Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya melakukan masa berkabung menurut syarat yang telah ditentukan.(Hasbi,Pengantar Hukum Islam,1980)
Dari sini dapat digambarkan, bahwa seorang istri berkewajiban melakukan iddah serta ihdad karena ditinggal mati oleh suaminya dimana hal itu dilaksanakan selama empat bulan sepuluh hari. Hal ini merupakan suatu kondisi di mana isteri harus menahan diri atau berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu, isteri hendaknya menya-takan dukanya dengan tidak berhias, tidak bercelak mata dan tidak boleh keluar rumah.
Cara ini bertujuan hanya untuk menghormati kematian suami dan menghindarkan diri dari fitnah. Apabila masa iddah telah habis, maka tidak ada larangan untuk berhias diri, melakukan attau bahkan melangsungkan pernikahan. Masa ihdad sebenarnya adalah wujud dari kesedihan si isteri atas musibah yang menimpa dirinya, cukup beralasan di dalam KHI pasal 170, yangtelah tercantum diatas. (Hasbi,Pengantar Hukum Islam,1980)
Termasuk dalam Pasal 170, Bab XIX di atas, yang sesuai dengan metodologi dalam penerapan ijtihad para perumus KHI, yakni: Dalam Teori al-Adah ini, jika suatu nash berasal dari adat istiadat atau tradisi dan kemudian terdapat tradisi yang mana mengakibatkan adat berubah maka gugurlah hukum dalam nash tersebut, sebagimana dalam konteks ihdad, bahwa dalam KHI secara garis besar adalah menunjukkan perempuan (isteri) memiliki kewajiban melaksanakan iddah serta ihdad, karena ditinggal mati oleh suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Hal ini merupakan suatu kondisi di mana isteri harus menahan diri atau berkabung selama 4 bulan 10 sepuluh hari.
Wanita karier sendiri dalam masa iddah dan ihdad tetap boleh melakukan aktivitas atau pekerjaan dengan beberapa ketentuan alternatif namun hal ini hanya berlaku untuk keadaan yang memang mendesak.Kedudukan wanita karier dalam melakukan Iddah dan Ihdad adalah sesuai dengan semua yang tidak dilarang oleh pendapat yang rajah (kuat) akan tetapi ada beberapa ketentuuan alternatif, antara lain:
Berdandan sesuai dengan kebiasaan jika dianggap tidak mempengaruhi pandangan orang lain untuk meminangnya. Jika hal itu bisa dihindanri dan berdandan hanya dengan menjaga kebersihan diri maka itu dibolehkan. Kebolehan itu juga dikuatkan oleh kaidah yang lain bahwa “kebiasaan adalah sebuah hukum”.
Keluar rumah untuk bekerja.
Larangan ini adalah ditujukan untuk berkabung dengan meninggalnya suami, Akan tetapi jika masalah yang dihadapi adalah ketidak mampuan dan tidak adanya sisa warisan yang ditinggalkan oleh suami, maka akan mendesak bagi seorang perempuan untuk mempertahankan kehidupannya dan anak-anaknya.
Dari kedua alternatif bisa dilakukan menurut penulis jika memang keadaan yang terjadi sangatlah genting dan berkesuaian. Jika tidak maka hukum para ahli yang didahulukan untuk menegakan semua ketentuan bagi seorang wanita yang sedang menjalankan Iddah dan Ihdad.
Jadi Iddah dan Ihdad bagi wanita karier yaitu tetap sebagaimana ketemtuan dalam KHI pasal 170. Jika keadaan yang memang mendesak dan diharuskan untuk keluar rumah maka, hal ini bisa menjadi sebuah alasan untuk diperbolehkannya keluar rumah serta bekerja bagi wanita karier, asalkan ia tetap menjalani Iddah dan Ihdad tentang larang menikah sebelum selesai masa Iddah tersebut. Alasan diharuskannya melakukan Iddah dan Ihdad bukan hanya saja alasan hukum akan tetapi semua hal di atas menggambarkan bahwa hukum Islam tidak kaku, jadi sifatnya elastis dan fleksibel sebagai sebuah kepatuhan seorang perempuan akan hukum Allah SWT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H