Mohon tunggu...
Rachelia Nazara Natanegara
Rachelia Nazara Natanegara Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya menyukai hal yang berbau seni, kuliner, dan place to go.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Namaku Alam Karya Leila S. Chudori Membuka Kembali Sejarah Kelam dengan Perspektif yang Berbeda

16 Oktober 2024   22:31 Diperbarui: 16 Oktober 2024   22:45 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dalam novel 'Namaku Alam', Leila S. Chudori mengisahkan perjuangan Segara Alam dalam mencari jati diri di tengah bayang-bayang peristiwa 1965. Sebagai anak seorang mantan tahanan politik, Alam tumbuh dengan pertanyaan mendalam tentang masa lalu keluarganya dan stigma yang menyertainya. Novel ini mengikuti perjalanan hidup Alam dari masa kecil hingga remaja. Sejak kecil, Alam telah dibebani  dengan sebutan anak seorang "pengkhianat". Dampak dari peristiwa 1965 terjadinya diskriminasi yang masih menghantui kehidupan masyarakat hingga kini.

Meski diawali dengan pembukaan scene yang menyakitkan, namun Leila S. Chudori dapat mengemas cerita dengan baik sehingga para pembaca dapat merasakan ke-kelaman yang Alam rasakan. Bapaknya yang merupakan Tapol membuat Alam menjadi anak yang pemarah dan pendendam karena perlakuan masyarakat sekitar, juga para pemerintah yang meneror keluarganya. Alam tidak tumbuh seperti anak lainnya, karena sedari kecil alam sudah mengalami peristiwa yang menakutkan serta menyedihkan.

Alam seakan memotret setiap momen traumatis masa kecilnya, terutama saat langit berubah kelam dan burung nasar menjadi saksi bisu peristiwa mengerikan itu. Bayangan tersebut terus menghantuinya dan menguatkan rasa dendamnya. Alam memiliki kemampuan “photographic memory” dimana Alam dipaksa untuk mengingat setiap kejadian yang ia alami.

Segara Alam bersekolah di SMA Putra Nusa, dan berteman dengan Bimo yang juga anak tapol. Tak hanya itu, mereka juga membentuk pertemanan bersama Kemal, Trimulya, Arini, Amelia dan sekawan lainnya.

Anak-anak dari keluarga tahanan politik menjadi korban pelanggaran HAM, meskipun mereka tidak terlibat dalam peristiwa politik. Mereka diharuskan menjalani hidup dalam pengawasan ketat dan diskriminasi. Alam sebagai anak dari tahanan politik tumbuh dalam lingkungan yang penuh tekanan dan ketidakpastian. Program Litsus dan stigma sosial yang melekat pada keluarganya telah meninggalkan trauma mendalam begitupula dengan Bimo.

Kekerasan seperti api, hanya akan membakar dan menghancurkan. Novel ini mengingatkan kita akan pentingnya meredam amarah dan mencari jalan damai. Novel ini juga mendorong kita untuk selalu mencari solusi damai untuk menyelesaikan masalah, bukan memperkeruh keadaan dengan kekerasan. 

Dengan alur yang tenang dan pelan, novel ini mengupas lapisan demi lapisan pemikiran dan emosi Alam. Melalui kilas balik dan percakapan, kita diajak menyaksikan bagaimana peristiwa-peristiwa masa lalu membentuk karakternya yang kuat dan kompleks.  Novel ini menyajikan kisah hidup Alam secara perlahan, mengikuti perkembangan pikiran dan perasaannya. Penggunaan kilas balik dan dialog yang efektif membuat pembaca seolah ikut merasakan pengalaman hidup yang pahit manis.

Selain itu, dalam buku ini, Leila S. Chudori juga menceritakan bagaimana keseruan Alam dengan para sekawan. Tidak hanya cerita keji dan menyakitkan yang dibawakan pada novel ini, namun terdapat juga kisah percintaan, persahabatan dan ke-keluargaan. yang membuat novel ini lebih menarik, karena Leila S. Chudori memiliki gaya penulisan yang unik dan memikat. Novel-novelnya kaya akan bahasa yang indah dan puitis, namun tetap menyajikan kritik sosial yang mudah dipahami. Alur ceritanya yang menarik membuat pembaca seolah-olah ikut mengalami peristiwa yang diceritakan.

Karya Leila S. Chudori sangat penting bagi generasi muda untuk dibaca, agar mereka memahami sejarah dan tidak melupakan peristiwa kelam yang pernah terjadi. 

Namun tidak bisa di pungkiri, novel ini memiliki beberapa kekurangan juga. Seperti, Fokus yang terlalu sempit. Saya merasa bahwa novel ini terlalu fokus pada pengalaman pribadi tokoh utama, Segara Alam, sehingga tidak memberikan gambaran yang komprehensif tentang dampak peristiwa 1965 secara keseluruhan. Lalu, kurangnya konflik besar, Dibandingkan dengan novel Leila S. Chudori sebelumnya seperti "Pulang", "Namaku Alam" memiliki konflik yang kurang intens dan terasa lebih personal. Selain itu, pengulangan tema, saya merasa bahwa tema-tema yang diangkat dalam novel ini, seperti trauma masa lalu, diskriminasi, dan pencarian identitas, sudah seringkali dibahas dalam karya-karya Leila S. Chudori sebelumnya. Perkembangan karakter yang lambat. Beberapa karakter dalam novel ini terasa kurang berkembang secara signifikan sepanjang cerita. Gaya bahasa Leila S. Chudori yang kaya akan metafora dan simbolisme mungkin kurang disukai oleh pembaca yang lebih menyukai gaya bahasa yang lebih sederhana dan langsung. Dan yang terakhir, novel ini hampir seluruhnya berfokus pada perspektif Segara Alam. Beberapa pembaca merasa kurang puas karena tidak mendapatkan perspektif dari tokoh-tokoh lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun