Mohon tunggu...
Rachel Chandra
Rachel Chandra Mohon Tunggu... -

President University student, majoring in Public Relations

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

4 Alasan Mengapa “hukum kan buat dilanggar”

15 Oktober 2016   21:49 Diperbarui: 15 Oktober 2016   23:26 1926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: planetmuslim.blogspot.co.id

Parkir liar, menyogok polisi saat ditilang, atau bahkan korupsi.

Pernyataan diatas adalah salah satu dari banyak pelanggaran hukum yang terjadi. Semua orang pasti pernah melanggar hukum, namun bagaimana perasaan orang tersebut saat melanggar hukum? Bersalahkah? Atau malah tidak peduli dengan hukum tersebut?

Setiap Negara tentu mempunyai hukum yang berlaku. Hukum, menurut Oxford dictionary, adalah peraturan yang berlaku disuatu Negara atau komunitas dimana anggotanya dipaksa untuk mengikuti peraturan tersebut untuk kebaikan semua pihak, dan akan diberlakukan pinalti atau hukuman jika tidak mematuhi peraturan tersebut. Tapi apakah semua orang mematuhinya? Pada kenyataannya kita masih bisa melihat banyaknya pelanggaran hukum yang terjadi, atau bahkan mungkin kita sendiri yang melanggar hukum. Apa yang membuat hukum seakan-akan adalah sesuatu yang harus dilanggar?

1. Menyogok

“Kalo ketilang gimana?”

“Gampang! Kasih 50 ribu aja udah seneng”

Percakapan ini pasti pernah terlintas dalam hari-hari kita. Salah satu penyebab terjadinya perlanggaran hukum adalah karena tidak adanya sikap dan sanksi yang tegas dari para penegak hukum itu sendiri. Yang mengejutkan adalah, survey dari Transparancy International Indonesia (TII) menyebutkan 3 dari 4 orang Indonesia menyuap polisi untuk mendapatkan keisitimewaan, sebut saja salah satu contohnya adalah tidak ditilang dan cepat mendapatkan surat ijin mengemudi (SIM) tanpa perlu repot menunggu (tempo.com).

 Perilaku kita yang melanggar hukum dijelaskan di dalam teori atribusi, menurut seorang psikolog dari Austria, Fritz Heider, ada sebab maka ada pula akibatnya. Sebab dan akibat tersebut bisa berupa sifat, motif, ataupun sikap. Bertindak seenaknya terhadap hukum, timbul dari adanya perasaan lengahnya sistem hukum dan seberapa mudahnya kita lepas dari jeratan sanksi hukum tersebut. Bahkan tidak sedikit yang berpendapat bahwa hukum sangat mudah dibeli dengan uang.

2. Tidak tahu informasi

“Loh ini jalur ganjil genap?”

Pertanyaan diatas merupakan pertanyaan yang akhir-akhir ini sering terdengar di lingkungan para pengemudi kendaraan di ibukota Jakarta. Kebijakan yang baru saja dibuat oleh pemerintah ibukota Jakarta ini nampaknya masih juga sering dilanggar oleh masyarakatnya, padahal sudah cukup lebih ketat daripada biasanya. Mungkin terdapat beberapa alasan untuk segelintir orang melanggar peraturan tersebut. Kekurangan informasi atau ketidaktahuan mengenai peraturan tersebut menjadi salah satu pemicu pelanggaran hukum. 

Dengan adanya alasan ini pemerintah dinilai kurang kompeten dalam berkomunikasi secara efektif kepada masyarakat. Selain kurangnya informasi, sikap tidak peduli juga banyak diterapkan oleh masyarakat saat ini. Pemerintah harus memahami bahwa setiap individu & kelompok mempunyai pemahaman yang berbeda mengenai hukum, maka sangatlah penting untuk pemerintah mempelajari latar belakang sosial, budaya, dan kepercayaan terhadap suatu kelompok atau yang biasa disebut ethnografi.

3. Melanggar itu Keren

“Kalo berani terobos lampu merah, berarti lo hebat”

Pernah mencoba melanggar hukum agar dianggap keren? Menurut Polda Metro Jaya, hanya untuk pelanggaran lalulintas, terdapat kenaikan sebesar 14,9% pada tahun 2014 dibandingkan dengan tahun sebelumnya (kabar24.com). Salah satu pemicu dimana masyarakat, terutama anak muda, melanggar hukum agar dianggap keren adalah pemikiran dari para kelompok anak muda tersebut. Menurut Irving Janis, seorang psikolog asal America, mengatakan bahwa dalam sebuah kelompok ada dimana saat mayoritas pemikiran dari anggota kelompok lebih penting dan benar, pemikiran tersebutlah yang membuat orang mengabaikan konsekuensi yang akan mereka terima.

4. Itu lagi, itu lagi

“Sidang Jessica melulu. Gak ada abisnya”

Permasalahan yang tidak kunjung berakhir salah satunya adalah kasus Jessica – Mirna, dimana banyak telivisi yang menayangkan berita dan persidangan kasus tersebut secara live. Tayangan tersebut menjadikan banyaknya spekulasi tentang kurangnya pemahaman dari lembaga hukum mengenai kasus terkait yang membuat kasus tersebut menjadi terbelit-belit. Banyaknya media yang berulang-ulang membahas tentang pelanggaran hukum, terutama pelanggaran hukum tanpa sanksi yang kuat, membuat masyarakat menjadi kebal terhadap hukum.

 Ahli komunikasi ternama, Professor George Gerbner dalam teorinya, cultivation teori, menjelaskan bahwa pengulangan dalam jangka waktu panjang di tayangan televisi membawa efek yang sangat kuat terhadap penontonnya. Fenomena ini juga memicu terjadinya krisis kepercayaan terhadap banyak instansi pemerintahan terutama aparat penegak hukum.

Namun menurut Leon Festinger, psikolog Amerika, kita sebagai manusia akan melakukan langkah benar untuk mengurangi rasa tidak nyaman atau bersalah. Sebagian dari masyarakat juga tetap taat terhadap peraturan hukum, karena mereka sadar dan mengerti bahwa hukum dibuat untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan bersama. Tidak ada salahnya bukgoofan kita tertib menaati hukum?

Ditulis oleh: 

Rachel Chandra, mahasiswi Public Relations, President University.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun