Mohon tunggu...
Rachel Qurrotu Aini A.
Rachel Qurrotu Aini A. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Rachel Qurrotu 'Aini Alexandria 23107030053

meongg

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Toxic Positivity: Ga Melulu Positive Thinking, Beri Tubuh Ruang untuk Validasi Perasaan Negatif

14 Juni 2024   20:53 Diperbarui: 14 Juni 2024   21:39 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Toxic positivity' merupakan konsep dalam psikologi yang merujuk pada penekanan berlebihan terhadap pikiran positif dan pengabaian atau penolakan emosi negatif. Meskipun optimisme dan pikiran positif memiliki banyak manfaat bagi kesehatan mental, ketika diaplikasikan secara berlebihan dan tidak tepat, hal ini bisa menjadi beracun dan merugikan.

Toxic positivity adalah sikap atau mentalitas yang mengharuskan seseorang untuk selalu berpikir positif, bahkan dalam situasi yang sulit atau menyakitkan. Ini melibatkan pengabaian atau penolakan emosi negatif, serta upaya untuk memaksa diri sendiri atau orang lain untuk merasa bahagia atau optimis setiap saat. Pada dasarnya, toxic positivity melibatkan penekanan untuk "selalu berpikir positif" dan mengabaikan atau menolak pengalaman negatif atau emosi yang tidak menyenangkan. Terdapat beberapa ciri utama dari toxic positivity diantaranya:

  • Penolakan Terhadap Emosi Negatif: Mengabaikan atau menolak perasaan sedih, marah, kecewa, atau stres.
  • Tekanan untuk Berpikir Positif: Menekan diri sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir positif tanpa memperhatikan kenyataan emosional yang ada.
  • Minimisasi Masalah: Menganggap enteng atau meremehkan masalah atau kesulitan yang sedang dihadapi.

Beberapa contoh Toxic Positivity:

  • Slogan Positif yang Berlebihan: "Jangan khawatir, be happy!" atau "Segalanya akan baik-baik saja, tetap positif!"
  • Mengabaikan Emosi yang Valid: Mengatakan "Kamu tidak boleh merasa sedih, banyak orang yang lebih buruk keadaannya daripada kamu" kepada seseorang yang sedang mengalami kesulitan.
  • Meremehkan Pengalaman Orang Lain: "Lihat sisi baiknya saja" saat seseorang mengungkapkan perasaan sakit hati atau kehilangan.

Dalam budaya yang mendorong untuk selalu bahagia dan optimis, toxic positivity seringkali dianggap sebagai bentuk pemaksaan atau penyangkalan terhadap kesedihan, kekesalan, atau rasa sakit yang alami. Seseorang yang menghadapi situasi sulit atau mengalami emosi negatif, seperti sedih, marah, atau cemas, seringkali dihadapkan pada penolakan atau minimnya dukungan karena dianggap "tidak berpikir positif". Sehingga hal ini juga berdampak pada kesehatan mental dan menimbulkan beberapa efek negatif, seperti:

1. Menghambat Pemrosesan Emosi:Penumpukan Emosi: Mengabaikan atau menekan emosi negatif dapat menyebabkan penumpukan emosional, yang akhirnya bisa meledak dalam bentuk stres, kecemasan, atau depresi.

  • Penyembuhan yang Terhambat: Proses penyembuhan emosional memerlukan pengakuan dan pemrosesan semua emosi, termasuk yang negatif.

2. Rasa Malu dan Bersalah:

  • Perasaan Tidak Valid: Membuat seseorang merasa bahwa emosi negatif mereka tidak valid atau tidak diterima, yang dapat menimbulkan rasa malu dan bersalah.
  • Isolasi Emosional: Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi negatif dapat membuat seseorang merasa terisolasi dan tidak dimengerti.

3. Mengurangi Kualitas Hubungan:

  • Kehilangan Kepercayaan: Dalam hubungan interpersonal, toxic positivity dapat merusak kepercayaan karena orang merasa bahwa perasaan mereka tidak dihargai atau diakui.
  • Komunikasi yang Tidak Autentik: Hubungan yang sehat memerlukan komunikasi yang jujur dan autentik. Mengabaikan emosi negatif dapat menghambat komunikasi yang mendalam dan bermakna.

4. Penghambat Pertumbuhan Pribadi:

  • Kurang Refleksi Diri: Sikap yang terlalu fokus pada positivitas dapat menghalangi refleksi diri dan pemahaman mendalam terhadap masalah, yang penting untuk pertumbuhan pribadi dan pembelajaran.
  • Solusi Superfisial: Dengan tidak menghadapi emosi negatif secara langsung, solusi yang ditemukan mungkin hanya bersifat sementara dan tidak mengatasi akar permasalahan.

www.beautynesia.id
www.beautynesia.id
Dalam jangka panjang, toxic positivity dapat menghambat pertumbuhan emosional dan mental seseorang. Ketika seseorang dipaksa untuk menekan atau menyangkal emosi negatif mereka, hal ini dapat mengakibatkan penumpukan stres dan tekanan yang berpotensi menyebabkan masalah kesehatan mental. Sebaliknya, penting untuk menghargai dan mengakui berbagai jenis emosi, baik positif maupun negatif. Menghadapi dan memproses emosi negatif merupakan bagian alami dari kehidupan dan dapat membantu individu untuk tumbuh dan berkembang secara pribadi. Dukungan, pemahaman, dan pengakuan terhadap pengalaman emosional yang sebenarnya merupakan pendekatan yang lebih sehat daripada toxic positivity.

Toxic positivity membuat penekanan berlebihan terhadap pikiran positif dan pengabaian emosi negatif. Pun menghambat pemrosesan emosi, menimbulkan rasa malu dan bersalah, mengurangi kualitas hubungan, dan menghambat pertumbuhan pribadi adalah beberapa dampak buruknya. Dengan validasi emosi, pendekatan yang seimbang, menyediakan ruang untuk emosi negatif, dan mengembangkan kesadaran diri, kita dapat menghindari toxic positivity dan mendukung kesejahteraan emosional yang lebih sehat dan autentik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun