Mohon tunggu...
Rachmat Hendayana
Rachmat Hendayana Mohon Tunggu... Penulis - Suka kegiatan tulis- menulis.

Tinggal di Bogor

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Balada Pensiunan di Era Pandemi Covid-19

21 Juli 2020   00:35 Diperbarui: 21 Juli 2020   00:32 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Stigma Negatif Pensiunan

Tidak dipungkiri, siapapun yang memasuki masa pensiun dan menjadi seorang pensiunan akan merasakan kecemasan dan kegalauan. Kondisi itu dapat dipahami karena masa pensiun akan mengubah segalanya. Seseorang yang tadinya setiap hari masuk kantor dan produktif bekerja, setelah pensiun tidak lagi masuk kantor dan tidak bekerja. Perubahan suasana tersebut secara psikologis menimbulkan kesan perasaan "tidak dibutuhkan".

Ada stigma negatif yang menempel pada pensiunan yang menyebabkan seorang pensiunan stress, cemas dan galau.  Munculnya  Pandemi Covid-19 menambah stres bagi pensiunan.

Stigma negatif yang menempel pada pensiunan itu antara lain: Pensiunan adalah pegawai tidak produktif, karena energinya habis  tergerus usia.  Kehidupan pensiunan  perlu dikasihani karena biasanya sering sakit-sakitan. Seorang pensiunan itu inisiatifnya berkurang, lagi-lagi karena faktor usia. Sementara uang tabungan semakin menipis karena pada waktu aktif bekerja tidak rajin menabung. Pensiunan itu, meskipun memiliki niat berusaha tinggi, tetapi kemampuannya tidak mendukung. Kemampuan seorang pensiunan sudah tidak paripurna.

Satu-satunya yang dapat dilakukan seorang pensiunan dan seringkali dibanggakan  adalah menjadi MC. Pengertian MC disini bukan master of ceremony akan tetapi "momong cucu". Stigma negatif pensiunan tersebut saya rangkum dalam narasi PENSIUNAN, sebagai berikut:

P -- Pegawai tidak produktif; 

E - Energi kerja menurun; 

N - Nunggu dikasihani; 

S - Sering sakit-sakitan; 

I - Inisiatif berkurang; 

U - Uang tabungan menipis; 

N - Niat usaha tinggi, kemampuan tidak ada; 

A -- Anak-anak sudah berpencar; 

N -- Nimang  (momong) cucu.

Itulah yang menjadi penyebab banyak pegawai yang merasa galau, cemas atau takut dengan masa-masa pensiun. Kecemasan yang menghantui masa pensiun itu adalah hal yang wajar, karena dipengaruhi perasaan tidak berdaya.

Orang yang mengalami kecemasan itu menurut Supratiknya dalam bukunya berjudul "Mengenal Perilaku Abnormal" menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:

Orang yang cemas, akan merasa tegang, was-was dan resah yang sifatnya tidak menentu. Ia menjadi peka dan mudah tersinggung dalam pergaulan. Secara tidak sadar ia akan menarik diri dari pergaulan karena sering merasa tidak mampu, minder, depresi dan serba salah. Ciri berikutnya, orang yang cemas akan sulit konsentrasi dan sulit mengambil keputusan, karena takut salah.

Responsnya lamban, terkadang melakukan tindakan yang berlebihan dan sering melakukan gerakan-gerakan neurotik tertentu seperti misalnya geleng-geleng kepala, mematah-matahkan kuku jari, dan lain sebagainya.

Orang yagn cemas itu juga akan mengalami ketegangan ototnya (khususnya pada leher dan sekitar bagian atas bahu), diare ringan, sering buang air kecil dan menderita gangguan tidur berupa insomnia dan mimpi buruk, kemudian mengeluarkan banyak keringat dan telapak tangannya sering basah.

Ia sering berdebar-debar tanpa sebab yang jelas dan tekanan darahnya tinggi, sering mengalami gangguan pernafasan dan sering mengalami "anxiety attacks" atau tiba-tiba cemas tanpa ada sebab pemicunya yang jelas. Kecemasan seorang pensiunan juga sering kita jumpai pada orang-orang yang mengalami post power syndrome (PPS).

PPS, umumnya dijumpai pada seseorang yang ketika aktif bekerja memiliki posisi penting sebagai "bos" di tempat pekerjaannya. Sebagai "bos", tentu banyak dukungan fasilitas dan layanan yang diterimanya. Ketika pensiun, semua itu berubah. Fasilitas  yang selama aktif bekerja diterimanya, hilang. Demikian juga anak buah yang biasa memberikan layanan, tidak lagi respek. Jadilah ia hidup dengan penuh "halusinasi".  

Beberapa orang karyawan juga mengalami keresahan karena ia tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah pensiun. Banyak pensiunan yang merasa kehilangan rekan-rekan kerja yang dahulu ketemu setiap hari, sekarang tidak lagi ketemu.

Kehilangan status sosial (dulu bos -- direktur-, sekarang pensiunan). Jika merujuk piramida Maslow, orang diserang pada sisi harga diri dan ini sangat menjatuhkan mental setiap orang. Perasaan ini sama seperti jika seseorang dimarahi oleh atasannya, di depan orang lain. Faktor lainnya yang seringkali menjadi pemikiran pensiunan adalah penghasilan.

Munculnya pandemi Covid-19 di luar prediksi ini akan tambah memperparah kondisi pensiunan. Himbauan  pemerintah, untuk secara bijak dalam menyikapi kejadian Covid-19 ini terus dikumandangkan dalam berbagai media. Himbauan itu umumnya ditujukan kepada anggota masyarakat yang produktif, agar tetap produktif. Sementara itu terhadap manusia lanjut usia (lansia) yang termasuk pensiunan di dalamnya, himbauannya lebih ditujukan agar tidak keluar rumah, dan senantiasa jaga kesehatan. Bagaimanakah solusi mengatasi stigma negatif pensiunan tersebut?

Ubah Mindset

Dalam menyikapi status pensiun, ada orang bijak yang memotivasi, agar segera mengubah mindset. "Jangan sampai kegalauan karena pensiun berlarut-larut karena dapat berpengaruh terhadap mentalmu". Untuk dapat terhindar dari stigma negatif pensiun ini, perlu perubahan mindset spiritual. 

Mindset tidak siap pensiun diubah menjadi siap pensiun; post power sindrome diubah menjadi bersemangat; kesulitan keuangan diubah menjadi banyak uang; kemudian sakit-sakitan  diubah mindsetnya menjadi senantiasa sehat dan bugar; menyusahkan orang diubah menjadi membantu orang. Terakhir mindset bahwa pensiun tidak ada pekerjaan diubah menjadi aktivitas positif.

Kemampuan mengubah mindset dari stigma negatif pensiun menjadi stigma positif akan menjadi solusi mengatasi permasalahan yang diprediksi muncul pada masa menjalani pensiun terlebih di era Covid -19 ini. Dengan demikian pensiunan tidak lagi diposisikan sebagai orang yang tidak bermanfaat.

Jadilah Pensiunan Bermartabat

Pensiunan harus tetap bermartabat, mampu memberikan kontribusi positif bagi pembangunan. "Pengabdian tiada henti", dapat dijadikan tagline dalam kehidupan seorang pensiunan. Dengan tekad menjadi pensiunan yang bermartabat, cara pertama yang perlu dilakukan disamping mengubah stigma negatif pensiunan sebagaimana disebutkan di atas, adalah perlunya membangun stigma positif.

Bangun stigma positif seorang pensiun, menjadi narasi pensiun sebagai berikut:

P -- Pensiun, awal kehidupan baru -- karier; 

E - Etos kerja, masih dimiliki; 

N - Norma agama diutamakan; 

S - Setiap kegiatan berorientasi pengabdian; 

I - Inisiatif terus mengalir; 

U - Usia lanjut bukan hambatan; 

N - Niat mengabdi tetap tinggi

Dengan membangun stigma positif bagi orang yang pensiun atau pensiunan itu, maka keberadaan pensiunan tidak lagi diposisikan sebagai "penerima santunan" . Seorang pensiunan, bukan orang yang menjadi sasaran kasihan orang lain.

Di era Pandemi Covid-19 ini seorang pensiunan juga tetap bisa produktif, meskipun tentu kategori produktif bagi seorang pensiunan, tidak menggunakan ukuran yang berlaku bagi bukan pensiunan. Standar minimal produktif bagi seorang pensiunan, adalah mampu keluar dari stigma negatif yang sudah disebutkan di atas, dan tetap bisa menjalani kehidupannya dengan sejahtera.

Pendekatan yang dapat dilakukan seorang pensiunan, adalah mengisi waktu pensiun ini dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, jadikan pensiun itu awal kehidupan baru.  Manfaatkan etos kerja yang masih melekat dalam diri untuk memotivasi diri, tetap kreatif. Setiap kegiatan yang dilakukan orientasinya tidak lagi sepenuhnya duniawi, tetapi ditujukan untuk pengabdian menyongsong kehidupan abadi.

Dengan cara itu inisiatif akan tetap mengalir.  Usia lanjut bukan hambatan. Salam Sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun