Tulisan ini adalah jurnal kehidupan saya beberapa bulan lalu. Mengapa saya mempostingnya? Mari, kita simak bersama-sama.
Tepat malam ini, 20 Mei 2012, saya mengalami hal yang amat tidak menyenangkan. Tidak seperti biasanya, minggu malam ini saya kembali ke Depok dengan menumpang commuter line karena harus mengerjakan tugas akhir Lab Akun bersama teman-teman. Sore tadi kereta berute Bekasi-Manggarai belum ada, jadi saya masuk saja ke kereta berute Bekasi-Depok dengan ekspektasi melanjutkan perjalanan dengan kereta lain berute Jatinegara-Depok. Sebenarnya sistem membeli tiket kereta di setiap stasiun sama bukan? Pembagian jalurnya saja yang pasti berbeda. Sayangnya ini adalah kali pertama saya di Stasiun Jatinegara. Sebagai calon penumpang yang baik saya bertanya kepada petugas karcis: “Mas, kereta ke Depok jalur berapa? Jam berapa?” Pertanyaan itu juga yang saya lontarkan kepada petugas penjaga gerbong commline. Jawab mereka, “Jalur 4 atau ga 5,neng. Denger aja nanti di speaker.” Menyebalkan! Baru kali ini saya mendapati jawaban seperti itu. Masa iya sih petugas KAI ga tau hal-hal mendasar seperti itu? Ya sudahlah.
Dengan penuh kepercayaan diri saya menuju jalur 4 dan menanti kereta menuju Depok. Tidak sampai lima menit kereta yang saya harapkan tiba juga. Saya sangat senang karena jam masih menunjukkan pukul 17.00. Singkat cerita, saya menunggu di dalam kereta selama hampir 30 menit sebelum terdengar suara dari speaker stasiun “Jalur 3 masih tersedia kereta menuju Depok via Pasar Senen-Manggarai-Pasar Minggu hingga pukul 18.22”” Awalnya yang muncul dalam benakku, “hah, lama bener tuh kereta jalannya? untung gue naik kereta ini.” Tiba-tiba mataku terpaut pada poster rute kereta yang terpampang di atas pintu-pintu kereta “via Pasar Senen? Lewat Kemayoran? Angke? Tanah Abang? Duri? Sudirman? hah.. ini kereta kemana sih?” Saya bingung.
Ya, ternyata saya salah naik kereta. Ternyata kereta di jalur 4 benar kereta menuju Depok, namun tidak langsung ke Manggarai. Kereta tersebut berputar dulu mengelilingi 10 stasiun lalu tiba di Manggarai! Dengan kata lain untuk mencapai Depok menggunakan kereta ini harus melalui 20 stasiun! Gosh.. Jadi, saya harus berkeliling Jakarta dulu untuk dapat sampai UI? Menyedihkan!
Namun bukan perjalanan (sangat) panjang ini yang menjadi beban saya. Bukan 'kebodohan' saya yang menjadi topik tulisan ini.
Hal menjengkelkan yang harus membuat saya tertahan di dalam kereta itu adalah adanya insiden yang memperpanjang perjalanan saya. Insiden itu adalah tawuran di Angke selama empat jam! Sungguh, peristiwa ini telah berhasil membunuh waktu dan merenggut sukacita saya.
Saya pikir tawuran, apalagi di rel kereta, sudah ga zaman lagi. Ternyata.. tak dinyana, masyarakat sekeliling Angke tidak demikian. (Parahnya lagi tidak cuma di Angke, tetapi di banyak titik di daerah ibukota dan sekitarnya, masyarakat yang ada benar-benar masih 'hobi' tawuran.) Satu opini pun muncul dalam benak saya: Heran deh, kok mereka tahan ya timpuk-timpukan batu di rel kereta, teriak-teriakan, dan diliatin orang?
Ada dua hal besar yang mereka timbulkan. Di satu sisi mereka menambah dosa baik dosa tawur-ers (maaf, saya bingung harus menyebut mereka apa) maupun dosa orang-orang yang menyumpahi mereka. Di sisi lain mereka telah menghambat aktivitas terutama kegiatan ekonomi orang-orang yang ada di sekeliling mereka, khususnya para pengguna kereta api dalam kasus ini.
Selain merusak fasilitas umum, menciptakan suasana tidak aman dan tidak nyaman, menyebabkan korban luka bahkan tewas, ternyata cost yang ditimbulkan oleh tawuran lebih besar lagi, yakni menghambat perekonomian manusia di sekitar wilayah kerusuhan tersebut! Tiap orang di dalam satu rangkaian kereta pasti memiliki kepentingan ekonomi selama ia berada di dalam maupun di luar kereta. Demikian halnya dengan mereka yang mengalami kemacetan di sekitar Angke, warga yang tinggal di sekitar daerah tawuran, bahkan mereka yang terlibat dalam tawuran itu sendiri. Bayangkan, hanya karena dua pihak yang kejar-kejaran dan adu mulut, mereka harus menunda bahkan membatalkan tindakan ekonomi yang seharusnya mereka lakukan.
Saat ini, mari kita simak seberapa banyak cost dan no benefit yang para tawur-ers hasilkan. Dengan menggunakan analisis slogan : waktu adalah uang, coba pikirkan opportunity cost yang mereka ciptakan! Andaikan saja di dalam kereta tersebut ada 200 orang yang aktivitas ekonominya rata-rata bisa menghasilkan Rp15.000,00 per jam. Berarti selama tawuran di Angke berlangsung, kesempatan untuk mendapatkan uang sekitar 12 juta rupiah hilang begitu saja. Itu baru dari satu kereta yang saya tumpangi. Saat kerusuhan terjadi, seluruh kereta yang hendak melewati Angke (dari stasiun Kemayoran, Tanjung Priok, Duri, Tanah Abang, Kampung Bandan) mengalami kerugian yang serupa. Mungkin saja jumlahnya berbeda, tergantung densitas penumpang. Tapi tetap saja kan, ruginya mencapai jutaan! Selanjutnya, bila ada sekitar 300 orang yang tinggal di sekitar daerah tersebut dan 450 orang yang mengalami kemacetan, dengan mengandaikan Rp10.000,00 (jumlah ini di bawah jumlah pengandaian penghasilan rata-rata para penumpang kereta api karena masyarakat di sekitar stasiun adalah masyarakat slum area sedangkan kemacetan yang terjadi dialami para pengendara motor dan angkot dan sedikit mobil pribadi) sebagai penghasilan per jam dari aktivitas ekonomi yang mereka lakukan maka sekitar Rp30.000.000,00 menjadi hilang dan tak akan pernah kembali. Terakhir, bila 30 tawur-ers mampu menghasilkan Rp5.000,00 per jamnya maka Rp600.000,00 akan terkorbankan begitu saja. Wow! Rugi yang diandaikan saja sangat besar, apalagi nilai aktualnya. Kemungkinan lebih besar lagi.
Inilah sebabnya saya tergerak untuk membuat tulisan ini. Saya mohon maaf kalau belum mampu menggunakan teknik statistik dan matematik yang advance untuk menganalisis kasus ini. Satu tujuan saya yaitu, berbagi agar semua orang mengerti. Saya yakin anak-anak UI umumnya dan FEUI khususnya sudah mengerti bahwa tawuran bukanlah hal yang baik. Akan tetapi saya ragu kalau siswa dan mahasiswa lainnya (ditambah masyarakat) juga mengetahui secara jelas dan pasti tentang dampak negatif tawuran.
Untuk itu, teman-teman marilah kita bersama-sama memerangi tawuran demi perekonomian yang berjalan lancar. Kalau bukan kita yang sudah memahami kerugian dari tawuran, lalu siapa lagi yang akan peduli? Lagipula selain perekonomian tidak terhambat, sirkulasi uang dan profit yang lancar, moral dan etika serta keamanan lingkungan kita akan meningkat bila tawuran dapat dihindarkan. Efek domino yang sangat baik bukan?
Ayo hentikan budaya tawuran! Kita ada untuk saling memelihara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H