"Mengamati Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016"
5 Maret 2016, perlengkapan pengamatan Gerhana Matahari Total dari UNAWE tiba di desaku. Perangkat itu terdiri dari kacamata khusus pengamatan GMT, sticker GMT 2016, brosur dan buku tentang Gerhana Matahari.
Wah, saya hanya memiliki 2 hari efektif di hari Senin dan Selasa untuk melakukan sosialisasi tentang GMT.
Maklum, desa tempat saya ditugaskan, Desa Gunung Putri, masyarakatnya masih memiliki kepercayaan terhadap mitos tentang GMT, konon, pernah ada kejadian nyata, seorang petani di desa tempat saya bertugas, menjadi buta setelah melihat GMT pada tahun 1983. Kejadian itulah yang hingga kini menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar masyarakat di desa.
GMT 9 Maret 2016 yang jatuh bertepatan pada hari Raya Nyepi dan merupakan hari libur nasional membuat orang tua tidak mengijinkan anaknya keluar dari rumah karena ketakutan akibat GMT. Alhasil, saya tidak berhasil mengumpulkan banyak siswa dan masyarakat untuk "menikmati" momen yang hanya terjadi 350 tahun sekali di tempat yang sama ini. Hanya beberapa siswa yang diijinkan berangkat ke sekolah dengan syarat didampingi penuh oleh guru saat pengamatan GMT. Saya mengakalinya dengan mengajak sebanyak-banyaknya siswa saya untuk membuat kotak lubang jarum sebagai alat pengamatan GMT yang dapat digunakan anak-anak di rumah, di bawah pengawasan orang tuanya masing-masing.
Beruntung, 80% siswa saya antusias berkumpul di sekolah pada hari senin, 7 Maret 2016, untuk membuat kotak lubang jarum dan masing-masing dari mereka, membawa sendiri kardus bekasnya. Pada hari Selasa, 8 Maret 2016, saya mengajak seluruh siswa untuk menguji coba sendiri kotak lubang jarum buatan kami sebelumnya.
Antusiasme anak-anak sangat tinggi. Saya pun mengajak masyarakat untuk bisa ke sekolah pada tanggal 9 Maret 2016 untuk melihat fenomena GMT. Tanggal 8 Maret 2016, malam, saya kedatangan salah seorang wali siswa saya yang mengajak saya berdiskusi mengenai pengamatan GMT, dari pembicaraan itu, si wali tidak mengijinkan anaknya untuk keluar rumah saat GMT berlangsung, walau saya sudah menjelaskannya dengan beberapa bukti ilmiah dan membawa serta buku tentang GMT dan cara aman untuk pengamatan, si wali tetap tidak mengijinkan anaknya untuk mengamati GMT.Â
Saya tidak dapat memaksa, saya hanya memberi beliau kotak lobang jarum, yang sangat aman untuk pengamatan GMT karena dengan alat tersebut, posisi kita akan membelakangi Matahari, dan alat tersebut diterima oleh si wali dengan senang hati. Yah, tidak apa-apa, setidaknya saya berhasil meyakinkan seluruh guru untuk dapat hadir dan bersama-sama menikmati momen GMT esok hari.
Tanggal 9 Maret 2016, pukul 06.00, saya tiba di sekolah. Terlihat beberapa siswa sudah menunggu saya di sekolah, tak lama guru-guru yang lain pun datang. Saya segera mengajak anak-anak dan para guru ke lapangan bola dekat sekolah, karena menurut survey yang saya lakukan sebelumnya, lokasi tersebut sangat pas untuk mengamati Matahari saat pagi hari.
Tepat pukul 06.27 WIB, Bulan mulai perlahan menutupi Matahari. Lokasi kami di
Natuna yang berada di bagian utara Indonesia menyebabkan kami hanya dapat mengalami GMT sebesar 79%, tidak total 100%.
Pukul 07.30, Matahari sudah sebagian besar tertutup.
Suasana menjadi remang seperti saat senja tiba. Desa pun sedari tadi sangat sepi, tak satupun warga yang berani keluar rumah, kecuali kami.
Pukul 08.26, Matahari sudah kembali terbuka sempurna, menandakan momen Gerhana Matahari telah usai. Kami pun bergerak ke Sekolah dan menonton TV bersama, menyaksikan siaran tentang GMT di lokasi lain. Siswa saya pun tertarik dengan momen GMT yang disaksikan dari Jembatan Ampera. Dari televisi, kami menyaksikan, GMT di sana 100%, siang hari itu benar-benar menjadi gelap.
Oh ya, saat momen GMT tadi, saya berlari ke rumah di seberang sekolah untuk meminjamkan 1 kacamata khusus pengamatan pada orang rumah, kebetulan beberapa tetua desa sedang berkumpul di rumah sejak subuh, maklum persiapan sholat gerhana. Saya meminta kakak saya di rumah untuk membantu saya sosialisasi tentang pengamatan GMT ini.
Sepulang dari sekolah, saya mendapat cerita dari kakak di rumah, bahwa tetua tadi sangat senang dapat mengamati momen langka ini dan menyesal tidak mengijinkan anak dan cucunya untuk mengamati GMT. Ya, ada sedikit kelegaan di hati saya. Kelegaan bahwa sekarang mitos itu dapat diatasi, kita bisa mengamati momen langka ini dengan cara yang aman. Semoga momen Gerhana berikutnya kelak, tak ada lagi keraguan masyarakat di desa tempat saya bertugas untuk dapat menyaksikan momen Gerhana Matahari dengan cara yang aman. Dan yang penting, mari kita menjadikan momen GMT ini sebagai sarana edukasi.
Esok hari, 10 Maret 2016, anak-anak yang terlibat bersama saya mengamati GMT, pagi ini mendatangi saya dan memberikan catatan reportase mereka tentang pengamatan GMT kemarin.
Ya, ibu bangga dengan kalian nak! Mereka pun menceritakan pengalama mereka mengamati GMT pada teman-teman mereka yang lain sambil "memamerkan" hasil reportase mereka. Semoga bermanfaat bagi anak-anak dan masyarakat. Jadikanlah momen ini sebagai sarana edukasi yang berharga bagi kita semua. Dan salam hangat dari Natuna, Pulau terdepan NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya