Serial Queen Charlotte merupakan sebuah serial prekuel dari serial sebelumnya yang sudah lebih dahulu tayang di platform Netflix berjudul Bridgerton. Kisah Queen Charlotte ditulis oleh penulis dan juga produser yang sama seperti Bridgerton, yaitu Julia Queen dan Shonda Rhimes.
Novel ini menggambarkan kisah fiksi yang terinspirasi dari fakta di era Gregorian. Pada dasarnya, kisah Queen Charlotte ini merupakan sebuah kisah romantis antara Raja George III dan ratunya, Charlotte.
Namun karena kisah ini sendiri berlatar belakang di tahun 1761-1762, praktik yang menyangkut isu-isu gender masih digambarkan dengan kental di serial ini. Penulis cukup banyak menyelipkan adegan-adegan yang menunjukkan bagaimana wanita diperlakukan di era tersebut.
Dilansir dari MovieWeb.com (Amadi, 2023) mengatakan bahwa serial Queen Charlotte telah melebihi antisipasi para penonton, dengan memberikan kisah yang tidak hanya berpaku pada kisah romantis para pemeran. Queen Charlotte menunjukkan sisi lain dari wanita yang selama ini hanya dilihat sebagai penggosip dan pembuat pesta serta skandal di serial sebelumnya, Bridgerton.
Karena itu, membahas serial Queen Charlotte dari sudut pandang feminisme akan menjadi sisi lain yang menarik tentang bagaimana para tokoh wanita harus terjebak dalam situasi tidak menguntungkan yang mereka alami dan cara mereka mengatasinya.
Menurut (Ritzer & Godman, 2004) dalam bukunya yang berjudul Teori Sosiologi Modern, wanita mengalami perbedaan perlakuan, ketimpangan, dan juga penindasan oleh laki-laki. Hak-hak, kelas, status, dan posisi yang wanita dapatkan dalam susunan stratifikasi akan "kurang" daripada yang dimiliki oleh laki-laki.
Kurangnya hak-hak dan peluang yang dimiliki oleh wanita dalam serial Queen Charlotte dapat dilihat dari adanya sistem perjodohan dan pengertian akan 'nilai' yang harus dilakukan oleh seorang wanita. Pemeran utama, Charlotte harus mengikuti dan menghadapi sistem perjodohan dalam pernikahan yang membuatnya tidak bisa menentukan sendiri dengan siapa Ia akan menikah, serta konstruksi sosial yang menuntutnya untuk melahirkan banyak anak bagi sang suami sebagai nilai dasar wanita. Wanita hanya dilihat sebagai 'alat' penghasil anak dan bukan sebagai manusia yang juga memiliki peluang yang sama dengan laki-laki untuk bisa menjadi apapun.
Wanita juga akan terus terjebak dalam status suaminya seumur hidup yang menandakan bahwa wanita tidak memiliki hak lagi atas dirinya setelah menikah dan dimiliki oleh laki-laki. Seperti yang dikatakan oleh tokoh Brimsley kepada Charlotte bahwa Ia merupakan ratu milik suaminya dan akan terus terikat dengan status itu selamanya. Sudut pandang ini menjadi salah satu hal yang ditentang oleh sudut pandang feminisme.
Selain itu juga, menurut (Ritzer & Godman, 2004) di kebanyakan situasi posisi wanita tidak hanya berbeda, namun juga tidak terlalu menguntungkan dan setara jika dibandingkan dengan laki-laki. Posisi wanita disini bisa diartikan bahwa wanita seringkali tidak dapat melakukan banyak hal hanya karena posisinya sebagai wanita. Secara spesifik, wanita juga lebih sedikit memperoleh sumber daya material, status sosial, kekuasaan, dan juga peluang untuk aktualisasi diri.
Pernyataan tersebut dibuktikan oleh tokoh wanita lainnya dalam serial ini, Lady Danbury yang tidak bisa mengaktualisasikan diri dan harus terus merendahkan dirinya di hadapan suaminya. Statusnya sebagai wanita juga membuatnya harus kesulitan memperoleh harta peninggalan sang suami, karena di era tersebut wanita tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengenal urusan di luar urusan rumah tangga. Hal ini juga menjadi salah satu isu gender yang hampir selalu terjadi pada setiap wanita di tahun tersebut.