Mohon tunggu...
Rachel Qurrotu Aini A.
Rachel Qurrotu Aini A. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Rachel Qurrotu 'Aini Alexandria 23107030053

meongg

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Affirmative Action 30 persen Bagi Perempuan di Kursi Parlemen, Perlukah?

11 Juni 2024   17:33 Diperbarui: 11 Juni 2024   17:44 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebijakan afirmatif, khususnya kuota 30% bagi perempuan di kursi parlemen, telah menjadi topik perdebatan hangat di berbagai negara. Tujuannya adalah untuk memastikan representasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dan mengurangi kesenjangan gender di lembaga legislatif. Kuota 30% bertujuan untuk memastikan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam politik. Ini tidak hanya meningkatkan jumlah perempuan di parlemen tetapi juga mendorong lebih banyak perempuan untuk terlibat dalam politik pada berbagai level.  Kebijakan afirmatif diasumsikan dapat membantu mengubah norma sosial dan budaya yang selama ini menghambat partisipasi perempuan dalam politik. Dengan lebih banyak perempuan dalam posisi kekuasaan, masyarakat dapat mulai melihat perempuan sebagai pemimpin yang sah dan mampu. Studi menunjukkan bahwa keberadaan perempuan di parlemen sering kali dikaitkan dengan kebijakan yang lebih inklusif dan sensitif gender. Misalnya, negara-negara dengan representasi perempuan yang lebih tinggi cenderung memiliki kebijakan yang lebih mendukung kesejahteraan keluarga, kesehatan ibu, dan pendidikan.

Data menunjukkan bahwa perempuan secara global kurang terwakili dalam posisi pengambilan keputusan politik. Menurut Inter-Parliamentary Union (IPU), pada tahun 2023, perempuan hanya mengisi sekitar 26% dari kursi parlemen di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri meskipun telah ada peningkatan, representasi perempuan di DPR masih jauh dari ideal. Kebijakan afirmatif dipandang sebagai langkah penting dalam memperjuangkan hak asasi dan keadilan gender. Setiap warga negara, terlepas dari jenis kelaminnya, berhak untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses politik. Representasi yang adil dan merata di parlemen adalah fondasi dari demokrasi yang inklusif. Perempuan membawa perspektif dan pengalaman yang berbeda yang sangat penting dalam pembuatan kebijakan. Kehadiran perempuan dalam parlemen dapat memastikan bahwa isu-isu yang relevan dengan perempuan dan anak-anak mendapat fokus utama. Ini juga bisa menghasilkan kebijakan yang lebih komprehensif dan inklusif.

Namun, salah satu tantangan terbesar dalam implementasi kebijakan afirmasi adalah resistensi dari berbagai pihak, termasuk partai politik dan pemilih. Stereotip gender yang menganggap bahwa perempuan kurang kompeten dalam politik masih menggaung di lingkungan masyarakat. Kritik terhadap kebijakan ini sering kali berpendapat bahwa fokus pada kuantitas (persentase perempuan) dapat mengorbankan kualitas (kompetensi individu). Mereka berargumen bahwa pemilihan berdasarkan meritokrasi seharusnya lebih diutamakan. Meskipun kebijakan ini ditetapkan, implementasi yang efektif sering kali menjadi tantangan. Partai politik perlu berkomitmen untuk benar-benar mencalonkan perempuan yang kompeten dan memberikan dukungan yang diperlukan untuk kampanye mereka.

Dengan penambahan porsi perempuan di kursi parlemen, demokrasi menjadi lebih representatif dan inklusif. Ini tidak hanya memperkuat legitimasi lembaga legislatif tetapi juga mendorong kepercayaan publik terhadap proses politik. Kebijakan yang dibuat dengan mempertimbangkan perspektif gender cenderung lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Misalnya, kebijakan kesehatan dan pendidikan yang lebih inklusif dapat meningkatkan kesejahteraan sosial secara signifikan.

Rwanda adalah contoh sukses dari implementasi kebijakan afirmasi. Dengan kuota 30% untuk perempuan, Rwanda kini memiliki salah satu parlemen dengan representasi perempuan tertinggi di dunia, mencapai lebih dari 60%. Keberhasilan ini membawa perubahan signifikan dalam kebijakan sosial dan ekonomi. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan telah meningkatkan fokus pada isu-isu seperti kesehatan ibu, pendidikan perempuan, dan kesetaraan gender di berbagai sektor. Norwegia juga telah menerapkan kebijakan kuota gender dalam politik dan sektor lainnya, seperti dewan perusahaan. Sejak penerapan kuota gender pada tahun 2003, representasi perempuan di parlemen Norwegia meningkat signifikan. Pada tahun 2021, perempuan mengisi sekitar 45% kursi di parlemen. Kebijakan ini juga diperluas ke sektor korporat, di mana perusahaan publik diwajibkan memiliki setidaknya 40% perempuan di dewan direksi. Hasilnya adalah peningkatan signifikan dalam partisipasi perempuan dan kebijakan yang lebih responsif terhadap isu-isu gender. Nepal menerapkan kebijakan kuota gender setelah reformasi konstitusional pada tahun 2007. Kuota ini menetapkan bahwa setidaknya 33% dari anggota parlemen harus perempuan. Implementasi kebijakan ini telah membawa perubahan signifikan dalam politik Nepal. Pada pemilu 2017, 32,7% kursi parlemen diisi oleh perempuan. Partisipasi perempuan yang meningkat ini telah berdampak pada pengesahan undang-undang yang lebih sensitif gender, termasuk undang-undang kekerasan dalam rumah tangga dan hak-hak properti bagi perempuan.

nytimes.com
nytimes.com

Di Indonesia, meskipun telah ada kebijakan kuota 30%, tantangan dalam implementasi masih signifikan. Pada Pemilu 2019, hanya sekitar 20,5% kursi parlemen diisi oleh perempuan. Partai politik sering kali mencalonkan perempuan sebagai calon nomor dua atau tiga dalam daftar pemilihan, yang mengurangi peluang mereka untuk terpilih. Perlu ada upaya lebih lanjut untuk memastikan bahwa kuota ini tidak hanya dipenuhi secara formal tetapi juga menghasilkan peningkatan kualitas representasi perempuan dalam politik. Ini termasuk memberikan pelatihan, dukungan kampanye, dan mendorong partai politik untuk mencalonkan perempuan di posisi yang lebih strategis.

Kebijakan afirmatif 30% bagi perempuan di kursi parlemen merupakan langkah penting menuju kesetaraan gender dan representasi yang lebih inklusif dalam politik. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, manfaat dari kebijakan ini jauh lebih impactful. Dengan memastikan bahwa perempuan memiliki suara yang signifikan dalam pembuatan kebijakan, kita tidak hanya memperkuat demokrasi tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Implementasi kebijakan afirmatif yang efektif memerlukan komitmen dari semua pihak, termasuk partai politik, masyarakat, dan pemerintah, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung partisipasi perempuan dalam politik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun