Dewasa ini, perkembangan teknologi secara berkelanjutan membentuk budaya-budaya baru. Budaya-budaya baru inilah yang secara tidak sadar kita adopsi dalam kegiatan sehari-hari. Selaras dengan pernyataan oleh Hall (1997), bahwa budaya juga berbicara mengenai kehidupan sehari-hari manusia pada umumnya atau dengan kata lain disebut juga sebagai “mass or popular culture”.
Sebagai contoh sederhana, zaman dahulu untuk saling bertukar pesan melalui surat memerlukan prosedur yang panjang dan waktu yang lama. Namun melalui perkembangan teknologi, sudah tersedia berbagai macam aplikasi layanan chat yang siap mengirimkan pesan secara digital. Salah satu contohnya, yaitu Telegram.
Siapa yang tidak pernah mendengar tentang aplikasi Telegram?
Aplikasi yang dirilis pada tahun 2013 ini, sangat diminati oleh netizen Indonesia. Berdasarkan Alfarizi (2021), jumlah unduhan Telegram yang telah mencapai lebih dari 6 juta di Indonesia dan terus meningkat.
Hal ini terjadi sebab, Telegram dinilai memiliki kebijakan privasi yang lebih aman dan lebih efektif dalam distribusi file besar dibandingkan aplikasi lainnya. Penilaian ini berdasar akan layanan yang tersedia pada Telegram, yaitu fitur “Secret Chat” dan kebijakan distribusi file hingga 1,5 GB kepada lebih dari 100.000 pengguna.
Melihat kesuksesan Telegram di Indonesia, siapa sangka bahwa Telegram justru identik dengan hal-hal kontroversial.
Tahun 2017 dan 2020, Telegram sempat diblokir oleh Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika). Alasan dibalik hal ini, sebab pemanfaatan fitur layanan Telegram tidak sesuai dengan regulasi di Indonesia. Bahkan Pavel Durov selaku CEO Telegram sampai harus turun tangan untuk membuka blokir, dengan cara menyetujui persyaratan yang diajukan Kominfo. Melalui hal tersebut, dapat dilihat bahwa regulasi menjadi hal vital bagi produk budaya seperti Telegram.
Lantas regulasi seperti apa yang mampu membuat Telegram diblokir? Mengapa Telegram harus menyesuaikan kebijakannya dengan regulasi di Indonesia?
Jawaban dari pertanyaan tersebut dapat dijelaskan melalui elemen regulasi dalam konsep sirkuit kebudayaan (circuit of culture).
Elemen Regulasi dalam Sirkuit Kebudayaan
Stuart Hall merupakan pelopor dari konsep sirkuit kebudayaan. Dalam sirkuit kebudayaan terdapat lima elemen yang saling bergantung dan memengaruhi satu dengan yang lainnya. Elemen-elemen tersebut yaitu representasi, identitas, produksi, konsumsi, dan regulasi.