena ada situasi pengaguman peserta Muktamar terhadap lulusan Belanda dibanding lulusan pesantren.
Kekecewaan NU terhadap Masyumi terus berlanjut ketika tokoh Masyumi Mohammad Saleh berujar dalam Mukhtamar “ karena bidang politik sangat kompleks tidak hanya bisa ditangani ulama. Jangan kira arena politik hanya seputar pondok pesantren”.
Ucapan itu mengundang protes keras dari NU agar Mohammad Saleh menarik ucapannya. Akhirnya dalam Mukhtamar ke-19 di Palembang tahun 1952, peserta Mukhtamar sepakat menyatakan NU keluar dari Masyumi. Dapat kita pahami bahwa perpecahan partai islam biasanya bermunculan dari internal partai itu sendiri seperti gengsi antar elit/tokoh partai sehingga terciptalah faksi hingga irisan-irisan suara diinternal partai tersebut.