Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Presiden di "Persimpangan" PERPPU Penundaan Pilkada 2020

14 April 2020   17:16 Diperbarui: 15 April 2020   13:27 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis : Rachmad Oky ( Peneliti Lapi Huttara)

Pelaksanaan Pilkada serentak 2020 tampaknya harus mengalah dengan keadaan, sudah menjadi maklum berbagai agenda kenegaraan dan politik demokrasi banyak yang tertunda akibat Covid-19, jangan sampai Pilkada yang bertujuan "pesta rakyat" berubah menjadi malapetaka baru bagi rakyat, sudah tepat kiranya KPU memutuskan untuk menuda Pilkada serentak 2020.

Setidaknya berdasarkan Keputusan KPU No.179/2020 tentang penundaan Pilkada didapati ada 4 tahapan pilkada yang ditunda, yakni pelantikan panitia pemungutan suara (PPS), Verifikasi bakal calon perseorangan, rekrtumen petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) dan yang terakhir Pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih, dengan itu sangat genting kiranya apabila instrumen struktural yang tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan pilkada belum bisa dipersiapkan menjelang pemungutan suara pada september 2020 mendatang.

Kegentingan itu harus diproses pada jalur konstitusional, karena tidak mungkin penundaan Pilkada hanya pada domain KPU saja, kini bola sudah di "oper" ke Presiden sambil berharap agar Presiden secepatnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai basis konstitusional penundaan Pilkada.

Mengapa pentingnya menerbitkan Perppu?

Kita  tau bahwa penyelenggaraan Pilkada 2020 merupakan perintah yang wajib diselenggarakan karena kehendak UU No.10/2016, pada pasal 201 ayat (6) menyatakan "Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020", jelas sudah yang diatur pada pasal tersebut Pilkada serentak  wajib diselenggarakan pada bulan September 2020 mendatang, namun atas keadaan yang mendesak akibat Covid-19 maka mau tidak mau UU tersebut harus dirubah sesegera mungkin dengan menerbitkan Perppu.

Sudah cukup alasan kiranya Presiden menyatakan adanya kegentingan yang memaksa sehingga Perppu menjadi satu-satunya solusi, setidaknya tingkat kepentingan menerbitkan Perppu dengan alasan kedaruratan Covid-19 sudah memenuhi 2 (dua) unsur, pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah penundaan Pilkada secara cepat, kedua, kebutuhan hukum atas penundaan Pilkada tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama.

Ketika kedua unsur tersebut sudah terpenuhi maka sebenarnya Presiden memiliki tantangan tersendiri yang sulit untuk dijawab, misalnya jika selama ini penerbitan Perppu disandarkan pada 3 (tiga) hal yakni kebuntuan prosedural hukum, kebutuhan hukum yang mendesak dan adanya kekosongan hukum maka tantangan Perppu Pilkada saat ini sedikit berbeda karena rencana Perppu tersebut akan berhadapan dengan situasi dan keadaan yang tidak pasti, bagaimana mungkin sebuah Perppu Pilkada bisa diterbitkan dan dilaksanakan sementara keadaan darurat wabah Covid-19 entah kapan menemukan titik akhirnya. 

Bisa saja kita tarik kesimpulan bahwa dalam keadaan darurat saat ini tidak mungkin menerbitkan sebuah Perppu akibat tidak adanya kepastian keadaan yang normal.

Materi Perppu Pilkada pastinya mengatur tentang pengunduran waktu penyelenggaraan Pilkada, jika pada awalnya Pilkada serentak diselenggarakan pada bulan September 2020 (pasal 201 ayat (6) UU 10/2016)  maka untuk menunda itu Presiden harus juga menetapkan kapan dan bulan apa yang tepat untuk melaksanakan Pilkada serentak tersebut, menetapkan waktu yang tepat tidak mungkin dapat diputuskan dimasa tidak adanya kepastian akhir masa kedaruratan Covid-19, maka tantangan Presiden saat ini adalah harus memastikan dulu kapan status kedaruratan itu dicabut.

Pada sisi lainnya jika memag Perppu tidak terbit dan masih memakai UU No.10/2016 maka lembaga-lembaga negara yang terikat dengan penyelenggaraan Pilkada 2020 akan berpotensi secara "berjamaah" melanggar UU tersebut mengingat bulan September 2020 adalah waktu yang sangat "mepet" untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan Pilkada, bayangkan saja dari data yang dikeluarkan oleh Hasyim Asyari (Komisioner KPU) bahwa Pilkada 2020 diselenggarakan di 270 Daerah Pemilihan, meliputi 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota yang tersebar di 32 Provinsi, 309 Kab/Kota, 4.238 Kecamatan, 46.740 Desa/Kelurahan, dan 150.691 TPS, serta melibatkan kurang lebih 105.396.460 pemilih. Dengan data itu bagaimana mungkin penyelenggaraan Pilkada ditempuh dengan prosedur yang normal?

Materi Perppu Pilkada atau berdasarkan tafsir MK?

Penerbitan Perppu yang dianggap penting sebaiknya dimulai dari perubahan pasal 201 ayat (6) dan (7) UU No.10/2016, karena ayat (6) tersebut menetapkan bulan penyelenggaraan pilkada yang harus diganti pada bulan atau tahun lainnya dan ayat (7) memberikan batasan masa jabatan hasil Pilkada atas dasar ayat (6) tersebut hingga tahun 2024, jika ingin merubah pasal 201 ayat (6) dan (7) tersebut atas situsasi kedaruratan saat ini sebaiknya materi Perrpu tersebut tidak memberikan waktu dan bulan yang pasti namun bisa saja pasal Perrpu itu memberikan arahan bahwa Pilkada ditunda sampai status kedaruratan Covid-19 sudah mereda, setelah mereda ada baiknya Presiden kembali menerbitkan Perppu untuk menetapkan kepastian Tahun dan Bulan penyelenggaraan Pilkada serentak dengan catatan Perppu sebelumnya sudah ditetapkan sebagai UU yang disetujui DPR.

Harapan penundaan Pilkada atas dasar tafsir MK juga tidak mustahil, setidaknya ada yang memohonkan pasal 201 ayat (6) dan (7) bertentangan dilaksanakan sepanjang tidak ditafsirkan pada keadaan bahaya yang merujuk pada pasal 12 UUD NRI 1945, diharapkan atas payung "keadaan bahaya" berdasarkan tafsir MK tersebut terlepaslah "beban konstitusional" setiap penyelenggara negara yang berkaitan dengan Pilkada serentak saat ini.

Namun apapun kebijakan yang diambil semestinya kita harus sepakat bahwa kebijakan menunda Pilkada 2020 adalah sebuah keadaan yang dapat dinilai objektifitasnya karena lapisan masyarakat dan pemerintah memang merasakan sebuah keadaan yang tidak normal dan memaksa kita untuk menerima sepanjang menyelamatkan seluruh tumpah darah rakyat Indonesia. Amiin...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun