Mohon tunggu...
Rachena Febriery
Rachena Febriery Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam "45" Bekasi

"God exalts the man who humbles himself," said Miguel de Cervantes (1547-1616).

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Tangis Darah Mariana

24 Agustus 2023   21:06 Diperbarui: 29 Agustus 2023   12:47 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Di tengah kepenatan usai seharian mengangkat batu dan pasir, aku duduk sejenak di sudut bangunan yang masih dalam proses pengerjaan. Hembusan angin senja menerpa wajahku yang berkeringat, menghadirkan sedikit kesejukan. 

Sambil menggaruk-garuk punggung yang terasa gatal, pandanganku tak sengaja tertuju pada sepasang tangan yang kasar dan kotor. 

Dalam keheningan itu, pikiranku pun mulai mengalun seperti aliran sungai kecil yang tenang. Aku teringat betapa kerasnya usahaku dan teman-temanku mencari nafkah di jurang piramida kehidupan. 

Aku selalu tersenyum saat membayangkan sedang apa saat ini istriku dan anak pertama kami di rumah. Meski lelah mendera, semangat untuk memberikan yang terbaik tetap menggelora buat mereka.

Suara gemuruh hujan yang mulai deras mengiringi langkahku menuju salah satu bangunan yang hampir rampung. Rasanya seperti langit turut merasakan lelahku sehingga menangis dalam bentuk rintik-rintik air. 

Aku memasuki bangunan yang hampir 100% selesai itu, tempat berteduh yang kini menjadi pelindung dari guyuran hujan. Duduk sendirian di sudut ruangan, mataku memandang sekeliling dengan perasaan campur aduk. 

Sekilas kilatan cahaya petir menerangi sudut ruangan, mengungkapkan kemegahan struktur bangunan yang aku bantu dirikan ini. Dalam keheningan malam yang hanya diiringi suara hujan, pikiranku melayang pada betapa tak terduga jalanku sebagai seorang kuli bangunan. 

Dulu, mungkin tak pernah terlintas dalam benakku bahwa aku akan terlibat dalam menciptakan tempat-tempat di mana orang akan berkumpul, bermimpi, dan menciptakan kenangan sebelum mereka meninggal dunia.

Namun, tiba-tiba suasana yang tenang itu berubah menjadi menakutkan. Saat pandanganku melayang ke area kamar mandi yang gelap gulita, sebuah bayangan hitam tampak oleh dua mataku melintas dengan cepat. 

Hatiku berdegup kencang, dan wajahku memucat seakan dihantam keras oleh kenyataan yang tak dapat kugambarkan. Apakah itu hanya khayalan atau ada sesuatu yang sebenarnya ada di sana? 

Aku mencoba meraih keberanian untuk berdiri dan mengamati lebih dekat, tetapi pikiranku berkecamuk oleh ketakutan. Suara hujan yang semakin deras dan angin yang menerpa bangunan hanya menambah rasa mencekam di udara. 

Sambil meremas erat pinggiran pakaianku, aku berusaha menenangkan diri dan berpikir bahwa mungkin hanya hasil dari kelelahan panjang yang menyelinap ke dalam imajinasiku.

Di tengah hujan deras ini, aku berlindung di bangunan proyek yang masih belum rampung. Sudah beberapa jam aku duduk di sudut gelap ini, merasakan tetesan air yang jatuh dari atap yang bocor. Aku hanya seorang kuli, terbiasa dengan kerja keras dan cuaca buruk.

Namun, keadaanku berubah saat pandanganku tertuju pada kamar mandi yang gelap di pojok bangunan. Aku melihat sesuatu yang membuat jantungku berhenti sejenak.

Kepala dengan rambut panjang yang basah berdiri tegak di pintu kamar mandi yang setengah terbuka. Wajahnya sangat mengerikan---kulitnya pucat, mata kosong tanpa pupil, dan senyumnya yang tidak manis sama sekali.

Ketakutan merambat dalam diriku, tapi rasa ingin tahuku menang. Aku merasa seolah-olah ada kekuatan yang menarikku ke arah kamar mandi tersebut. Langkahku gemetar, tetapi aku tetap maju, melewati tetesan air dan dingin yang menusuk tulang.

Ketika aku semakin dekat, hantu itu melangkah keluar dari kamar mandi. Tubuhnya mengambang di udara tanpa berat, dan pandangannya menusuk jiwaku. Aku merasa kedinginan dan panik, terjebak dalam pesona mengerikan yang tak dapat kuhindari.

Hantu itu perlahan-lahan mendekatiku, senyumnya semakin melebar. Bunyi napasnya yang parau merasuk ke dalam pikiranku, penuh dengan kegelapan dan malapetaka. Aku ingin berteriak, berlari menjauh, tetapi tubuhku tidak merespons.

Saat aku berbaring lemah di lantai, gelap mulai meresap dalam diriku. Tiba-tiba, suara bergema di ruangan---sebuah suara lembut dan menyeramkan.

"Namaku Mariana," ujar hantu itu dengan suara serak yang menggigilkan tulang. "Aku sudah lama berada di tempat ini, menunggu seseorang yang akan datang dan menemui akhirnya."

Aku mencoba membuka mulutku, tapi suara hanya keluar dalam bisikan lemah. "M-Mariana?"

"Ya," sahut hantu itu secara sinis, suaranya mencerminkan kekecewaan dan keputusasaan. "Aku dulu hidup di kota ini, mengalami kebahagiaan dan penderitaan seperti manusia lainnya."

Aku merasa seperti terseret ke dalam ceritanya, meskipun aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.

"Masa laluku penuh dengan harapan," kata Mariana, suaranya meresapi setiap sudut ruangan. "Aku jatuh cinta dengan seorang pria yang mampu mengisi hari-hariku dengan tawa. Namun, cinta itu berubah menjadi kegelapan saat aku mengetahui pengkhianatan yang tak termaafkan."

Aku bisa merasakan ketakutan dalam kata-katanya. "Apa yang terjadi?"

Mariana tertawa dengan pahit. "Dia mengkhianatiku dengan sahabatku sendiri. Kepercayaan dan cinta yang kutorehkan begitu saja hancur.

Aku diliputi oleh amarah dan keputusasaan, dan akhirnya, aku membunuhnya, membunuh sahabatku, dan membunuh diriku sendiri di sini."

Aku merasa sedih mendengarnya. "Apa yang terjadi setelah kematianmu?"

"Setelah aku meninggal, aku terperangkap di antara dunia hidup dan dunia mati. Kesedihan dan kemarahan mempertahankan aku di sini," ujarnya dengan suara yang penuh derita. 

"Dan sejak itu, aku menghantui tempat ini, mencari seseorang yang mungkin bisa menguapkan kesendirianku ketika siang berganti malam."

Terdengar getaran dalam suara Mariana, seperti rangkaian emosi yang terjalin dalam kisahnya.

"Kau adalah satu-satunya yang memasuki tempat ini dalam waktu yang lama," lanjut Mariana dengan suara yang lebih halus. "Aku merasa... tertarik padamu. Apakah kau bersedia mendengarkan lebih lanjut tentang kisahku?"

Aku merasa sulit untuk menolak. "Tentu saja."

Mariana tersenyum dengan cara yang mengerikan. "Baiklah, maka akan kujelaskan tentang perjalanan hidupku, tentang amarah dan rasa sakit yang mengantar aku ke dalam keadaan yang aku alami sekarang..."

Kabupaten Bekasi, 24 Agustus 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun