Penulis : Rachmad Oky (Peneliti Lapi Huttara)
Perubahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Pekanbaru  ternyata menimbulkan kegaduhan dikalangan internal anggota DPRD Kota Pekanbaru (DPRD Kota), berawal penolakan  Fraksi PAN dan PKS  terhadap hasil Paripurna RPJMD hingga meluber ke pelaporan pimpinan DPRD Ginda Burnama dan Tengku Azwendi ke Badan Kehormatan (BK) DPRD Pekanbaru. Persoalan kian rumit ketika 27 anggota DPRD Kota menyatakan mosi tidak percaya kepada Hamdani (Ketua DPRD Kota Pekanbaru) karena dianggap tidak mampu mengayomi dan mebawa kesejukan sebagai pimpinan lembaga legislatif Kota.
Menjadi sangat wajar kiranya apabila DPRD Kota menjalankan fungsi kontrol terhadap setiap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota, bahkan kita perlu mengapresiasi setiap kritik DPRD Kota karena mereka telah menjalankan fungsi konstitusionalnya. Begitu juga disaat adanya kebijakan Walikota Pekanbaru terkait perubahan Perda Nomor 7 Tahun 2017 tentang RPJMD 2017-2022, maka sepatutnya jugalah DPRD Kota menjalankan fungsi kontrolnya terhadap setiap materi perubahan RPJMD tersebut. namun apakah merupakan langkah yang tepat untuk melakukan penolakan  terhadap perubahan Perda RPJMD Kota Pekanbaru? atau justru menjadi sebuah langkah yang menambah kerumitan dalam pencapaian kesepakan hukum dan politik terkait perubahan RPJMD tersebut?
Dinamika politik semakin meruncing saat paripurna penetapan perubahan Perda RPJMD tidak dihadiri oleh Fraksi PAN dan Fraksi PKS serta beberapa anggota DPRD lainya yang menyebabkan ketentuan 2/3 Â sebagai batas rendah kuorum paripurna tidak tercapai. Namun pun demikian keputusan paripurna tetap berjalan yang diakhiri dengan ketok palu beberapa pimpinan DPRD Kota.
Dengan kenyataan yang ada, maka perlu kiranya kita mengukur secara objektif dan tidak memihak atas polemik yang terjadi di lembaga legislatif kota Pekanbaru tersebut. satu sisi kita harus menghargai ada yang ingin memperjuangkan perubahan Perda RPJMD dan sisi lainnya kita juga harus menghargai ada yang menolak perubahan Perda RPJMD Kota Pekanbaru.
Dari adanya penerimaan dan penolakan atas perubahan Perda RPJMD tersebut, maka untuk menilai keobjektifannya kita harus melakukan pendekatan poin-poin apa yang menjadi perdebatan terkait penolakan atas perubahan Perda RPJMD tersebut dan apapula argumentasi yang mendalilkan untuk meloloskan perubahan Perda RPJMD tersebut, tentu poin-poin itu juga harus dinilai dengan tolak ukur peraturan perundang-undangan agar lebih objektif. Â Dari data yang penulis dapatkan maka ada beberapa "titik isu" yang menjadi perdebatan terkait perubahan Perda RPJMD Kota Pekanbaru.
- Perdebatan soal batas umur RPJMD yang kurang dari 3 (tiga) tahun.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa anggota DPRD Kota Pekanbaru yang menolak perubahan Perda RPJMD tersebut dikarenakan umur RPJMD yang saat ini tidak lagi memenuhi syarat untuk dapat dilakukan perubahan karena telah kurang dari 3 (tiga) tahun. Perlu diketahui bahwa  RPJMD Kota Pekanbaru mempunyai periode 2017 hingga 2022 yang tertuang didalam Perda Nomor 7 tahun 2017 tentang RPJMD Kota Pekanbaru 2017-2022, artinya jika perubahan RPJMD didasari dari masa periode Walikota Pekanbaru saat dilantik tanggal 22 Mei 2017 hingga akhir masa jabatan 22 Mei 2022 maka RPJMD yang dilakukan perubahan pada bulan Mei 2020 saat ini akan kurang dari 3 (tiga) tahun apabila dihitung pada batas akhir 22 Mei 2022.
Dari perdebatan diatas didapati bahwa tolak ukur umur perubahan RPJMD dimulai sejak dilakukan pembahasan di DPRD Kota, jika memang ini logikanya maka memang berdampak pada kurangnya sisa umur RPJMD dari 3 (tiga) tahun sehingga tidak mungkin dilakukan perubahan. Pertanyaannya apakah benar penghitungan perubahan perda RPJMD dimulai sejak pembahasan di DPRD Kota?
Jika kita ingin menilai secara "keobjektifan" maka sangat keliru apabila menghitung kurangnya sisa umur RPJMD dimulai dari pembahasan di DPRD Kota, Â padahal pasal 342 ayat (2) poin "b" Permendagri No. 86/2017 jelas mengatakan tolak ukurnya adalah "Perubahan RPJMD" dan bukanlah "Perubahan Perda RPJMD".
Jika disebutkan "Perubahan RPJMD" seharusnya perhitungan perubahan RPJMD dimulai ketika dilakukannya pengendalian dan evaluasi dengan mempersiapkan dokumen perubahan RPJMD, karena RPJMD itu sendiri merupakan dokumen perencanaan daerah sesuai makna yang disebutkan dari pasal 1 poin 26 Permendagri tersebut. sementara dokumen perencanaan perubahan RPJMD kota Pekanbaru sudah ada pada tahun 2019 saat umur RPJMD masih tersisa lebih dari 3 (tiga) tahun dan itu juga hasil dari rekomendasi Kemenpan-RB yang sudah ada sejak 2019 ketika batas umur RPJMD masih lebih dari 3 (tiga) tahun.
Namun menjadi keliru apabila menyamakan "Perubahan RPJMD" dengan "Perubahan Perda RPJMD", karena apabila itu disamakan maka wajar saja seolah-olah umur RPJMD dihitung sejak dilakukan pembahasan di DPRD Kota bahkan bisa dihitung saat tanggal perubahan Perda RPJMD diundangkan, sementara pasal 342 Permendagri tersebut menegaskan bahwa itu adalah "Perubahan RPJMD" yang konsekuensinya perubahan telah dianggap ada apabila sebuah dokumen perubahan RPJMD sudah dibentuk. Maka tidak bisa kita mengatakan perubahan RPJMD bertentangan dengan pasal 342 Permendagri 86/2017, karena pada dasarnya sudah cukup alasan bahwa umur RPJMD masih memenuhi syarat untuk dilakukan perubahan karena akan dihitung sejak dokumen perubahan RPJMD itu ada yang dikoordinasi oleh Bappeda Kota Pekanbaru.
- Perubahan RPJMD atas perubahan mendasar (Kebijakan Nasional)