Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilkada dan Media Massa

12 Agustus 2020   16:42 Diperbarui: 13 Agustus 2020   07:05 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anas Maamun dalam debat tersebut beberapa kali melepas bahasa Melayu yang natural, dengan bahasa yang natural namun justru memikat sentiment masyarakat ketika itu, namun pesaingnya Lukman Edi dan Achmad terkesan lebih formal dan akademik yang justru gagal menunjukkan karakter "iconic" baru bagi masyarkat Riau.

Belum lagi Anas Maamun dijuluki dengan sebutan "Atuk" atau "Tuk Annas" yang diangkat oleh media massa, justru julukan itu menambah kesan personal yang bukan elitis, bagi masyarakat melayu Atuk merupakan sebutan dari kakek, orang yang dituakan, atuk juga dianggap secara emosi orang yang dekat atau tanpa jarak dengan yang lebih muda. Artinya media massa justru menambah faktor-faktor baru yang membuat psikologi massa tak terhalang dengan kepribadian Anas Maamun.

Media massa dianggap mampu mengubah citra seseorang untuk mendongkrak elektabilitas, benar saja salah satu strategi Bill Clinton dalam memenangkan pemilu yakni dengan menguasai media massa sebanyak-banyaknya. 

Bahkan akhir masa kampanye Pilpres, tim Obama terpaksa merogoh kocek yang sangat dalam ketika menguasai media massa televisi dengan menayangkan iklan politik Obama dengan waktu yang bersamaan pada jam "prime time" di tujuh stasiun televisi Amerika yakni CBS, NBC, MSNBC, Fox, Universion, TV One dan BET. Sejak itulah iklan politik termahal belum terpecahkan di AS.

Lain dari itu, seorang yang bernama Alwi Hamu yang notabene merupakan raja media massa di kawasan Indonesia Timur mengalami kegagalan dalam pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah padahal berbagai publikasi di surat kabar dan media elektronik sudah disodorkan kepada rakyat namun ternyata labelisasi raja media massa ternyata tidak bisa juga memuluskannya dalam karir perpolitikan beliau.

Satu yang pasti, menjelang Pilkada masyarakat daerah akan disajikan berbagai informasi politik melalui berbagai media massa seperti televisi, surat kabar, radio, baliho dan lain sebagainya.

Menurut Prof Hafied Cangara pakar komunikasi politik menyatakan dengan media massa masyarakat bisa menyaksikan dan mengikuti aktivitas politik seperti pidato, kampanye, konferensi pers, rapat-rapat partai, tour dan traveling pada politisi, debat kandidat dan mengetahui strategi apa yang digunakan dalam memenangkan Pemilu.

Pada level pilkada seharusnya calon kepala daerah memanfaatkan media massa sebagai forum diskusi antara calon kepala daerah dengan masyarakat daerah sehingga merangsang masyarakat untuk belajar mengembangkan potensi untuk peduli terhadap lingkungan politiknya. 

Bukan sebaliknya, media massa digunakan hanya untuk menggambarkan setiap urusan masyarakat itu mudah dengan berbagai jualan program tanpa rakyat diberitahu bagaimana cara untuk menyelesaikan persoalan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun